Connect with us

Interviews

Jalu Sind3ntosca: “Jangan Memisahkan Kebebasan Berkesenian Dari Keteraturan Agama”

Dipublikasikan

pada

Sind3ntosca adalah band dengan satu orang personil, Jalu. Band yang pernah meledak dengan hits “Kepompong” (OST. Laskar Pelangi) ini merupakan salah satu band indie yang tertulis dalam sejarah perkembangan dunia musik indie Kota Bandung. Kami membentuk sebuah interview dan diskusi yang santai dalam satu waktu. Yang (mudah-mudahan) bisa memberi gizi yang baik untuk jiwa seni kita semua. Sekaligus mengingatkan saya untuk entah yang keberapa kalinya, bahwa kebebasan dalam proses berkesenian akan mencapai tahap ideal jika dibekali kesadaran naluriah dari sang pelakunya. Karena filosofi seni adalah filosofi alam semesta. Yang bersifat bebas, namun karya-karyanya akan menjadi kokoh dan seimbang jika dibubuhi sebuah keteraturan. Jalu Sind3ntosca di bawah ini akan menyampaikan nilai-nilai yang tertanam pada prinsip dan idealismenya, yang menarik untuk kita petik dan pelajari. Jawaban-jawaban beliau didasari dari setumpuk pengalaman serta pengamalannya sebagai salah satu senior di galaksi musik indie Kota Bandung. Sebuah solusi untuk menjadi nahkoda yang baik ditengah ganasnya ombak samudera permusikan modern. Dan sebuah potret tentang semakin langkanya jumlah musisi Indonesia yang memiliki visi.

Kang mau nanya, kalo Sind3ntosca biasanya manggung di acara gimana sekarang?

Kebetulan udah 2-3 tahun gak pernah manggung lagi (tertawa). Udah lama banget vakum.

Pas saya denger preview materi-materi untuk album terbaru anda kemarin, saya ngerasa ternyata selama ini saya belum pernah punya band/project yang visi bermusiknya seperti Sind3ntosca.

Bermusik untuk saling memberi maslahat itu bukan masalah teknis, tapi justru masalah kesadaran dan naluriah si musisi itu sendiri (tertawa). Memang menyatukan pikiran yang akur antar personil band itu hal yang sulit, ego masing-masing seringkali malah saling berkumandang. Makanya saya lebih baik menyatakan diri saya emang sangat egois, tapi karena Sind3ntosca personilnya cuma saya sendiri, jadi saya tidak menyakiti siapapun. Kalau additional player kan mereka sudah dengar lagu yang sudah jadi, mereka tinggal ngulik. Asal kita semua nyaman satu sama lain, kita bakal fine-fine aja. Kalo soal materi album baru sih, yang penting enak di kuping sendiri dulu, kalo orang lain suka itu mah bonus.

Nama “Sindentosca” terdiri dari 2 kata, yaitu “sinden” & “tosca”. Arti namanya??

“Sinden” artinya, ya penyayi lagu etnik (tertawa). Karena dalam Sind3ntosca ada nuansa etniknya. Kalau nama “tosca” itu artinya sebuah warna hasil campuran dari warna biru dan hijau, artinya : biru itu langit, hijau itu daratan. Jadi kalau lagi sukses setinggi langit, jangan lupakan daratan. Prinsip balance sih, mengingatkan kepada diri sendiri biar jangan sombong (tertawa – lagi; Kang Jalu adalah seorang yang ceria).

Kenapa Sind3ntosca tidak mau tampil di acara yang disponsori rokok?? 

Konsepnya sih simple, saya gak mau support hal yang lebih banyak mudharat-nya daripada manfaatnya. Karena saya mikir, kalau saya dapat uang dari hal-hal seperti itu, nanti kan bakal “dimakan” anak-istri (kalau sudah berkeluarga). Dan uang-uang semacam itu cuma bakal bikin keluarga saya nanti gak tenang jiwanya. Sudah banyak kasuslah, banyak contoh. So, sebenarnya it’s for my future. Saya persiapkan hal-hal semacam ini dari sekarang. Karena sebagai laki-laki saya harus bisa berpandangan jauh kedepan, two step ahead, dan gak gampang. Saya juga belum jadi orang yang baik, tapi setidaknya dari satu hal ini, saya berusaha menjauh, tring (sambil tertawa). Tapi yang pasti, Sind3ntosca gak mau manggung di acara sponsor rokok tunggal, juga mencoba menghindari cafe dan pub yang menjual minuman keras (tertawa). Kebetulan dari awal Sind3ntosca muncul, emang konsepnya gak mau sponsor rokok tunggal. Walau kadang ada satu dua event miss, misalnya karena faktor kecerobohan management saya (tertawa). Atau apalah, jadi seringkali saya sudah on the spot dan harus manggung, tapi baru tahu bahwa sponsornya rokok. Ya, jadinya kepaksa manggung. Karena kalau sudah begitu, saya juga harus mencoba fleksibel. Gak mau bikin kerusuhan di sana (tertawa). Mencoba menghargai penonton yang jauh-jauh dateng buat Sind3ntosca aja sih mikirnya. Tapi emang ya, mencoba melawan sponsor rokok itu sangat sulit. Banyak cibiran dari sana-sini, bahkan dari orang-orang terdekat. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang saya masih memegang teguh prinsip itu. Walau kadang mesti berkorban juga, orang-orang terdekat jadi menjauh, itu jadi salah satu contohnya.

Ceritain dong suka-duka memperjuangkan idealisme bermusik semacam ini.

Iya, di balik situ emang jadi ada pengalaman-pengalaman menarik. Misal pas di Jogja, Sind3ntosca dapet event buat charity anak panti asuhan, tapi sponsornya rokok. Saya gak mau, akhirnya mereka ganti sponsor jadi perusahaan kartu perdana. Langsung saya sambut deh (tertawa). Atau pas saya tampil di acara TV yang sponsornya rokok. Saat itu saya menolak untuk manggung, sampai-sampai dikata-katain sama si produser acaranya, dikata-katain di depan muka. Dibilang belagu lah, apa lah. Saya cuman senyum aja, dan bilang : “…Oom, justru dengan saya menolak sponsor rokok, hal itu yang menjadikan saya sukses sampai sekarang, itu jalan yang sudah saya ambil…” . Akhirnya, setelah seminggu kemudian, dia menelepon saya, dan bilang kalau acaranya lagi gak ada sponsor rokok, dan nawarin Sind3ntosca untuk main di sana. Langsung saya sambut lagi (tertawa). Saya mah gak nolak walau awalnya dia sempet nyebelin. Orang memang gak bakal begitu paham dengan konsep ini. But, it’s my way. Dan saya cukup nyaman kok, walaupun sampe sekarang juga banyak dicibir bahkan ama saudara sendiri (tertawa).

Seperti apa sih visi bermusik Sind3ntosca dalam berkarya??

Saya hanya ingin menghindari hal-hal yang lebih banyak sisi mudharat-nya daripada sisi manfaatnya. Termasuk dalam penulisan lagu dan lirik, sebisa mungkin harus bisa bermanfaat. Gak cuman lirik cinta yang kata-katanya itu-itu aja, copas dari sana-sini, yang hampir sama dari setiap musisi. Atau lirik-lirik dengan mutu yang kurang, seperti tentang selingkuh, dsb. Visi saya, saya pengen share tentang semua hal. Tentang matahari, hujan, kamar mandi, bahkan kepompong (tertawa). Pokoknya apapunlah, yang bisa menjadi inspirasi, dan untuk musiknya sendiri emang harus yang idealis. Saya percaya bahwa semua musik itu ada garis merahnya. Dan garis merah itu adalah ketika musik apapun bisa terasa enak didengar. Saya mencoba menjadikan garis merah itu sebagai standar musik Sind3ntosca. Dan emang gak gampang, karena banyak juga lagu yang gak enak yang saya bikin (tertawa). Lalu pendengar atau musisi lain mungkin akan komplen dengan statement : “tapi kan semua itu balik ke selera masing-masing…” .  Itu yang selalu saya dengar, dan entah kenapa saya bosan mendengar statement itu. Oke deh, selera itu emang beda-beda, tapi selera juga bisa diedukasi. Selera itu adalah satu hal yang bisa terus ditingkatkan. Jadi walaupun beda-beda, tetep garis merahnya itu sebaiknya di posisi “enak didengar” (tertawa).

Menurut seorang Jalu, peran seniman (termasuk musisi dan budayawan) dalam masyarakat itu seperti apa sih?
Menurut saya nih, peran mereka seharusnya menjadi panutan dan inspirator yang positif, bukan sebaliknya menjadi seniman-seniman yang bebas dan bertentangan dengan aturan agama. Karena itu yang terjadi kan? Dengan bangga mereka menyandang nama seniman, lalu bebas berkarya walau bertentangan dengan agama. Mereka lupa kalau seni itu berada dalam naungan agama, aturan mainnya tetep harus mengikuti aturan agama. Kita tidak bisa memisahkannya dan menjadikannya individual. Misalnya agama untuk agama, dan seni untuk seni. Dimana fungsinya kalo begitu? Kita olahraga untuk apa? Intinya biar sehat kan? Kita berkesenian untuk apa? Bisa untuk kesehatan juga, kesehatan jiwa misalnya. Atau untuk kesenangan kita, atau untuk membuat kita bahagia. Atau misalnya ketika kita bikin musik, itu memang untuk membuat orang lain belajar dari liriknya, serta membuat orang lain menikmati alunan nadanya. Jadi apa yang kita lakukan dalam berkesenian, pasti efeknya ngaruh kepada masyarakat. Budayawan pun demikian, maka dari itu, budaya-budaya yang bertentangan dengan agama, yang bisa merusak masyarakat, alangkah baiknya jika diminimalisir untuk kemudian ditiadakan.

Sebagai seorang musisi indie, apakah keberadaan industri musik bisa membuat dunia musik yang sejati itu lebih fungsional, atau sebaliknya?

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan industri musik mainstream. Yang salah itu pelaku-pelaku dan penggerak-penggerak didalamnya. Rata-rata mereka murni berbisnis kan, jadi otak utamanya itu hanya dagang, jarang dari mereka yang menjunjung tinggi apa yang menjadi inti dari sebuah industri musik yaitu : Seni Musik itu sendiri. Kalau mereka adalah orang-orang yang idealis, yang mengutamakan kualitas daripada kuantitas, aku pikir fine-fine aja. Mereka punya fungsi yang sangat diharapkan, karena punya kekuatan dan koneksi yang besar. Dan sebetulnya, ada kewajiban dari industri mainstream ini untuk mengedukasi masyarakat. Jangan justru ngikutin “awamnya” selera masyarakat muluk. Selera masyarakat itu bisa ditingkatkan kok, jika masyarakat disuguhkan musik-musik berkualitas terus menerus. Lama-lama selera mereka meningkat, dan gak mau lagi denger musik “murahan”. Tapi kenyataannya, industri musik mainstream membombardir kita dengan musik-musik yang murahan, lirik yang tidak mendidik, bahkan sampai ada lirik-lirik mesum, video-video klip yang seksi, dan mereka tetap saja dapet duit gede. Tapi kan, pertanggungjawabannya nanti di akhirat. Berat. Buat aku pribadi sebagai musisi indie, aku fine-fine saja masuk industri mainstream, jika mereka bisa bertingkah dewasa. Untuk saat ini, mereka masih kekanak-kanakan. Masih ngikutin pasar, belum bisa jadi pemimpin. Sorry for that, but that’s true. Jadi untuk sementara ini, mereka belum berfungsi selayaknya.

Aspek berkarya manakah yang menurut kang Jalu lebih penting (sebagai musisi) : Etika – Estetika – atau daya guna?

Tentu yang harus diutamakan itu etika dulu. Misal aku bikin lagu, liriknya harus beretika dong. Nadanya juga jangan brang breng brong gak puguh (tertawa). Dan yang kedua, aku memilih estetika. Misalnya kita bikin desain mobil, kebetulan aku bercita-cita jadi desainer mobil, aku pasti bikin desain yang bagus dulu. Gak peduli daya gunanya. Ntar aja belakangan (tertawa). Nah, kalau sudah dapet desain yang bagus, baru deh dicari atau dibuat fungsi dari masing-masing bagian mobilnya. Dan itu bisa jadi bolak balik, antara mendesain estetika dan daya guna, karena itu jadi satu kesatuan proses. Aku pikir dalam bermusik pun demikian, kita membuat lirik, memilih kata-kata yang bakal terdengar menarik, tapi juga memiliki arti yang memiliki fungsi. Karena aku lidah orang Indonesia, dan tidak semua kata bisa terdengar bagus dalam musik, maka buat aku lebih sulit bikin lirik bahasa Indonesia dibanding bahasa Inggris. Karena harus disesuaikan dengan nada dan cara aku bernyanyi. Karena cara aku nyanyi gak standar kayak anak-anak les vocal, yang di mana  “aa…ii…uu…ee…oo”-nya harus jelas juga (tertawa). Jadi inget pas take lagu “Kepompong” di Jakarta. Aku disuruh rekaman sambil “aa…ii…uu…ee…oo”-nya harus jelas, harus mangap. Di sana aku berpikir : “Dude, aku ini punya ciri khas dalam bernyanyi, kenapa engkau mencoba merubah aku?” Buat aku, itu sesuatu yang ridiculous. Pantes di Indonesia jarang ada vokalis yang punya ciri khas, karena semua dicetak jadi sama. Dan itu adalah sebuah disaster untuk dunia permusikan Indonesia! Ah, malah curhat (tertawa).

PILIH : Seni untuk hidup, atau hidup untuk seni?

Sama kayak : “makan untuk hidup, atau hidup untuk makan?” . Well, kita diciptakan bukan semata-mata untuk makan, kan? Itu mah binatang. Kita manusia, punya akal. Kita makan untuk bertahan hidup sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Tapi kalau kita hidup semata-mata untuk makan, kita bakal menggunakan cara-cara yang “bebas” dalam mencari makan. Pokoknya, yang penting makaaaaan (tertawa). Sikut sana, sikut sini, ya jadi penjahat, jadi maling, jadi koruptor juga gak apa-apa, asal bisa makan. Jadi saya pilih: seni untuk hidup. Karena sudah jelas kita tidak diciptakan semata-mata untuk berkesenian. Walaupun kita sendiri adalah seni, yang diciptakan Allah SWT, tapi kita punya aturan main, yang juga diciptakan Allah SWT. Kita bisa menggunakan seni untuk mencari nafkah, untuk mengisi jiwa, untuk apapun dalam kehidupan kita. Tapi kalau kita hidup semata-mata hanya untuk berkesenian. Aku pikir di sana kita bakal merasa bebas. Bebas dari aturan-aturan Allah tadi. Maka muncul lah seniman-seniman yg mengatasnamakan seni akan karyanya yang bertentangan dengan aturan. Semisal lukisan atau nude-photography yang diperlihatkan kepada masyarakat. Aku pikir tidak etis, dan tentu dilarang dalam agama. Dan jadi aja kita ngeliat, kan ya? Melototin terus deh (tertawa). Soalnya hal itu disuguhkan. Coba kalau nggak disuguhkan, gak bisa liat toh? Aman toh? Tapi, tetap fine-fine aja kalo misalnya melukis atau memfoto istri sendiri yang sedang nude, karena jelas cuman kita dan istri kita yg tahu. So please, jangan memisah-misahkan agama dan seni, karena seni tidak mungkin ada tanpa adanya aturan. Tidak ada setitik hal pun di dunia ini yang terlepas dari aturan agama. none.

Harapan kang Jalu untuk scene indie ke depannya? Termasuk kepada para pelakunya, dan karya2nya?

Harapan aku sih, mudah-mudahan scene indie itu gak manja. Manja dengan hal-hal maisntream yang menurut aku salah. Kayak pagelaran musik indie yang disponsori oleh sponsor rokok. Oh, come on, man? Udah jelas-jelas rokok itu mudharat. Saya pikir, menjadi independen itu harus sebisa mungkin berada di jalur yang bersih. At least, walaupun banyak kerikil, tapi jangan banyak duri. Dan para musisi indie juga, jangan hura-hura wae. Kalau band aja masih cupu, penghasilan masih minim, kadang manggung aja gratis, tapi gaya bisa minum beer, mabok. Halah. Well it’s their life, but please, kasih contoh yang baik dong buat musisi-musisi juniornya. Ntar mereka malah niru-niru, tanggung jawabnya gede. Your life is affected others life, always like that. Karena kita makhluk sosial. Jadi intinya aja lah, kalian itu mau bermusik apa mabok? choose (tertawa) grow up lah, masa depan itu bisa direnggut sekejap! Sekarang tenar, besok bisa ketabrak mobil, tewas. Dan karya-karya -musik dari para musisi independen sebaiknya bener-bener fresh. Emang sulit untuk bikin sesuatu yang baru itu, cuman setidaknya jangan tetep masih pasaran. Atau enak, tapi mirip band bule, nyontek malah, kan gak lucu. Terinspirasi band bule mah gak apa-apa, wajar. Aku juga sulit ngilangin nuansa The Cranberries di warna musik Sind3ntosca. Tapi setidaknya, Sind3ntosca punya ciri khas tersendiri juga, dan itu gak gampang. So, kalau kalian mau gampang-gampang, ya udah sono jangan bermusik. Cukup jadi pendengar aja karena jadi pendengar itu lebih gampang. Menjadi musisi indie itu adalah sebuah harapan. Harapan idealis dan penyeimbang industri musik mainstream yang kian hari kian terpuruk. Jadi kita jangan main-main. Kesampingkan hal-hal negatif, Jika setidaknya masih sulit membersihkan yang kerikil, mari kita buang yang menjadi duri. Manusia itu rentan berlaku negatif, aku pun demikian. Tapi mari kesampingkan sedikit-sedikit. If I can do it, u can do it too. Ayo mulai memikirkan musik kita, jangan cepet puas dengan karya kita, buatlah lagu sebanyak mungkin, sampe ratusan. Karena dari proses itu lah bakal muncul karya yang bagus.

Terakhir, setuju kah kang Jalu dengan pendapat saya, bahwa seni terbesar yang pernah tercipta adalah kehidupan itu sendiri?

Setuju. Kita hidup dalam balutan seni. Dari mulai Adam diciptakan, bahkan dari sebelum Adam diciptakan. Dari kita masih jadi janin sampai kita meninggal. Bahkan setelah meninggal pun kita masih dalam lingkup seni. Masih ada alam yang lain. Kita diciptakan dengan sangat indah oleh Allah. Kita diberikan kehidupan yg sangat indah. Maka dari itu sudah sepantasnya kita memelihara dengan sebaik-baiknya. Kita diberi kehidupan tujuannya bukan semata-mata untuk berkesenian. Tapi kita sendiri adalah seni. Apapun yang kita lakukan di dunia ini semata-mata hanya untuk mencari Ridha-Nya. Maka bertebaranlah di alam semesta ini dengan cara-cara yang indah. Jadi kalau Allah tidak Ridha kepada kita, kita bisa merasa bahwa kehidupan kita sengsara kan? Gak bahagia, stress melulu. So as an artform itself, why do human not act artfully?

Oleh: Bobbie Rendra

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *