Connect with us

Interviews

Interview: Tentang Tetangga Pak Gesang yang Ternyata Memang Tetangga Pak Gesang

Dipublikasikan

pada

Terbentuk di Bandung awal 2013 lalu, duo wanita ini terbilang cepat menarik perhatian. Pertama, dari namanya saja siapa yang tidak tersenyum atau malah mengernyitkan dahi bertanya-tanya apakah jangan-jangan memang benar mereka tetangga pencipta lagu “Bengawan Solo” itu. Kedua, dengan perpaduan suara Arum Tresnaningtyas yang sambil bermain ukulele dan Meicy Sitorus yang sesekali meniup kazoo saat menyanyikan kembali nomor-nomor lawas milik Oslan Husein atau Adikarso dengan lirik-lirik jenaka bin usilnya yang khas, siapa yang bisa tidak menoleh penasaran. Tetangga Pak Gesang selalu terlihat sederhana dan bersahabat. Bernyanyi tentang hal sehari-hari sambil diam-diam menyisipkan pesan bermanfaat apabila kita lebih peka. Rasanya tepat mengundang mereka untuk memeriahkan acara ulang tahun keempat keponakan tersayang ataupun perayaan pernikahan emas oma-opa tercinta.
Ditemui seusai penampilannya pada acara Sore Doremi di Kandank Jurang Doank, Tangerang 1 Juni 2014 kemarin, Tetangga Pak Gesang mempersilahkan kami untuk banyak bertanya guna mengenal mereka lebih jauh. Tentang lirik lagu, kota Bandung, dan tentang mereka yang ternyata memang tetangga Pak Gesang.
 
 
Nama kalian sangat menarik dan komikal, pasti banyak yang menanyakan. Ada cerita di baliknya?
Sebenarnya ini adalah nama pemberian mas Budi Warsito dari Kineruku. Jadi kita memang sering datang ke Kineruku, ngobrol-ngobrol dengan Mas Budi. Ternyata gue (Arum) dan Mas Budi sama-sama dari Solo dan lulusan SMA yang sama juga. Jadi gue sering bercanda nyeletuk, “Eh aku tetangganya Pak Gesang lho!” Karena gue memang beneran tetangganya Pak Gesang. Rumah kita cuma jarak beberapa rumah. Dan gue cerita kalau dulu pas kecil gue inget di depan rumah Pak Gesang itu ada yang jualan jus. Gue juga sering melihat sendiri Pak Gesang keluar rumah pakai sarung kotak-kotaknya, atau pas dia ngasih makan burung peliharaannya. Itu kenangan masa kecil gue lah. Lalu Mas Budi yang kayak, “Udahlah, kalian namanya Tetangga Pak Gesang!” Awalnya lumayan geli dan nggak mau sih kita, aneh, tapi lama-lama lucu juga dan akhirnya keterusan.
Karena nama Tetangga Pak Gesang ini keren sekali untuk grup yang memang membawakan tembang-tembang lawas. Tapi mana yang lebih dulu, nama atau kesepakatan untuk berfokus pada musik-musik lama?
Nggak juga sih. Soalnya kalau mendengarkan musik kita dengerin semua sih, dari dangdut sampai RnB. Tapi kenapa kita pilih lagu-lagu lama mungkin karena itu yang paling cocok untuk kita nyanyikan. Soalnya kalau kita nyanyi RnB kan kayaknya nggak cocok. Kita suka musik itu, tapi maksudnya ketika kita tidak bisa melakukan atau menyanyikannya ya kita tidak akan memaksakan diri. Ya kayaknya memang karakter kita itu di sini, lagu-lagu lama. Dan hal ini kita rasa sudah dari sebelum akhirnya dapat nama Tetangga Pak Gesang.
Apa kalian spesifik pada dekade tertentu?
Mungkin 40-60an kali ya. Kalau yang wanita itu seperti Lilis Suryani, Nien Lesmana, Tetty Kadi juga kita mendengarkan. Habis bagaimana ya, lagu-lagu dulu itu sebenarnya sederhana tapi liriknya juara. Kayak lirik-lirik yang menggunakan Bahasa Indonesia yang mungkin pada masa itu bahasa sehari-hari, tapi ketika kita mendengarkan lagi tuh bagusnya beda. Lagu-lagu dulu tuh selalu membuat kita terbayang visualnya. Menurut kita itu menarik dan mungkin juga karena latar belakang kita fotografi, jadi mungkin juga sedikit mempengaruhi.
Dari begitu banyak lagu-lagu di dekade itu, bagaimana kalian memilih mana yang akan dibawakan?
Sebenarnya tidak ada kriteria khusus, random aja pas lagi denger-dengerin, “Eh ini lucu!” Atau saat dengar lagu apa, nyoba pembagian vokalnya, eh ternyata pas untuk kita berdua. Tidak ada standar khusus. Karena di awal-awal juga kan sebenarnya kita bertiga, nah dia ini sukanya Jack Johnson, Fleet Foxes, folk banget. Itu kita nyanyikan juga. Tapi setelah setahun ini akhirnya kita merasa akan lebih kuat kalau menyanyikan lagu-lagu lama dan kebetulan masuk sama karakter suara kita.
Kalian juga sudah punya beberapa lagu sendiri dan dari liriknya terlihat kalian sudah mulai fasih bertutur kata dengan gaya lama tanpa terdengar memaksakan. Bagaimana tentang itu?
Dari sekitar setahun yang lalu, kita semakin menyadari karakter Tetangga Pak Gesang itu sebenarnya yang seperti apa. Akhirnya kita jadi semakin banyak menambah referensi lagu-lagu lama. Kita dengarkan saja semuanya, memasukkan asupan sebanyak mungkin, baru kemudian mencoba menulis dan itu tiba-tiba keluar dengan sendirinya. Dan kita sering brainstorming berdua, apa nih kata-kata lama yang sudah jarang digunakan. Kayak tustel, aduhai, amboi. Itu kan sebenarnya di lagu-lagu lama sering sekali muncul. Jadi ada beberapa yang memang kita mengadaptasi dari lagu-lagu yang sudah ada tapi ada juga yang murni hasil brainstorming kita berdua. “Eh kita bikin lagu yang tema keseharian aja lah!” Karena memang itu sebenarnya kejadian pribadi. Kita punya lagu tentang motor tua, karena memang habis beli motor tua. Ada lagu tentang kucing, karena pelihara kucing. Apa yang kita lihat sehari-hari saja.
Menurut kalian apa yang membedakan lirik kalian dengan, katakanlah, lirik Sari dari WSATCC yang sama-sama bergaya lama?
Kita benar-benar lirik yang sehari-hari banget. Kalau WSATCC kan masih ada puitisnya, indah. Tapi sebenarnya kita juga punya rencana sih bikin lagu yang manis, romantis, tapi tetap rasa lama. Mungkin yang masih kayak Ismail Marzuki, Bob Tutupoli. Kita tidak ingin bikin yang temanya jauh dari kita. Pernah waktu awal sebelum bisa bikin lirik, kita meminta tolong seorang teman, dia penulis blog, tulisannya bagus banget, puitis. Secara lirik bagus banget, enak, tapi akhirnya buat kita sebenarnya masih belum yang kita ingin banget karakternya.
Kira-kira apa yang membuat lirik bertema keseharian populer dan digemari di waktu dulu?
Mungkin karena masa sekarang segalanya sudah terlalu cepat. Teknologinya terlalu banyak memberi asupan informasi dan referensi dengan cepat. Jadi ada banyak hal. Sedangkan kalau dulu kan, yaudah, kayak Adikarso, gue pengen makan, gue pengen ngopi, yang paling terkenal ya di Senen karena tempat nongkrong seniman. Jadi apa yang dilihat, dirasa, didengar, itu yang langsung ditulis. Tidak kayak sekarang yang informasi dan referensi sudah terlalu cepat sehingga jadi semakin banyak pula pilihannya. Kalau dulu hidup di jaman itu kan, mau cari referensi lagu, buku, bagaimana? Tontonannya juga pasti sama. Jadi ya disitu-situ aja. Tapi mungkin cara mereka mengekspresikannya dengan memperkaya nuansa visual pada lirik. Rata-rata dulu selalu bercerita kan liriknya, story telling.
Dan sepertinya sekarang akan mulai populer lagi.
Apapun itu, tren pasti selalu berulang. Seperti baju dan barang-barang vintage sekarang orang lagi suka. Sebenarnya tidak akan ada yang baru, semua akan berulang tapi dalam kemasan yang berbeda. Misalnya kayak si Zee Avi dengan lirik “Kantoi” yang mencampur-campur Melayu dengan bahasa Inggris, itu dulu pernah dilakukan juga oleh Bing Slamet dan Oslan Husein. Tapi ketika Zee Avi menyanyikan itu orang-orang langsung “Wuih, lucu banget liriknya!” Padahal jaman dulu tuh banyak banget. Jadi memang semuanya pasti perulangan.
Berarti kalian juga ingin membantu mempopulerkan lagi ya?
Sebenarnya tidak juga sih karena itu memang apa yang kita suka. Kita mau explore aja penggunaan Bahasa Indonesia yang sudah lama tidak digunakan. Terus kita juga ingin mengingatkan lagi hal-hal sederhana, keseharian di sekitar kita yang selama ini orang sudah mulai lupa. Kita juga tidak mau yang sekedar “Gue punya lagu nih” tapi juga paling tidak, misalnya kayak di lagu “Liburan Bersama Keluarga” sebenarnya kan sederhana ya, tapi anak-anak jaman sekarang kan lebih nyaman main dengan teman-temannya di mall, nah kita mau mengajak lagi, ayolah kita ke taman, ke kebun binatang. Terus kayak lagu tentang motor tua, memang lucu-lucuan aja sih, tapi pesannya ya berkendaralah yang tidak cuma keren tapi tetap pakai helm.
Bagaimana kalian mendapatkan lagu-lagu lama itu?
 Mas Budi Warsito banyak memberi referensi. Di YouTube juga ada satu bapak-bapak ini yang sangat hobi banget meng-upload lagu-lagu dari koleksi piringan hitamnya. Ya sudah kita pergunakan saja, ada YouTube Mp3, tinggal convert [tertawa]. Yang penting kan bisa didengarkan. Ya sebenarnya pengen nabung juga buat beli piringan hitam, karena kan lagu-lagu lama kaya banget dalam format itu. Bagaimana rasanya mendengarkan piringan hitam dari koleksi sendiri, kan pasti lebih mantap.
Apa kalian juga akan merilis format piringan hitam?
Kayaknya pengennya kaset. Kita sebenarnya sedang menyiapkan demo 5-6 lagu. Kita rekaman rumahan pake Garageband, karena pernah rekaman studio pun, rekaman per track, ternyata hasilnya rapih banget tapi tidak ada feel-nya. Akhirnya kita latihan, belajar kulik-kulik Garageband lagi sendiri, cari laptop pinjaman, kita rekam, dan ternyata hasilnya juga masih layak untuk didengarkan. Ya sudah kita anggap saja ini demo. Tapi nanti kalaupun kita punya uang, kita rekaman pun pengennya tetap live. Dan kita kepikirannya akan merilisnya dalam bentuk kaset. Mungkin kaset ini hanya sebagai merchandise saja, dan tetap bisa di-download gratis.Kebetulan juga tanggal 13 Juni ini kita diundang ke Bali. Rencananya pulang dari Bali kita mau tur jalan darat ke Malang, Banyuwangi, Probolinggo, Solo dan Jogja. Karena pakai ongkos sendiri, jadi kayaknya kita butuh uang dan akan cetak demo tersebut dalam CD dulu terus di-bundling dengan totebag dan kaos untuk dijual selama perjalanan.
Jika nanti Tetangga Pak Gesang sudah jauh lebih mapan, apakah kalian punya bayangan tertentu untuk tampilan live dan visual yang lebih terkonsep? 
Kita tetap ingin sederhana aja sih. Tapi juga sering kalau kita diundang main, kayak kemarin waktu main di pasar crafts gitu. Kita nggak mau di panggung, kita akhirnya keliling ke boothbooth. Kita bikin semacam daftar lagu dan tiap booth pilih satu lagu, kita nyanyikan. Kita lebih suka konsep yang seperti itu ya, lebih fun, lebih direct, dan sesuai dengan situasi dan kondisinya, site specific. Kayak kemarin kita main ke Jogja, nah tiba-tiba di alun-alun kidul ada keluarga-keluarga yang sedang duduk-duduk. Kita datangi aja, “Kami boleh nyanyi ya?” Tidak perlu di panggung, menyanyikan lagu untuk keluarga kecil dengan dua anak tuh rasanya senang banget.
Beberapa waktu lalu Tetangga Pak Gesang juga sempat mengunjungi salah satu panti wherda. Pasti rasanya istimewa ya?
Yang paling berharga tuh, yang mereka kasih ke kita bukan materi, tapi responnya. Baru lagu pertama nih, gila, kita udah langsung berkaca-kaca, nyanyinya udah meleyot-meleyot. Bagaimana mereka duduk mendengarkan kita, ikut bernyanyi, dan wajahnya tuh benar-benar senang banget. Itu rasanya…aduh, daripada main di mana mending kita main di situ terus. Itu semua nenek-nenek dan opa-opa di situ yang kayak, “Tuhan memberkati ya, Tuhan memberkati…”, “Aduh…suaranya bagus sekali…”, “Kapan datang lagi ke sini?” Kita sampai bingung juga gimana merespon baliknya. Begitu selesai nyanyi selalu langsung ada yang teriak. “Kemesraan!” Anjrit lah. [tertawa]. Itu “Bengawan Solo” saja sampai kita bawakan berkali-kali, diulang terus. “Anu mbak, rikues ‘Rangkaian Melati! ‘” “Aduh… lagu yang mana ya oma?” Jadi sebenarnya referensi bukan lagi hanya kita mendengarkan koleksi, tapi dengan berkunjung seperti ini mereka pasti banyak yang rikues kan. “Wah, itu lagu apa yah?” Banyak juga jadinya lagu yang diajarkan dan yang kita tau dari mereka, lalu kita jadi nyari lagi sendiri.
Menurut kalian apa yang membuat Bandung mudah menghasilkan musik-musik sederhana, santai, tapi tetap kuat seperti misalnya kalian, Teman Sebangku, Nadafiksi, Tigapagi, Banda Neira dan sebagainya dibandingkan kota besar lain?
Bandung tuh punya atmosfir yang santai. Ada atmosfir untuk melakukan hal-hal yang dibilang “selo” sama beberapa orang tapi sebenarnya nggak seselo itu juga sih [tertawa]. Kalau dilihat Bandung memang dekat dari Jakarta, tapi kalau lo rasain waktunya, Jakarta tuh cepat banget gitu waktunya. Kalau di Bandung lo masih punya tuh waktu untuk “Gue ngopi sore dulu deh”, kalau janjian ke mana masih bisa “OK, berangkat nanti dulu deh”. Kalau di Jakarta kan mau janjian, “Aduh ke Kemang jauh euy“. Di Bandung lo masih bisa melakukan hal-hal di tengah kesibukan lo. Sesibuk apapun lo masih bisa ngajak teman nongkrong, “Yuklah ke taman dulu yuk”. Kalau Jakarta tuh kayak, anjir, satu hari satu tujuan, waktunya habis di jalan. Sedangkan di Bandung waktu terasa berjalan lambat dan dingin. Itu sih mungkin yang berpengaruh. Kayak Teman Sebangku aja itu dua-duanya kerja kantoran lho, tapi mereka masih punya waktu untuk bisa menghasilkan musik oke yang kayak gitu.
Teks: Daffa Andika
Foto: Dok. Pribadi Tetangga Pak Gesang
2 Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *