Connect with us

Gig Review

Konser Sarasvati – Sunyaruri: Kebersamaan Lintas Dimensi, Nuansa Teater Kesunyian

Dipublikasikan

pada

“Bahwa tak ada satupun orang yang benar-benar sendirian, tapi juga tak ada orang yang sebetulnya selalu bersama. Tapi kemudian, mereka yang ditinggal akan menemukan kembali penggantinya, seolah selalu menemukan jalan untuk bertemu seseorang, untuk berbagi cerita. Kita bisa berjalan bersama, karena memang, keberadaan kita tidak pernah benar-benar sendirian. Dan menerima kenyataan, bahwa dalam diri setiap orang selalu ada kesunyian. Di dalam kesunyian, kita bisa mengundang seluruh imajinasi kita untuk merayakan kehidupan, dan mewujudkan imajinasi itu menjadi pesta.”

***

Sebuah potongan barusan, yang terdapat dalam rilis pers acara, seakan menjadi penggagas utama atas pesta yang dihelat sang ‘ratu’ Risa Saraswati beserta ‘unit kerajaannya’, Sarasvati – yang kini kembali menghadirkan suasana Halloween di Bandung dengan tajuk Sunyaruri. Ini merupakan konser tunggal kedua Sarasvati di tahun 2013 (setelah Lengkah Meddah). Persembahan ini merupakan sebuah ‘ritus’ dalam rangka lahirnya novel ketiga sekaligus EP kedua Sarasvati berjudul “Sunyaruri” – yang berarti ‘dunia kesunyian’.

Menjelang dimulai, ratusan penonton duduk-duduk rapi di depan main stage besar. Mereka ibarat para anak yang sudah sejak lama menanti kedatangan seorang pendongeng untuk bercerita dalam sebuah pertunjukan teater unik yang akan segera memulai babak demi babaknya. Dua buah large screen membentang di kedua sisi panggung. Beberapa replika makam Belanda pun tidak lupa hadir sebagai instalasinya – sebuah sinyal yang harus dicamkan oleh para penonton : bahwa mereka sedang berada di area “berhantu”.

Dalam sebuah malam Jum’at yang dibasahi hujan, 12 Desember 2013, Gedung Padepokan Seni Mayang Sunda sukses disulap menjadi sebuah wahana angker sekaligus menjadi saksi bisu bertambahnya lagi produktivitas Sarasvati – sebagai salah satu kelompok seni kreatif kebanggaan Bandung. Venue yang berlokasi di Jalan Peta tersebut dipermak oleh konsep artistik dan dekorasi yang spooky dan gloomy. Ada kesan mistis yang sengaja dibubuhkan pada setiap titik areanya – hal tersebut seakan sudah menjadi salah satu ciri khas dan keunggulan visual konser Sarasvati : sebuah grup spesialis yang menyanyikan cerita-cerita arwah.

Pemilihan tanggal konser pun seolah tidak lepas dari balutan konsep horor, 12 Desember 2013 (yang jika ditulis singkat menjadi 12.12.13), bisa memiliki arti mistis tersendiri. Karena mengingat angka ‘12-12’ diyakini sebagai digit sakral bagi suku Aztec dan Maya (yang konon mengandung makna sebagai masa kehancuran atau kematian), serta ‘13’ yang merupakan simbol dari ‘angka sial’ – hal ini disempurnakan oleh fakta bahwa hari itu adalah sebuah malam Jum’at. Walaupun hal-hal ngeri tersebut sudah familiar bagi para gigs-lovers Kota Bandung (terlebih bagi para Sarasvamily), nampaknya bukanlah konser Sarasvati jika hal ini tidak bisa kembali memberi efek kejut tersendiri untuk membunuh rasa penasaran para pengunjung.

Sejak open-gate pukul 18.00 WIB, penonton dibiarkan memulai petualangan di dalam sebuah lorong kecil gelap sepanjang sekitar 20 meter. Lengkap dengan sengatan aroma dupa kemenyan yang tercium bersamaan dengan wangi melati. Pada langit-langitnya digantungi helai-helai kain putih halus yang tidak lain merupakan kantong-kantong berisi kepala wanita berambut panjang yang menjuntai hingga ke bawah. Pengunjung dipaksa untuk memasuki lorong dengan cara menerobosnya, sekaligus indikasi bahwa perjalanan menuju Sunyaruri dimulai dari sini. Berbagai artistik lain ikut memenuhi sisi lorong, seperti properti yang berpendar dalam gelap, berwarna merah redup serta beberapa ada yang berwarna kehijauan. Efek visual semacam ini cukup sukses menyerang psikis pengunjung lebih awal. Meski suara hiruk-pikuk keramaian dari luar masih senantiasa terdengar di dalam venue, tampak suasana kesunyian dan rasa penasaran sudah menghidupi jiwa masing-masing pengunjung.

Konser kali ini memiliki unsur teaterikal yang kuat. Apalagi yang Sarasvati suguhkan merupakan teater lintas dimensi. Yang artinya, akan ada teater-teater lain yang mengisi seluruh ronggavenue konser – tidak hanya pada teater utama, yakni panggung konser saja. Hal ini dibuktikan dengan tersedianya sebuah atraksi teaterikal di ujung lorong karcis yang gelap tadi. Sebagaigimmick awal, seorang anak laki-laki berambut pirang dengan paras Belanda hadir di sana. Dengan make-up ala hantu cilik berseragam sekolah, dia muncul secara tiba-tiba sambil berlari ke arah pengunjung. Tangan mungilnya berusaha menerkam jahil pinggang para pengunjung yang lewat (siapa saja diterkam – termasuk kami), sebelum akhirnya ia kembali nyumput untuk mengagetkan pengunjung lain yang baru datang.

Hal ini sontak membuat pengunjung kaget, bahkan banyak yang sampai berteriak ketakutan. Hampir bisa dipastikan bahwa para Sarasvamily (sebutan untuk fans dan ‘keluarga’ Sarasvati) sudah tidak asing lagi dengan sosok anak itu. Dia adalah pemeran Peter dalam video clip Sarasvati yang berjudul “Story of Peter”. Kisah hantu kecil berkebangsaan Belanda ini telah menjadi tokoh utama sejak awal sepak terjang Risa bersama Sarasvati dimulai. Maka khusus malam itu, Peter dihadirkan dalam sosok yang lebih “nyata”, sehingga sukses membuat perasaan penonton bercampur aduk, antara kaget dan gemas.

Keluar dari lorong, penonton memasuki wahana terakhir sebelum mereka menginjakkan kaki di depan panggung konser. Ada sebuah ruangan lobi yang dipenuhi detail hiasan, berisi aneka dekorasi artistik. Terpajang apik di bawah sorot pencahayaan yang remang. Mulai dari boneka hantu-hantu wanita tanpa kepala, busana-busana penuh lumuran darah, hingga sederet kanvas yang melukiskan sosok para makhluk surreal dan supranatural. Semua tersaji lengkap beserta nilai estetikanya masing-masing. Tidak perlu seorang kurator untuk sebuah galeri “sunyi” seperti ini. Yang pasti, kehadiran semua ini seakan menggandeng tangan para pengunjung, agar mereka segera memasuki dunia imajinasi dan pesta kelam ini – menuju lebih dalam dan semakin intim lagi.

Konser belum dimulai, namun teaterikal kedua hadir tidak jauh dari sana. Seorang noni Belanda dengan tinggi badan sekitar dua meter, berjalan mengenakan busana ningrat Eropa, bak seorang istri jenderal kompeni. Dengan anggun ia berhenti di sebuah meja makan antik gaya Belanda era poskolonial. Wajahnya dingin, datar, dan matanya jarang berkedip – bahasa tubuhnya seolah berbicara tegas, bahwa dialah sang penghuni satu-satunya photo-booth yang tersedia di sana. Bisa ditebak, dalam waktu singkat area berukuran kecil tersebut langsung diserbu antrean pengunjung untuk berfoto. Pada ujung wahana terakhir ini terdapat sebuah stand yang menjual DVD film dokumenter tentang Risa Saraswati – yang sejak malam itu akan layak mendapat julukan sebagai sang Ratu Halloween Kota Bandung. Dalam booth satu ini, terdapat sebuah screen bergambar seorang wanita sedang terdiam, duduk sendiri dalam sebuah ruang isolasi yang seolah terekam melalui kamera CCTV – mengingatkan kami pada film “Paranormal Activity” (atau acara “Uji Nyali”?).

Pukul 20.00 WIB, sang ratu pesta yang tidak lain sekaligus sutradara dalam dimensi Sunyaruri ini, Risa Saraswati, hadir di atas panggung bersama Sarasvati, melalui opening “Haunted Sleep”. Penampilan lagu ini dilengkapi sebuah atraksi teaterikal di wing kanan panggung. Menceritakan seorang anak yang tidurnya terganggu oleh kehadiran sesosok monster. Setelah sempat ketakutan sampai kejar-kejaran, si anak pun sadar bahwa si monster ternyata ingin berteman dengannya. Kemudian, lagu kedua, “Story of Peter”, dibawakan secara khidmat, setelah sebelumnya diawali good-spelling dari para penonton, plus Sarasvamily yang menyanyikan lagu innocent “Boneka Abdi” – sebuah lagu yang malam itu dianggap sebagai mantra untuk mendatangkan lima sahabat Risa dari dunia lain : Peter, Hans, Hendrick, William, dan Jansen; yang menurut Risa sudah lama tidak kunjung menemuinya.

Dalam konser ini, Risa yang anggun dengan long dress berwarna hitam, nampak semakin luwes memainkan naskah-naskah elegan ciptaannya. Berkali-kali ia berhasil membuat penonton senyap melalui sajian monolognya, dan sukses meledakkan tawa melalui celetukan humornya, di samping memukau penonton dengan lantunan tembang-tembang Sarasvati yang mengayun lemas di udara – ibarat musik balada yang tersayat-sayat aransemen ala neo-classical berkat kehadiran resital string quartet pimpinan Fitrah, beserta Iman Jimbot, sang pemain kacapiChoir group Kirei juga hadir untuk menyempurnakan audio Sarasvati malam itu.

Darah teater terasa kental dalam konser Sarasvati kali ini. Hampir seluruh penampilan lagu diperkuat oleh pertunjukkan olah tubuh yang sukses memvisualkan lirik-lirik lagu juga kisah-kisah yang Risa tulis, baik dalam novelnya maupun dalam album Sarasvati. Rangkaian dialog, monolog, sendra tari, hingga fragmen tari, menghiasi penampilan pada lagu-lagu seperti “Cut And Paste”, “Solitude”, dan “Question”. Ada semacam dugaan bahwa metode seperti ini bisa menjadi salah satu opsi menarik untuk merevitalisasi cabang seni teater yang kini mulai agak renggang dari sasaran apresiasi kalangan remaja Bandung.

Materi album baru yang pertama kali dibawakan Sarasvati malam itu adalah “Larung Hara” – dengan menggaet novelis Vinca Callista guna memerankan Marlina, seorang wanita yang putus asa karena kehilangan Toro, kakaknya. Sedangkan dalam penampilan “Senandung Hujan”, Risa berduet dengan Awong. Sebuah keunikan kembali terasa di sini, karena tembang tersebut sarat sentuhan keroncong yang terasa mistis di samping jadoel . Dilanjut “Death Can Tell A Lie” yang disajikan dalam format duet Risa bersama pianis Kevin. Malam itu Kevin menggantikan posisi pianis Yunita Rachman yang tidak bisa hadir karena sedang mengurus proyek solo albumnya. Sang penyanyi latar, Marshella Safira, berkesempatan memimpin panggung dalam “Graveyard”, ketika Risa beranjak ke belakang.

Melalui “Graveyard”, Shella – yang juga tampil dalam konser Detournement The S.I.G.I.T pada September kemarin, sukses menghanyutkan suasana malam itu. Atmosfir ketenangan yang baru saja dia alirkan kepada penonton, mendadak terpecah seketika karena sekelompok “hantu” tiba-tiba muncul dari kegelapan. Mereka datang dari belakang tribun, berjalan masuk ke tengah kerumunan massa, dan ikut duduk bersama penonton lainnya (beberapa jeritan histeris pun terdengar). Aksi simbolik seperti inilah yang mencerminkan esensi kisah demi kisah yang ingin Sarasvati bagi kepada kita. Bahwa intinya, keberadaan makhluk dari dimensi lain pun harus kita sikapi dengan baik (terutama jika kita sudah terbiasa oleh kehadiran mereka). Karena fisik yang tidak indah, bukan berarti tidak punya sisi keindahan.

Selepas menyulap arena panggung menjadi zona kuburan, lengkap dengan kehadiran para “teman-temannya”, Risa Saraswati kembali muncul dari belakang panggung dengan busana yang berbeda. “Graveyard” di-medley dengan tembang “Aku dan Buih”. Sarasvati mendaulat seorang penari berbusana tradisional untuk hadir memerankan Canting, tokoh dalam novel “Maddah” – seorang hantu wanita yang senang menari semasa hidupnya (dan juga masa setelahnya). Sesi kali ini lebih variatif, karena selain menghadirkan seorang penari yang bergerak menyisir kedua wing panggung, ditampilkan pula beberapa karya seni instalasi yang dipajang di tengah panggung – artistik yang menyerupai pose beku para “hantu” yang ingin menyeruak keluar dari kanvas. Sebuah simbol dari dua jenis dimensi yang sedang ingin saling melintasi.

Sisi “keindahan” yang ingin Sarasvati tekankan melalui konser Sunyaruri yang horor nan mistis ini, salah satunya adalah sisi kebersamaan. Ada bukti-bukti yang tertangkap, bahwa konser SUNYARURI ini terdiri dari jalinan banyak kebersamaan – walau peristiwa ini hanya mampu berdiri untuk satu malam. Mulai dari kebersamaan lintas cabang kesenian, antara bidang seni musik modern, teater, tari, sastra, film, musik tradisi, dan seni rupa – hingga kebersamaan lintas bidang yang terjalin antara tim Sarasvati dengan Tragic Magic sebagai art-director serta Translusen Production sebagai film-producer – di bawah payung sponsor Djarum Black Mild Urban Music.

Risa sengaja meramu puisi karya sastrawan Azis Manna ke dalam sebuah lagu yang menjadi nomor kesebelas Sarasvati malam itu, “Percakapan Dalam Lumpur” – sebagai penanda bahwa malam itu, Sarasvati memang tidak tampil sendiri. Dan benar saja, tak lama berselang, seorang wanita cantik naik ke atas panggung. Sara Wijayanto hadir untuk bersama-sama membawakan lagu keduabelas, “Danur”. Semua lagu yang mereka bawakan sejak awal, nampak punya sesi tersendiri untuk bercerita. Termasuk pada “Fighting Club”, lagu ketigabelas mereka, yang khusus bercerita bahwa malam ini Sarasvati ingin menunjukkan, bahwa Sarasvamily bukanlah fans, melainkan anggota dari keluarga besar mereka.

Risa Saraswati kembali ber-monolog setelah itu. Kali ini ia sedikit membeberkan isi novel Sunyaruri itu sendiri, yang salah satunya bercerita tentang kisah dua sejoli Elsja dan Djalil. Ada secarik surat yang Risa bacakan kepada penonton, sebelum membuka lagu berjudul “Cerita Kertas Dan Pena”. Risa berperan sebagai Elsja, sedangkan Djalil diperankan oleh Ink, vokalis band Rosemary – sebagai satu dari beberapamystery-guests malam itu. Risa, sang Ratu Halloween berwajah Sanskrit, akhirnya memohon pamit kepada seluruh hadirin, lewat “Pulang” – track terakhir dalam album Sunyaruri. Setelah lagu itu berakhir, seluruh personil Sarasvati beranjak dari panggung, dan kemudian  semua lighting pun dimatikan.

Akan tetapi, seluruh penonton yang memadati Gedung Padepokan Seni Mayang Sunda belum mau beranjak meninggalkan venue. Dan tebakan mereka benar, kala dalam konser ini seruan untukencore akhirnya berkumandang. Beberapa saat kemudian, Risa beserta Sarasvati kembali muncul ke atas panggung dengan diiringi riuh penonton – yang untuk pertama kali mengeluarkan adrenalinterbaiknya, setelah sebelumnya mereka semua cukup lama terbius oleh ‘ke-sunyaruri-an’. Sarasvati kemudian mendendangkan “Perjalanan” untuk memuaskan dahaga bersama. Di tengah lagu, tiba-tiba dari belakang panggung terdengar seorang wanita bernyanyi dengan jazzy-voice yang serak-serak basah : Syaharani hadir sebagai mystery-guest kedua malam itu. Vokal Syaharani malam itu menjabat hangat suara Risa yang lembut dan lirih.

Encore pertama selesai dibunyikan. Kepada penonton, Risa pun mengutarakan naskah terakhir yang akan dia mainkan, bahwa pada kesempatan itu Sarasvati ingin meng-cover sebuah lagu ciptaan musisi Bandung yang lain. Alhasil, “Tiga Titik Hitam” dari grup cadas Burgerkill sukses diculik ke dalam Sunyaruri. Dan tanpa diduga, Fadly Padi muncul dan mengejutkan semua penonton – membuat malam Jum’at itu terasa manis sekaligus bikin merinding. Suara melengking Fadly yang sukses menyiratkan sebuah klimaks, ternyata disumbangkan kembali dalam medley berikutnya, “Mirror” – tembang ke-19 yang sekaligus menjadi penutup aksi apik Sarasvati malam itu. Banyaknya kolaborasi multi-segment pada konser ini diharapkan menjadi kado penutup tahun terindah bagi Sarasvamily.

Oleh :
Penulis : Bobbie Rendra
Photographer: Talitha Yurdhika

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *