Connect with us

Articles

Iwan Fals: Dari Tukang Potret Menjadi Penjual Kopi

Dipublikasikan

pada

iwanfals

Photo: Rengga Satria

Iwan Fals dikenal sebagai pemotret gejala sosial di masyarakat. Lewat lagunya beliau merekam ratusan atau bahkan ribuan kisah yang terbalut dalam harmoni balada. Iwan begitu lugas melontarkan sikap dalam tiap lagunya. Dari Bento hingga Bongkar, Iwan seolah menjadi seorang Kesatria bergitar dengan nyali yang begitu besar. Tak jarang pada masa keemasannya, konser-konser Iwan kerap di hentikan aparat, albumnya dibredel, atau bahkan si Kesatria sendiri yg terpaksa harus menghadapi sebuah proses introgasi atas pertanggungjawaban karya-karyanya . Namun Iwan tak juga gentar, Bento tetap ia nyanyikan, dan Bongkar tetap menggelegar.

Begitupun tentang kondisi Politik dalam Negeri. Iwan tak pernah lelah dan absen untuk turut hadir dalam merekam gejolak Politik Indonesia. Pada 2004, Iwan menyambut tahun Politik lewat album Manusia 1/2 Dewa. Lewat sebuah tembang dengan judul serupa–Manusia 1/2 Dewa– Iwan bertutur akan sosok pemimpin yang ideal. Iwan juga tak segan jika nantinya Indonesia mempunyai pemimpin yang memenuhi kriteria sesuai dengan lirik lagunya, maka pemimpin tersebut akan dianugerahkan predikat manusia 1/2 Dewa.

Kriteria pemimpin yang berjuluk Manusia 1/2 Dewa menurut Iwan memang tidak main-main. Simak saja beberapa bait dalam lagu tersebut “Masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri, urus saja moralmu urus saja, akhlakmu, peraturan yang sehat yang kami mau.” Lewat bait tersebut kita bisa melihat bagaimana Iwan secara tegas menggugat sosok pemimpin munafik, atau bersembunyi di balik citra yang telah menjadi stereotipe pemimpin Indonesia sejauh ini. Bagi Iwan dalam lagu tersebut, rakyat butuh lebih dari sekedar standarisasi moral, melainkan rakyat membutuhkan hal-hal sederhana yang pada hakekatnya adalah hak mereka.

Kini Negeri ini kembali memasuki tahun Politik. Tahun dimana akan lahirnya seorang pemimpin baru atau bahkan Manusia 1/2 Dewa yang telah lama Iwan idam-idamkan. Namun sayangnya tak ada tanda-tanda Iwan hadir mengawal tahun Politik kali ini. Tak ada karyanya yang coba merekam situasi yang semakin panas jelang pilpres 9 Juli nanti. Iwan seolah bungkam atau jangan-jangan telah sangat nyaman di Istana megahnya di ujung Depok Jawa Barat sana. Atau Iwan telah jengah menanti sosok Manusia 1/2 Dewa yang tak juga kunjung datang untuk memimpin bangsa yang besar ini. Celoteh miring juga kerap menyikapi sikap diam Iwan, ada yang beranggapan Iwan telah nyaman melakoni tugas barunya sebagai “penjual kopi” yang tentunya lebih menguntungkan.

Apapun alasan Iwan Fals di balik sikap diamnya yang seolah absen pada tahun politik kali ini, tentu Iwan telah mempertimbangkan matang-matang keputusan tersebut. Apalagi yang bersangkutan tengah merencanakan konser besar pasca Pilpres nanti. Tentu jika Iwan saat ini memihak salah satu capres–seperti banyak musisi dan seniman saat ini– akan mengganggu rencana konser besarnya tersebut, mengingat Iwan berencana mengundang pemenang Pilpres pada perhelatan konsernya yang digadang-gadang menyedot 4 juta penonton.

Photo: Doc. Iwan Fals

I was born on 16th April 1989 named Rengga Satria. But people call me Rengga or Ega. My first interaction with photography was started in my high school. At that time, I was using borrowed analog camera. Photography also support my other hobby which is trekking. After graduated high school, I entered polytechnic and took journalistic major. In college, I learned a lot in journalistic but the theory is more dominant than photography. I started self-taught about photography. I learned by asking to photographers, take a look at a exhibition, check out some references in the internet. By learning and practicing, I started to publish my photos. Some of them was put in newspaper and that make me more confident to live in the world of photography. I am very inspired by the work of Henri Cartier Bresson. From a book, The Decisive Moment, I was attracted in Bresson’s concept and visual art. Now I work as freelance photographer and doing a project about Jakarta called “Urban Space”

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *