Connect with us

Flash News

Spaceandmissile – Play Rewind Erase: Riuh-Rendah Imajinasi dan Ingatan

Dipublikasikan

pada

spaceDi era sekarang, keseharian menjadi jarang bahkan tidak pernah hinggap. Keseharian berlalu begitu saja. Derasnya arus informasi yang datang setiap saat menjadikan orang-orang dalam kungkungan, tidak mampu menyerap. Kebaruan demi kebaruan menyebabkan de-familiarisasi. Segala sesuatu yang kita kenal menjadi asing. Bahasa pun tidak mampu menangkap. Hasilnya keseharian menjadi tertatih-tatih.

Lalu dalam keseharian kita mengenal modernitas. Namun, modernitas bukanlah merujuk kepada ke-sekarang-an. Kata ini merujuk kepada sesuatu yang jauh dari sekarang. Merujuk kepada masa depan. Anda pun jika membaca sekarang, sudah bukan kini lagi. Sudah berlalu.  Apakah modernitas penyebab keseharian menjadi begitu tertatih-tatih? Ataukah keseharian menjadi tujuan untuk merujuk kepada modernitas?

Diantara sekian banyak contoh yang hadir, ingin dilampirkan satu contoh yang bisa menjadi orientasi modernitas. Sebuah album musik dari kelompok Spaceandmissile. Album perdana yang diberi judul Play Rewind Erase. Frasa nama album ini pun sebenarnya sudah menjadikan jaminan, bahwa apa yang mereka tampilkan (Play) tidak lebih dari sekedar pemutaran ulang (Rewind), kemudian dilenyapkan (Erase).

Coba dijelaskan lebih mendalam. Spaceandmissile menampilkan musik berarti merujuk kepada ke-sekarang-an. Musik yang mereka mainkan kemudian diputar ulang dan dihapus. Akibat yang ditimbulkan dari prosesi ini adalah sebuah kejadian kembali ke masa depan. Tujuan Spaceandmissile menghapus sebenarnya tidak begitu saja. Ada rangkaian yang tercipta untuk nantinya dihadirkan kembali (modern). Kumpulan lagu-lagu dalam album ini adalah modernitas itu sendiri.

Sebelum lebih jauh, mari memperkenalkan terlebih dahulu awak Spaceandmissile. Dan musik seperti apa yang mereka tampilkan sehingga pantas atau memaksa (?) sebagai bentuk keluaran modernitas. Spaceandmissile terdiri dari dua orang – sama dengan anonim mereka yang terpisahkan kata penghubung – yaitu Ishaq Haris Yogaswara dan Tintus Hermawan. Musik yang mereka tampilkan tidak bertumpu pada vokal alias nir vokal. Tumpuan mereka adalah gitar dan software.

Jenis musik nir vokal yang ditampilkan Spaceandmissile ini identik dengan post-rock. Namun jika biasanya kelompok musik post-rock berorientasi menggunakan alat musik lengkap untuk menyempurnakan pengaktegorian kelompok musik, Spaceandmissile lebih mengutamakan kemampuan teknologi – yang sudah menjadi kebutuhan – untuk membuat musiknya hingga tersebutlah post-rock elektronik.

Teknologi bagi musikus sekarang ini begitu sangat membantu. Bagaimana lahirnnya penyebutan musisi kamar terbantukan karena mumpuninya teknologi. Orang-orang sekarang bisa dengan mampu membuat musik melalui software yang didapatkan dengan metode unduh dan gratis. Ada efektivitas yang tercipta melalui kinerja musisi kamar ini. Bagaimana membuat musik tidak perlu membuang waktu banyak dengan pergi latihan ke studio. Cukup dengan menggunakan dan menyesuaikan kebutuhan musik kita dengansoftware, untaian melodi pun tercipta. Hematnya, musisi kamar adalah manusia cekatan. Spaceandmissile adalah salah satu contohnya. Tapi, apakah manusia mempergunakan teknologi atau teknologi mempergunakan manusia?

Album ini berisikan sepuluh lagu, ditambah satu lagu yang tidak ada dalam daftar. Biasanya disebut hiden track. Sebelas lagu yang dirancang, dibangun, hingga ditampilkan Spaceandmissile. Sebelas lagu yang bisa disimpulkan dalam beberapa kata: imajinasi dan ingatan. Pondasi album ini ada pada masa depan. Bukan sekarang. Bukan kekinian. Kalau pun ada, mengingat untuk kembali ke masa depan.

Karena menguraikan satu-per-satu lagu di album ini bisa jadi membosankan, ada baiknya untuk memberi penjelasan untuk simpulan album ini saja.

Yang pertama dari simpulan album ini adalah imajinasi. Karena tidak mempunyai lirik, simpulan untuk imajinasi ini datang dari beberapa judul komposisi Spaceandmissile. Ditambah, dalam kemasan album ini juga dituliskan deskripsi mengenai keseluruhan komposisi. Wajar. Komposisi tersebut meliputi “Day After Us // Part 1”, “Day”After Us // Part 2”,“Wake Up Death”, dan “After Life”. Kesimpulan ini juga ditambah dari penggambaran melalui beberapa kalimat di dalam albumnya. Imajinasi tentang kehidupan setelah manusia meninggal. Tidak lagi di atas tanah, tapi di bawah tanah. Bagaimana dengan semangat masa depan, Spaceandmissile mencoba untuk mendeskripsikan kehidupan tersebut melalui sebuah komposisi.

Contoh pada pendeskripsian “Day After Us // Part 1”, Spaceandmissile menyerukan untuk melupakan kejadian di masa lampau dan memulai sesuatu yang baru. Atau pada “After Life” yang dengan yakin memberitakan bahwa ada kelahiran kedua setelah hidup di dunia. Mungkin ini semacam reinkarnasi(?). Jadi ada kesan bahwa deskripsi yang ditampilan Spaceandmissile mengagungkan kehidupan setelah mati.Namun, sebenarnya masih ada pertanyaaan lagi yang tertinggal. Apakah karena komposisi ini menjadi sesuai dengan pendeskripsian judulnya? Atau apakah pendeskripsian judul tersebut disesuaikan dengan komposisinya? Menjadi penyebab atau tujuan?

Hal berikutnya yang menjadi tolak ukur setelah imajinasi adalah ingatan. Imajinasi yang muncul pertama kali melalui ingatan. Imajinasi yang membuat ingatan diundang. Ingatan untuk merelakan  kejadian lampau ada pada “Relieve”, ingatan akan kejadian perang melalui “To Clothe Those Who Were Naked”. Ingatan untuk kembali bermimpi dan berharap pada “Von”. Bahkan “Play Rewind Erase” merupakan sebuah ingatan yang sudah bisa mengingat bahwa masa depan tidak mempunyai harapan. Apakah ini yang dimaksud dengan gagal move on? Seperti itukah Spaceandmissile menafsirkan ingatan-ingatan dalam komposisi? Jelas, ini bukan moda keseharian.

Jika pendengar jeli menyimak album ini, maka pembauran ritmis software dan gitar menjadi kabur. Pembauran-pembauran yang membuat pendengar bingung apakah bunyi yang keluar pada lagu ini, di menit sekian adalah bunyi gitar atau software. Pembauran yang menjadikan begitu dekat antara benda nyata dan abstrak. Pembauran yang Jean Baudrillard ungkapkan sebagai simulacra. Konsekuensi sebagai bentuk perkembangan ilmu dan teknologi informasi.

Ketertarikan terhadap penetrasi musiknya yang mengawang-awang, terkalahkan untuk perasaan mencoba menelisik lebih peka lagi – meskipun saya tahu itu mengganggu indera pendengar untuk lebih lepas menyimaknya. Lebih lepas menyimak percikan elektronik. Lebih lepas menyimak bagaimana Sapceandmissile memainkan emosi pendengar melalui tempo komposisinya yang begitu naik turun. Lebih lepas menyimak gitar yang bergaung serta efek delay – suatu metode yang bisa mencirikan jenis musik ini.

Akhirnya diputuskan bahwa kadar pembauran ini masih terasa kental software-nya. Pondasi pada setiap komposisi sebagian besar tidak bergantung pada gitar. Hal demikianlah, yang membuat album ini terlingkupi dengan kesan modernitas. Salah satu sifat modern adalah ketika alat sudah tergantikan dengan teknologi yang berkembang untuk kehidupan sehari-hari. Salah satu manifestasi pervasive computing. Lingkungan dimana sejumlah teknologi digunakan dan terserap dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kehadirannya tidak begitu dirasakan sebagai suatu kekhususan. Di mana dalam keadaan sekarang sudah mendominasi bagian dari kehidupan.

Album ini juga adalah album yang penuh dengan kekalutan. Penuh dengan riungan muram durja. Apalagi ditambah dengan komposisi yang secara senang mengawang-awang, tentu monopoli perasaan sedih ikut tertawa. Melalui sampul albumnya juga, Spaceandmissile menerjemahkan bahwa kekalutan itu bersifat masa depan. Spaceandmissile menyelenggarakan imajinasi dan ingatan untuk masa depan.

Jadi, bila tidak ingin terlena dengan kekalutan album ini ada baiknya di dengar sembari mencicipi Ubi Cilembu yang hangat, mungkin di sore hari. Biar gelora kekalutan bisa dikalahkan dengan kemayunya gigitan Ubi Cilembu.

Lalu, bilakah ulasan ini akan dibantah oleh Spaceandmissile melalui satu komposisi pada album ini yang berjudul “Too Many Words”? Ungkapan Spaceandmissile bahwa tidak diperlukan banyak kata. Cukup dengan menyimak saja (?). 

 

Menulis di Gigsplay sejak 2010 dan menjadi penulis skrip untuk Gigsonsky sejak awal 2011. Berakhir pekan untuk sebuah perpustakaan di Bandung.

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *