Connect with us

Gig Review

RRREC FEST IN THE VALLEY: Sebuah Catatan Dari Lembah Tanakita

Dipublikasikan

pada

ps

Penampilan Pure Saturday di RRREC FEST

Dalam novelnya yang paling terkenal, 69, Ryu Murakami menceritakan perjuangan sekelompok pemuda di Jepang dalam membuat sebuah festival musik sebagai perayaan kebebasan masa muda dan sebagai sebuah pergerakan kontra-budaya. Festival itu menjadi sebuah ruang berekspresi, seperti halnya dalam film Taking Woodstock ketika  Elliot Tiber menemukan lahan peternakan milik Max Yasgur tempat Woodstock pertama kali digelar. Festival itu menjadi pertanda bahwa revolusi kebudayaan dimulai.

Jauh dari lembah yang berbeda, RRREC FEST IN THE VALLEY adalah suatu sajian festival yang cukup “berbeda” dibanding festival-festival musik yang ada selama ini – yang memiliki ketergantungan cukup akut terhadap industri besar. Sejak pertama kali digelar, RRREC FEST yang diinisiasi oleh sekelompok seniman muda nan berbahaya dari komunitas Ruang Rupa telah menyajikan aneka rupa musik, seni rupa, dan film sebagai suatu “alternatif” yang memiliki relevansinya sampai saat ini. Saya pikir saat ini kata “alternatif” sudah tidak kian relevan ketika melihat komodifikasi budaya di mana-mana. Toh, saya salah, sejak pertama kali hadir pada RRRECFEST dari 2011 lalu hingga beberapa hari lalu di Lembah Tanakita, saya masih merasakan gelora sekelompok pemuda yang masih berkesenian dengan antusias.

Seperti sebelumnya, RRREC FEST selalu berusaha melakukan eksplorasi ruang untuk memberikan pengalaman baru dan peristiwa berkesan bagi penikmat festival musik, termasuk juga bagi para musisi dan seniman yang tampil. Bila sebelumnya RRRECFEST diadakan di ruang-ruang spesifik di Kota Jakarta seperti di ruang galeri, kedai kopi, toko roti, pub, dan lapang terbuka Taman Ismail Marzuki (TIM), maka kali ini festival ini digelar di alam terbuka yang terletak di kaki gunung Pangrango, Sukabumi.

Keberadaan festival musik yang digelar di alam terbuka memang bukan untuk yang pertamakalinya. Setidaknya, beberapa tahun ini ada pergelaran Jazz Gunung yang mendobrak elitisme musik jazz. Di lembah Tanakita itu selama tiga hari dua malam secara berturut festival ini diramaikan oleh beragam program dari pertunjukan musik, DJ, pemutaran film, pameran poster, dan workshop. Peserta dapat memilih secara bebas aneka program yang diinginkan. Suasana segar dari alam menambah festival ini jauh dari hiruk pikuk kota atau acara-acara musik yang dapat diputar kencang sampai pagi tanpa takut dibubarkan oleh aparat atau warga.

Seperti pada gelaran hari pertama, dimulai dengan pemutaran film yang menampilkan parade film independen yang seru seperti Focus On The Moon karya sutradara dokumenter asal Perancis, Vincent Moon, yang merekam penampilan dari band-band lokal seperti Karinding Attack, White Shoes and The Couples Company, dan Trees and The Wild. Juga ada pemutaran Video Musik Indonesia Yang Menginspirasi (2001-2011). Yang diputarkan tentu mayoritas band-band independen lokal yang sedang mengalami euforia kala itu dan klipnya hilir mudik di MTV Indonesia. Kemudian ada juga film Generasi Indomie karya sutradara Platoon Theodoris dengan gaya sinemanya yang aneh ini menampilkan atau merekonstruksi “budaya anak muda” yang lagi hip di pertengahan 1990-an, seperti drugs, seks bebas, hingga musik dari Naif dan Pure Saturday. Menjelang lewat tengah malam, klimaks hari pertama ditutup dengan Oomleo Berkaraoke. Meski hujan deras dan sudah lewat tengah malam keriaan tampak belum berakhir. Sayup-sayup di lembah itu terdengar suara serangga, bulir hujan, tawa canda peserta, dan lagu “Wonderwall” yang diputar dari layar monitor karaoke.

Pada hari kedua, pertunjukan musik yang memang dinanti. RRREC FEST dari tahun ke tahun mampu menampilkan band-band “underdog” yang unik dan segar – semisal kemunculan band punk The Kuda pada RRECFEST 2011 yang kini justru menjadi band “underdog” paling dinanti. Keragaman musik yang tampil dalam festival ini membuktikan kepiawaian dari kurator musik The Secret Agents (Indra Ameng dan Keke Tumbuan) yang regular menampilkan band-band lokal berkualitas dalam gigs Superbad.

Sebelum pertunjukan band-band yang dimulai pada siang hari, digelar talkshow dengan tema-tema yang relevan di dunia kesenian Indonesia saat ini seperti diskusi mengenai kebebasan berekspresi dan peraturan-peraturan nggak penting. Dari diskusi ini, berkesenian ataupun melakukan praktik seni di Indonesia, toh, tak semudah yang dibayangkan. Kungkungan represi politik dengan beragam kebijakan-kebijakannya atau tantangan dari komersialisasi dan pasar menjadi persoalan tersendiri dalam dunia berkesenian dan tentu membutuhkan siasat-siasat tersendiri agar tetap “survive” dalam belantara berkesenian di Indonesia. Berkesenian di Indonesia memang tak bisa terlepas dari tarik menarik antara kepentingan politik dan ekonomi. Dan boleh jadi, kesenian, apapun bentuknya, merupakan siasat tersendiri agar terus hidup dan mengkritik berbagai persoalan sosial yang ada di Indonesia.

Saat pertunjukan band berlangsung hujan memang telah mengguyur sejak sore hari. Bangkutaman terpaksa menyudahi penampilannya karena hujan kian deras dan terlihat atap panggung yang bocor. Padahal Wahyu Acum, vokalis Bangkutaman, berkali-kali meminta penonton agar tetap hujan-hujanan. Anggap saja sedang di Woodstock, katanya. Namun, tetap saja karena panggung yang sudah bocor terpaksa penampilan Bangkutaman disudahi. Penampilan mereka pun dilanjutkan setelah hujan reda. Dan lagu “Ode Buat Jakarta”, sore itu, memperlihatkan mereka yang sudah hiruk pikuk dengan kota dan hal-hal urban tampak menikmati syahdunya suasana di lembah selepas hujan.

Menjelang malam, lembah itu mulai diramaikan oleh band-band berkualitas lainnya semisal Ramayana Soul, Ari Reda, Pandai Besi, Rabu, Jirapah, dan Matajiwa. Desain panggung yang terbuat dari material kayu dan bamboo menjadi sangat unik. Panggung kesatu didesain dengan rangka-rangka yang terbuat dari bambu, sedangkan panggung kedua dibuat seperti rumah panggung yang sederhana dengan rumbai jeraminya. Desainnya ini terbuat dari material di sekitar lembah dan hutan. Menurut direktur festival, Indra Ameng, semua desain dan tata letak diserahkan kepada pihak pengelola tempat. Karena mereka yang lebih mengetahui kontur lembah dan material-material yang tepat untuk digunakan.

Hujan kembali mengguyur deras saat tengah malam. Di panggung Pure Saturday sedang bermain. Saat lagu kelima, Albatross, hujan malah makin deras. Iyo, vokalis Pure Saturday, meminta penonton agar mendekat ke panggung dan tak sungkan agar penonton naik ke panggung yang memang tidak terlalu tinggi. Karena hujan tidak reda juga, penonton pun naik ke atas panggung. Panggung yang tidak terlalu lebar ini pun dipadati oleh personil dan penonton. Namun, karena hujan malah kian deras dan kembali panggung yang bocor terpaksa pertunjukan Pure Saturday dihentikan dan malah lampu pun dimatikan. Alhasil, suasana malah menjadi kian intim. Iyo dan Arief, gitaris Pure Saturday, berinisiatif menyanyikan lagu “Di Bangku Taman” secara akustik tanpa diminta. Penonton di panggung pun larut dalam suasana syahdu dan intim itu. Hanya di festival seperti inilah jarak antara penonton dan band menjadi lebur dan tanpa sekat. Tanpa ada barikade. Tanpa ada aparat keamanan. Semuanya bernyanyi di tengah deras hujan yang menggulung malam: “…terduduk tenang di bangku taman/ setelah lelah nikmati malam/ mata terpejam berbaur dengan rasa kantuk yang dalam…”

Hari ketiga sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan sebelumnya. Ada workshop poster dan workshop multimedia yang mengeksplorasi potensi seni para peserta agar lebih kreatif. Kemudian masih ada juga diskusi yang membahas persoalan pentingnya kesenian dan jaringan musik Asia Tenggara. Dalam kedua diskusi ini memang pembahasan yang sudah klise – tapi masih relevan dan penting – apakah berkesenian di Indonesia masih dapat menjadi tumpuan hidup. Paparan diskusi ini mengetengahan hiruk pikuk dunia kesenian yang terjadi di Indonesia, dan wilayah Asia Tenggara. Persoalan berkesenian di wilayah Asia Tenggara termasuk juga di Indonesia, Malaysia, dan Singapura masih terjadi tarik menarik dan hegemoni ekonomi pasar. Bahkan Asia Tenggara malah dicap hanya menjadi “pasar” semata bagi Barat (Amerika dan Eropa). Saya sepakat dengan apa yang dipaparkan oleh Indra Ameng. Sudah sepatutnya kita menengok dengan apa yang terjadi di negara tetangga kita, band-band atau fenomena apa yang sedang yang ramai di Thailand atau Filipina, misalnya.

Berkaitan dengan konteks Asia Tenggara, festival semacam RRREC FEST inilah yang dapat menjadi jembatan dengan band atau seniman-seniman dari negara tetangga. Gelaran kali ini mengundang pula seniman dan musisi dari negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura seperti The Analog Girl (Singapura) dan Liyana Fizi (Malaysia). Malah Liyana Fizi yang sudah hilir mudik ke Indonesia dan membangun jaringan cukup kuat di negeri ini. Hal itu terlihat saat dia tampil. Hanya bermodal gitar akustik dan seorang additional gitar, Mak Cik yang satu ini tak hanya bermodal paras rupawan. Tapi musiknya pun terdengar renyah dan syahdu. Tak ayal begitu penampilannya usai, penonton malah berteriak-teriak meminta agar dia tampil kembali. Sambil malu-malu, Liyana pun memainkan dendangnya kembali.

Sebelum Liyana, tampil band eksperimental asal Yogyakarta, Seroja, Band pentolan Rully Shabara (Zoo) dan Soni Iriawan (Seek Six Sick) ini memainkan musik melayu lewat rebana yang dipadukan dengan noise dari gitar. Kebebasan bermusik dan berkarya menjadi tonggak paling penting dalam merayakan kebebasan bermusik di lembah itu. Pertunjukan musik hari kedua ini memang tidak sampai malam karena festival usai selepas maghrib. Sore itu ditutup oleh penampilan dari White Shoes and The Couples Company dan Kazuhisa Uchihashi dari Jepang. Kazuhisha tampil memainkan music eksperimental dari derau gitar dan sequencer yang mengalir membunyikan komposisi-komposisi music noise. Dia sempat berkolaborasi dengan Rully Shabara (Zoo dan Seroja). Di tengah lembah, suara derau dari gitar Kazuhisha ditemani dengan olah vokal seperti berkumur dari Rully – lebih berbunyi seperti suara-suara makhluk pra-sejarah atau primitif di lembah Amazon.

Sore itu, lembah dipadati oleh sekumpulan pemuda dan pemudi yang merayakan festival ini seperti sebuah kebebasan menghirup udara segar. Karena dalam RRREC FEST, seperti sebuah udara segar, yang dibutuhkan oleh para seniman di mana totalitas berkreasi dan berkarya sejauh apapun dan seaneh apapun itu, di lembah ini, kami semua mengapresiasinya. 

Oleh Idhar Resmadi

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *