Connect with us

Articles

The S.I.G.I.T, Sang Juru Selamat Musik Rock Tanah Air

Dipublikasikan

pada

The S.I.G.I.T

The S.I.G.I.T

Ampera Ria Safari, tajuk dari gelaran pesta perayaan ulang tahun majalah musik terbesar di tanah air, bahkan dalam lingkup dunia, setuju tidak setuju ini adalah barometer penilaian untuk musik-musik terbaik, Rolling Stone Indonesia yang ke-11 tahun. Satu dekade lebih dua belas bulan lamanya majalah ini mampu bertahan ditengah pasang-surutnya industri musik lokal. Sebuah pengejawantahan mutlak bahwa Rolling Stone Indonesia memang yang terbaik, berdiri gagah terus menerjang badai disaat yang lainnya satu-persatu telah mengumandangkan lagu gugur di kantor redaksi masing-masing.

Tanggal 15 Mei itu sejak siang hari jalan raya Ampera di sisi selatan kota Jakarta sudah ramai didatangi para penikmat musik dalam negeri, konsumen setia majalah Rolling Stone yang haus akan hiburan massal yang berkelas. Sebagai yang terbaik, adalah barang tentu bagi Rolling Stone Indonesia untuk menyajikan yang terbaik pula. Selain suguhan musik yang merupakan agenda utama, malam itu akan ada pengumuman tentang Editor’s Choice 2016. Ya, ini merupakan hari yang baik, karena para insan terbaik akan diganjar predikat terbaik dan diberikan oleh yang terbaik.

Dalam artikel ini penulis tidak akan terlalu detil serta merta berpanjang lebar mengulas jalannya Ampera Ria Safari. Keseruan-keseruan didalamnya memang terasa sejak acara dimulai. Bagaimana tidak, secara berturut-turut Irama Nusantara dan Scaller membuka jalannya pesta pora sebelas tahun ini. Dari mulai kemahiran David Tarigan memutar lagu-lagu lawas lokal atas nama Irama Nusantara, hingga jari-jari manis Stella merejang tuts synth dipadu-padan dengan suara khasnya yang memberi komando kepada Reney saat Scaller diberi kepercayaan tampil.

Sore hari mulai menampakan cahayanya. Pukul 4.20 persis The Adams tengah memberondong penonton lewat bermacam hits mereka. Satu hal yang menarik, Wisnu dari Monkey To Millionaire turut tampil bersama komplotan konservatif tersebut. Ini pemandangan langka, seminggu hanya terjadi dua kali, salah satunya di Ampera Ria Safari, dan belum tentu terjadi lagi di minggu-minggu berikutnya. Kemudian jelang maghrib giliran gerombolan rock brengsek bertaring serigala Seringai memanaskan hari.

Panggung utama luluh-lantah. Program pesta mereka berlangsung mulus walau harus berhenti sebelum waktunya, karena panggilan Ilahi sudah memasuki gilirannya. Seisi Rolling Stone Indonesia pun berhamburan. Beberapa mencari makan, ada juga yang menunaikan ibadah, sebagian bersenda gurau sambil meleseh di area luar, dan sedikit sisanya kembali menambah amunisi agar hingga malam nanti adrenalin mereka terus mengepul. Bila tidak ditambah maka kadarnya akan turun, karena jeda isoma ini memakan waktu hingga lebih kurang dua jam lamanya. Bagi mereka yang memegang teguh prinsip bahwa menonton konser musik rock tidaklah seru apabila tidak menyuntik substansi, dua jam rasanya cukup untuk menurunkan rasa rokok linwe (bahasa Jawa, linting ndewe) atau anggur sulingan rumah kemasan botol hijau.

Kini giliran malam memasuki waktunya. Sesaat setelah pengumuman pemenang Editor’s Choice, band roket-roketan yang namanya kini tengah deras meluncur ke angkasa, Kelompok Penerbang Roket unjuk gigi. Tampil dengan setelan sedikit parlente, Kelompok Penerbang Roket selalu berhasil menunjukan tajinya. Mereka kian gagah dengan Rickenbacker dan Stratocaster baru dari dua punggawanya, John Paul Patton alias Coki dan Rey Marshall si batak keren.

Malam itu Kelompok Penerbang Roket ditasbihkan sebagai Rookie Of The Year, dengan penghargaan yang diserahkan oleh Reno Nismara. Seorang editor muda dengan tulisan tajam di majalah tersebut serta ketua kolektif Crayola Eyes. Kategori Rookie Of The Year yang disampaikan oleh “Rookie Of The Year” dunia jurnalistik dalam negeri. Reno Nismara rules!

Tidak bisa dipungkiri memang bahwa Kelompok Penerbang Roket membawa nomor-nomor rock yang ganas sebagai aftur mereka. Tampil beringas menggebu saat diatas pentas menjadi nilai tambah. Wajah tampan maskulin Coki pun semakin melengkapi paket komplit Kelompok Penerbang Roket. Mereka trio mabuk dengan tekhnik mumpuni. Lewat deret prestasinya, kemudian banyak yang beranggapan bahwa Kelompok Penerbang Roket adalah penyelamat musik rock tanah air. Setujukah kalian ?

Selepas Kelompok Penerbang Roket turun panggung, adalah giliran pengusung distorsi terakhir malam itu untuk menggempur Rolling Stone Indonesia. Karena Isyana Sarasvati didapuk sebagai penutup keriaan malam selebrasi tersebut. Mereka adalah The Super Insurgent Group of Intemperance Talent, The S.I.G.I.T, nama bapak dari Rektivianto. Dengan tambahan seorang peseluncur aspal kelas internasional untuk turut mengisi gitar bernama Absar Lebeh, mereka tengah bersiap menampilan set-nya malam itu.

Sekedar intermezzo, di penghujung bulan April hingga awalan Mei kuartet ini menggelar sebuah tur berkeliling negeri kanguru Australia selama hampir dua minggu lamanya. The S.I.G.I.T tampil di beberapa kota, dari Melborne hingga ke Sydney. Dengan jumlah rombongan yang terbatas dan jadwal panggung yang padat, tur ini cukup menguras tenaga mereka, seperti apa yang diungkapkan oleh Rekti dalam sebuah jurnal perjalanan yang ia tulis. Berkejar-kejaran dengan waktu karena kebiasaan disiplin penyelenggara acara disana serta naik turun tangga menggotong alat mereka secara mandiri adalah beberapa contoh diantaranya. Namun The S.I.G.I.T adalah The S.I.G.I.T. Tampil sempurna merupakan harga mati, barang pasti dan tidak bisa ditawar sama sekali.

Apalagi saat berkunjung ke Cherry Rock Festival mereka disandingkan dengan Kadavar, salah satu grup stoner/psikedelia rock panutan mereka. Tampil lepas hajar sana-sini. Kelelahan mereka di Australia yang baru saja berakhir di tanggal 9 Mei, harus dilanjutkan secara marathon bolak-balik dari Tangerang Selatan, Bandung dan Jakarta pada 13, 14 dan 15 Mei. Selang berapa hari setelah lepas landas dari negara bekas jajahan Inggris tersebut. Mungkin masih mual, mungkin juga pucat. Tapi sekali lagi perlu digaris bawahi, The S.I.G.I.T adalah The S.I.G.I.T.

Menggeber lantai dansa dengan lagu-lagu pemantik semangat seperti “Detourn”, “Gate of 15”, “Tired Eyes” hingga “Son Of Sam” membuka set The S.I.G.I.T. Celana potongan cutbray Farri, setelan cungkring menjulang Rekti dan Acil, tegapnya Adit dan Absar adalah pemanjaan visual malam itu. The S.I.G.I.T luar biasa prima saat menawarkan dan membagi-bagikan secara gratis energi rock mereka kepada para loyalis sejati, Insurgent Army.

Rekti yang tidak mungkin gagal menghibur malam itu berdiri diatas panggung dilengkapi dengan properti tembak-tembakan berselongsong bebek. Amunisinya air putih. Sengaja ia bawa karena mengerti betul akan banyak yang haus ditengah moshpit The S.I.G.I.T sambil berteriak “Cai a, cai a,” (“Bang minum bang,” dalam bahasa Sunda). Ia tembakan air putih tersebut ke mulut para pengikutnya. Rekti kini sudah sampai dalam fase rockstar, fase dimana bisa berlagak suka-suka, apapun lagaknya, tetap akan terlihat keren saja, tanpa terkecuali. Rockstar punya lisensi untuk tidak bisa disalahkan.

Makin malam makin sialan. Disulut oleh “Let The Right One In” lalu dikobar agar lebih menggelegar dengan “Black Summer”. Suasana kian semarak, ini adalah pertunjukan musik rock kelas kakap, sejatinya bagi kalian penggila distorsi. Komplit tidak perlu diragukan lagi. Dari bunyi-bunyi yang dikeluarkan, tata cahaya mutakhir, hingga lenggak-lenggok macho para personilnya yang tetap dikawal oleh dentum drum yang digebuk dengan tepat oleh seorang Acil Armando.

Menjelang lagu terakhir dibawakan yaitu “Conundrum”, Farri yang merupakan sosok paling dingin membuka bajunya, seberapa detik kemudian tattoo bercorak sayap burung hantu yang melingkar dada depan ke belakang terlihat oleh penonton. Lelaki seutuhnya, idola kaum hawa pastinya. Malam itu tidak terlihat setitik kelelahan pun dari kelima orang tersebut diatas singgasananya.

Sajian musik rock yang rasanya kurang pantas apabila hanya diganjar dengan tepuk tangan saja, namun entah dengan apalagi. Bahkan sempat ada debat singkat sesaat setelah menyaksikan The S.I.G.I.T, “Harusnya mereka ngga usah bawain Black Amplifier tadi, set Detourn udah mutakhir!” ujar seorang kawan. Kemudian yang satu lagi menambahi, “Usah lah bro, justru itu yang ditunggu-tunggu oleh kita,”. Lagi-lagi pembuktian bahwa label rockstar akan membuat apapun yang kalian kerjakan akan tetap dianggap keren oleh banyak orang.

Materi yang mumpuni dengan daya letup luar biasa tidaklah sebegitu cukup. Jam terbang, profesionalias serta integritas merupakan modal lain The S.I.G.I.T. Rasanya tidak berlebihan setelah cukup lama akhirnya kembali menyaksikan The S.I.G.I.T di kota tercinta, ibukota Jakarta, kalau kini kita beramai-ramai segera kembali menyematkan julukan Sang Juru Selamat Musik Rock Tanah Air kepada faedahnya setelah sempat dicuri sebentar beberapa waktu kemarin.

photo: Achmad Soni Adiffa

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *