Connect with us

Album Review

The SIGIT – Detourn: Apologi Tepat Waktu

Dipublikasikan

pada

the-sigitBahwa kehidupan memang begitu identik dengan ketidakpastian. Selalu saja ada yang diberikan semesta kepada setiap manusia dan dalil mau-tak-mau begitu berlaku. Lalu, berhubungankah hal tersebut dengan apa yang namanya tujuan hidup? Saat di mana manusia memutuskan untuk mempunyai tujuan hidup, tanpa sadar manusia sebenarnya masih mencari apakah tujuan itu menjadi suatu kepastian atau malah tidak sama sekali? “Mengapa saban kali musti susah-susah memilih, sebaiknya hidup sajalah – picing mata, terus saja” (Kering, 1972: 144)

Paragraf pembuka di atas merupakan selingan untuk menilik seperti apakah Detourn yang notabene adalah album baru The SIGIT. Album kedua yang menjadi ujian tersendiri – kepastian atau ketidakpastian – bagi setiap kelompok musik ketika; berhasil mencuri bahkan mendewakan album pertamanya yang begitu menggugah bagi pendengarnya. Ada kedekatan yang terjalin. Sebenarnya bukan menjadi hal yang begitu mengejutkan ketika selang waktu tujuh tahun bagi Rekti Yoewono, Farri Icksan, Aditya Bagja, dan Donar Armando untuk melakukan reka cipta album kedua The SIGIT. Dalam diri masing-masing dari keempatnya mempunyai apologi yang bukan hanya pada diri mereka. Lebih dari itu.

Pasti ada desakan yang bisa menjadi begitu deras. Pergumulan di dalam perasaan ketika diminta untuk segera meluncurkan karya berikutnya. Tapi, apakah keempat orang ini menjadi begitu menggebu-gebu untuk menyelesaikan proyeksi reka ciptanya ketika mendengar desakan? Apakah ada pertunjukan eksistensi yang begitu segera ingin dimunculkan? Mengingat semakin marak kelompok musik yang muncul.

The SIGIT tahu bahwa ada waktu yang tepat untuk mengembalikan ketidakpastian menjadi semacam kepastian yang tertunda – atau mungkin kelanjutan dari ketidakpastian. Jadilah Heartz Dyselxia sebagi penangguhnya. Terlalu banyak berharap bahwa ini adalah menjadi album berikutnya. Kelanggengan musik berikutnya. Tapi, The SIGIT tahu, akan lebih baik untuk tidak terlalu terburu-buru atau menggebu-gebu atau apalah namanya untuk memberikan seluruh nafas karya mereka. Akan lebih baik untuk diberikan dosis yang setara. Perlahan-lahan.

Manalagi keempat orang ini pasti ada perasaan jenuh terus menerus bersinggungan dengan musik. Selalu ada kesibukan masing-masing diantara empat orang ini untuk tidak terlalu memikirkan musik. Butuh angin segar. Agar juga tidak menjadi begitu stagnan. Agar tenggat waktu menjadi tepat.

***

Maka datanglah akhir dari segala proses itu. Detourn. The SIGIT terlihat begitu sengaja untuk memperkenalkan album keduanya melalui single “Let The Right One In”. Semacam ada perasaan ingin tahu sejauh apa respon dari para pendengarnya yang begitu menantikan album mereka. Tidak lama berselang, album tersebut akhirnya keluar. Album yang dari rekan-rekan mengganggapnya sebagai sebuah proses kedewasaan dari album Visible Idea of Perfection.

Durasi empat puluh lima menit tercakup dalam sebelas lagu. Distorsi gitar diharmonisasikan dengan alat musik tiup pada beberapa lagu. Detourn dibuka dengan judul yang hampir sama dengan albumnya, namun ada penambahan satu huruf vokal dibelakangnya. Maka jadilah “Detourne”. The SIGIT membuka tempo yang sedikit agak lebih lambat sebelum di detik tiga puluh enam, ciri yang dikenal sebagai musik The SIGIT akhirnya terdengar tidak berselang lama, sebelum suara khas Rekti Yoewono. Ada keseksian di pertengahan lagu, bagaimana The SIGIT memberikan ruang kepada Aziz Saxsoul untuk meniupkan saxophone. Lagu yang menyiratkan perenungan bahwa hidup begitu baiknya adalah bersikap biasa-biasa saja. Lirik menyentil ada pada, I thought that you were my peer / turn out you got something fear.

Salah satu ajang penyajian riff gitar Rekti dan Farri ada pada “Gates of 15th”. Riff gitar yang menjadi penanda bahwa beginilah tata suara The SIGIT. Juga pada lagu ini kembali dihadirkan alat musik tiup flute. Sebuah lagu yang cukup bermain dengan makna konotasi pada liriknya. Nampak seperti cerminan ketidakpastian. Terdapat pernyataan menjadi lumpuh dan tidak akan menjadi benar. Seketika kemudian ada beberapa dialektika seperti, reckless love and grudging seeds atau jealous deeds for the friends in need.

Seperti ada sesuatu yang kurang bilamana The SIGIT tidak menyajikan satu balada folk. Di setiap album yang mereka rilis menjadi ada kebiasaan seperti itu. Dimulai dari “Live in New York” di Visible Idea of Perfection, lalu lagu yang ditampilkan ulang dari Neil Young “Only Love Can Break Your Heart” di Heartz Dyslexia. Di album Detourn, “Owl and Wolf” menjadi penanda lagu yang bisa dinyanyikan di mana saja dengan bermodalkan gitar akustik. Sisi syahdu yang ditonjolkan The SIGIT. Lagu ini adalah seputar percikan cerita antara dua orang yang mengagumi malam berikut isinya. Mengikuti jejak serigala dan burung hantu.

Juga ada persembahan kepada beberapa tanah di dunia – termasuk Indonesia – yang dikelilingi gunung berapi. Dikenal dengan sebutan “Ring of Fire”. Sebutan ini pun menjadikan pilihan sebagai judul lagu padaDetourn. Lagu ini merupakan ciptaan Rekti Yoewono dan Farri Icksan. Lirik yang begitu tajam, menggambarkan lingkungan yang begitu amburadul. Sampai-sampai Rekti memberikan pernyataan bahwa ini hanyalah masalah waktu, tidak ada yang membedakan. Perenungan lirik ini semakin mendalam ketika kita harusnya menjadi tersadar, bahwa kehidupan yang sekarang ini tidak lebih dari sekedar untuk mempersiapkan kematian. Tersebutlah lirik Feel like we’re fixing to die. Juga cukup mengingatkan dengan judul lagu Country Joe McDonald, “Feel Like I’m Fixing to Die”. Sebuah tujuan demi kesempurnaan hidup, tulis Iwan Simatupang dalam Ziarah (1969). Sebuah lagu dengan irama slow rock.

Detourn ditutup dengan teka-teki sepanjang enam menit lebih. Komposisi musik yang bisa menjadi dikenal dengan suasana psikedelik ini berjudul “Conundrum”. Permainan gitar dengan efek delay disusul bass linedari Aditya Bagja. Perasaan pesimistis menjadi keberlakuan hampir disepanjang liriknya. Telah dibacanya hampir semua buku sejarah, namun masih bingung apakah harus mempercayai segala teorinya; sehingga disebut eksponen. Dia tidak mengetahui apakah dia bisa? Apakah dia harus? Sementara waktu semakin menjadi. Ketidakpastian bahwa eksponen tersebut bahkan terus meneru melakukan kesalahan yang sama? Lalu, apa? Untuk lebih baiknya, poin tersebut saya kembalikan terhadap kutipan Kering (1972) diatas.

***

Sudah menjadi keniscayaan bahwa Detourn ataupun The SIGIT begitu memperhatikan ornamen-ornamen dari setiap lirik dan musik. Kerenyahan menjadi suatu yang umum bagi mereka. Namun, kadangkala juga terjebak. Kontemplasi lirik dengan ciri khas musik The SIGIT, semakin ditambahkan dengan beberapa ornamen alat musik tiup yang sebenarnya bukan menjadi barang baru. Mereka sudah memulai itu di Heartz Dyslexia. Ornamen yang menjadikan satu bentuk baru dari segala ketidakpastian. Apakah ini sudah menjadi kepastian akan kedewasaan The SIGIT? Atau bagaimana jika ini hanya bagian dari ketidakpastian yang berujung pada kedewasaan The SIGIT?

Apologi The SIGIT pada Detourn ini semakin bertambah dengan persiapan yang terkesan mewah dan seksi. Fast Forward Records (FFWD) selaku label yang menaungi menggelontorkan kaset, CD, dan piringan hitam untuk album ini. Sebuah persiapan yang benar adanya.

Sedikit memberikan gambaran deluxe CD boxset. Selain poster dan stiker, format ini juga menyertakan kaset Detourn. Hal menarik lain yang disoroti pada format ini adalah terdapat 12 artwork dari masing-masing lembaran yang dibungkus dengan sistem gatefold. Mencermarti masing-masing dari 12 artwork yang dikerjakan oleh Team 33, nampak seperti berkesinambungan dengan 11 lagu yang ada pada Detourn. Gambar-gambar surealis seperti benda langit, padang pasir dengan lubang hitam di tengahnya, bahkan hutan yang semestinya menjadi kesejukan terasa mencekam dengan adanya empat pasukan yang secara penuh ditutupi oleh kain merah.

Untuk poster yang bergambarkan artwork album Detourn, mengingatkan pada film Holy Mountain. Sebuah film avant-garde tahun 1973 yang disutradarai Alejandro Jodorowsky. Film yang konon dibiayai oleh John Lennon.

Menulis di Gigsplay sejak 2010 dan menjadi penulis skrip untuk Gigsonsky sejak awal 2011. Berakhir pekan untuk sebuah perpustakaan di Bandung.

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *