Connect with us

Interviews

Cholil Mahmud: “Orang berubah itu wajar”

Profile photo ofstreamous

Diterbitkan

pada

Tentu tidak mudah menjadi Cholil Mahmud. Selain padatnya jadwal panggung bersama Efek Rumah Kaca yang terus berderet rapat sejak rilisnya album pertama mereka sembilan tahun lalu hingga akhirnya membuat proyek baru Pandai Besi yang tetap sama larisnya, selama itu pula menjadi seseorang yang bertanggung jawab untuk lagu-lagu yang berhasil memberikan kesadaran, kepedulian, dan keberanian baru kepada generasi muda akan banyaknya hal-hal di sekitar yang terjadi dengan tidak semestinya dan bagaimana itu ternyata dapat dilawan dengan mosi tidak percaya, adalah amanat jika bukan kutukan yang jauh dari main-main. Walaupun mungkin memang tidak seberingas Ucok Homicide dan tanpa milisi sebesar Iwan Fals, tidak berlebihan menyebut jadi pahlawan bagi sebagian orang adalah niscaya seorang Cholil Mahmud. Namun kutukan berikutnya datang ketika segala hal yang mengantarkannya menjadi pahlawan telah dilakukan, sang pahlawan harus menerima kenyataan mendapati dirinya telah berubah menjadi kontradiksi berjalan bagi hal-hal tersebut. Apakah ini akhir cerita sang pahlawan? Apakah sebuah perubahan diri merupakan dosa terbesar bagi seorang yang dianggap pahlawan? Atau ini titik yang harus disyukuri karena menjadi pahlawan sesungguhnya memang kutukan karena tidak pernah mudah?

Dalam konteks sebagai musisi, Cholil melihat bahwa hal-hal seperti itu tidaklah penting dan justru dapat menghalangi seseorang untuk menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri. Kepahlawanan adalah romatisme dan romantisme selalu membutakan. Kita semua akan terus ingat perasaan itu, tersambar petir di siang bolong ketika melihat Iwan Fals lantang mengajak dari dalam televisi, bukan untuk robohkan setan yang berdiri mengangkang melainkan untuk minum kopi yang telah membeli kepahlawanannya. Jika kita masih buta oleh romantisme-romantisme abstrak tersebut, entah berapa waktu dalam hidup kita yang terbuang untuk mengumpat, menangisi dan membebani hati dengan kekecewaan bahkan kebencian yang mengendap. Dan saat bisa terbebas dari kebutaan itu, masalah selesai dengan kita yang tersenyum sambil terus berjalan dan berujar santai, “lo bukan pahlawan gue lagi.”

Wawancara ini dilakukan satu minggu sebelum Cholil berangkat melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat. Tidak diberikan jawaban pasti mengenai nasib album ketiga Efek Rumah Kaca yang tidak kunjung rampung. Satu-satunya yang dapat diantipasi adalah kepastian bahwa bagi mereka yang memutar “Mosi Tidak Percaya” sehari penuh pada 9 April lalu, “Di Udara” sebagai pengiring membaca kultwit bertagar #menolaklupa, “Belanja Terus Sampai Mati” saat melintasi mall dengan antrian mobil yang menjalar, atau “Menjadi Indonesia” sebagai lagu pertama memulai hari dan pada taraf tertentu menasbihkan Cholil Mahmud sebagai salah satu pahlawan, mungkin semuanya harus berhenti di album ketiga ini. Tidak lagi ada baris-baris nyanyian tentang perlawanan, dan entah perubahan-perubahan lain yang mungkin dibawa Cholil sepulangnya nanti. Mengutip Cholil, perubahan itu wajar dan apabila nanti perubahan itu benar-benar terjadi, persiapkan diri untuk terhindar dari jerat-jerat romantisme tadi. Mungkin itu waktu untuk Cholil atau ERK untuk tetap menjadi pahlawan walaupun bagi orang-orang lain. Jika tidak pun, setidaknya ia sedang menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri, yang merupakan hal terpenting dari segala hiruk pikuk ini. Jika ternyata tetap tidak begitu, apa mungkin memang kita yang take it seriously?

Cholil Mahmud, apakah anda benar-benar seorang yang kiri, subversif, rebel, dsb?

Tidak tahu. Gue hanya berusaha melakukan yang gue percaya dan yang gue percaya itu kan berubah-ubah ya, tergantung pengetahuan gue, nah gue menjalankan itu saja. Tapi yang pasti gue tidak pernah melakukan hal yang munafik. Gue memaksimalkan apa yang gue tahu untuk dijalankan sebagai pandangan kehidupan gue. Sebenarnya kalau melihat ke gue jaman SMP-SMA, gue memang tidak terlalu peduli politik juga sih. Biasa saja, ngeband, tidak yang sudah baca buku-buku berat kayak anak jaman sekarang. Seiring pengetahuan meningkat lalu gue merasa gue punya sikap. Misal paling dasarnya, yang paling mengikat; lirik Efek Rumah Kaca, ya gue berusaha untuk tidak keluar atau bertentangan dari situ.

Tapi bukankah itu yang beberapa waktu lalu sempat menjadi perbincangan, bahwa ternyata anda ikut mendukung salah satu pasangan legislatif Jawa Barat, yang mungkin terlihat berkontradiksi dengan lagu “Mosi Tidak Percaya”.

Rieke-Teten? Gue tidak dukung Rieke-Teten. Gue dukung Teten sebagai Teten seorang individu. Salah kah? Gue gak mikirin orang mau bilang apa, bodo amat. Orang punya kehidupan masing-masing, gue punya kehidupan sendiri. Gue menjalankan apa yang gue percaya dan yang gue percaya adalah yang paling baik buat gue. Iya gue pernah datang ke acaranya Teten, gue main, tapi ya untuk Teten. Antara Rieke-Teten dan Teten tuh beda. Teten punya kehidupan pribadi yang kalau dia mau maju ya kenapa gue tidak boleh dukung. Premis orang lompat-lompat. Rieke-Teten dan Teten dianggap hal yang sama adalah salah besar. Kalo menurut orang mendukung Teten itu salah ya sudah, tidak apa-apa, tapi gue dukung Teten. Apa lalu itu bertentangan dengan lagu “Mosi Tidak Percaya”? Kalau orang bilang iya, ayo kita uji. Itu kan yang diomongin orang? Sebenarnya juga gue tidak peduli karena gue tahu semua orang punya motif, gue tidak percaya itu yang namanya netralitas orang-orang yang ngomong, mereka pasti punya motif. Entah mencari teman dengan keberpihakan yang sama atau apa. Gue merasa apa yang gue lakukan adalah apa yang gue percaya sepenuh hati.

Bisa saja itu menjadi awal

Tidak. Itu kesalahan berpikir orang-orang dan kesalahan ini jangan dianggap remeh. Bahwa jika lagu “Mosi Tidak Percaya” artinya adalah kepercayaan yang gue adopsi yang adalah X, maka kepercayaan yang orang-orang adopsi adalah Y. Belum tentu sama dengan kepercayaan yang gue adopsi. Tapi lalu mereka terus memaksakan kehendak yang mereka adopsi untuk diterapkan di semua orang, di gue. Itu kan kesalahan, hingga terus melebar kemana-mana. Apa sih? Gue kan tidak harus hidup dengan standar orang lain. Gue dituntut untuk hidup dengan standar orang lain yang padahal kita juga belum tentu sepakat dengan syarat-syarat yang juga seolah-olah ada.

Oh ya, pernah juga ada crew ERK yang memberi tahu gue kalau ada yang mempermasalahkan pernyataan gue di sebuah majalah; “Masyarakat tidak boleh apatis.” Gue bingung, “Loh kenapa?” Dia bilang, “Ya kalau lo sudah ngomong mosi tidak percaya ya berarti lo boleh untuk apatis terhadap pemerintah.” Wah gak bener. Kecuali lo anarkis yang meyakini bahwa negara adalah hambatan, atau selama lo masih mengakui sistem demokrasi, ya lo harus makan semua itu. Apatis yang gue tahu sih lebih mengarah kepada ketidakpedulian kan. Ya kalau lo peduli bukan berarti lo percaya, kan? Premisnya orang kan kalau lo mosi tidak percaya berarti lo harus apatis. Padahal tidak begitu. Orang golput itu apatis gak? Bisa berbagai macam. Bisa karena dia memang apatis, bisa juga dia tidak apatis sehingga dia menyuarakan haknya untuk tidak percaya. Menurut gue mosi tidak percaya adalah mosi tidak percaya, lo tidak percaya terhadap sesuatu. Tapi ketidakpercayaan itu bentuknya banyak. Bisa kan ketidakpercayaan itu lahir dari kepedulian. Permasalahannya adalah apatis ini dianggap sesuatu hal yang sempit.

“Masyarakat tidak boleh apatis”, berarti masyarakat harus peduli kan. Peduli itu dalam artian kalau lo tidak puas, kalau lo dibohongi, ya lo protes, lawan. Terus jika lo protes apakah itu bertentangan dengan mosi tidak percaya? Tidak kan? Sama-sama menggugat dan tidak percaya kan? Itu seiring dong?

Jadi, gue tidak mau apatis terhadap pemerintah, gue mau mengikuti dan memantau semua yang orang-orang itu kerjakan, terus kalau mereka ngaco ya gue demo, gue protes. Itu bentuk ketidakapatisan gue. Jadi apakah kalau gue tidak apatis berarti gue sudah pasti percaya? Orang menganggapnya kalau “tidak boleh apatis” itu artinya kayak jaman Golkar gitu kali ya, harus nurut-nurut aja? Tapi ya sudah, gue juga tidak ingin ikut campur perdebatan itu, kalau orang mau mempermasalahkan ini tidak apa-apa. Tapi kalau mau tahu jawaban gue, ya itu. Karena gue bahkan tidak mengira kalau akan ada orang yang berpikir secetek itu bahwa tidak apatis adalah sudah pasti percaya. Peduli dan percaya bukanlah hal yang beriringan.

Pernahkah ada ketakutan tertentu anda akan menjadi seperti Iwan Fals saat ini yang berhadapan dengan kontradiksi dari karya-karya yang membesarkannya?

Gue tidak sebesar dia dan gue merasa gue bukan siapa-siapa terus menerus. Gue tidak pernah menganggap punya kapabilitas, kesuksesan atau punya dampak yang sama dengan dia.

Tapi menurut anda pribadi apa yang terjadi pada Iwan Fals?

Manusia pasti punya fase dan buat gue kalau dinilai dari karyanya, gila, Iwan Fals memang pantas untuk putus asa, dia sangat pantas untuk putus asa dengan apa yang sudah dia lakukan. Karena gue membayangkan, dia sudah melakukan protes selama bertahun-tahun, dalam berapa puluh lagu, dalam berapa album yang sudah dia buat. Sekarang gue lihat ke gue sendiri, gue aja malas secara pribadi nulis lagu yang dipesan orang. Gue rasa dia mengalami hal yang lebih gila. “Eh lo bikin lagu tentang ini dong, eh lo tulis tentang itu dong, tulis tentang dia dong.” Pasti sangat bingung, “Gue mau jadi apa sih?” “Gue nulis lagu tentang perubahan tapi keadaan cuma begini-begini aja.” Terlebih waktu dulu orang-orang tidak punya saluran maka disalurkanlah oleh Iwan Fals, dan sekarang ketika semua orang punya saluran masing-masing untuk ngomong ternyata juga tidak membuat segalanya jadi lebih baik. Itu sangat bisa membuat orang jadi patah semangat.

Gue pun sebenarnya juga sudah malas, gue tidak tahu lagi mau nulis tentang apa. Tapi yang jelas gue muak nulis lagu politik yang seakan-akan mengambil momentum apa yang lagi hits, yang lagi tren, langsung bikin lagunya. Sudah jadi kayak formula, gue muak. Ya memang benar segala sesuatu yang mengganggu diri lo harus lo utarakan, tapi kalo jadi terpola juga agak malas. Apalagi semua orang juga sudah melakukan hal itu, ngomongin politik, jadi ada kejenuhan di situ. Balik ke Iwan Fals lagi, kejenuhan-kejenuhan itu mungkin saja membuat dia jadi tidak segarang dulu lagi, itu sudah pasti. Ditambah tuntutan dia sebagai, katankanlah, kepala padepokan atau apa yang menuntut dia untuk bisa menghasilkan uang dari apa yang bisa dia perjuangkan. Lo harus ingat ada berapa puluh master albumnya dia bukan milik dia. Jadi apa yang sudah dia kerjakan selama ini, tidak punya tuh dia masternya. Akhirnya bersikaplah dia seperti begini sekarang. Jadi gue ingin memberikan jarak bahwa mungkin iya, gak cool, gak cool sama sekali apa yang dia lakukan, tapi kita tidak bisa acuh kenapa dia begitu selama itu bukan perbuatan dosa. Kalau kita bilang, “Ah dia udah gak cool!”, ya sudah tidak apa-apa, lo tinggal tutup buku, dia bukanlah pahlawan lo lagi, selesai. Karena buat dia, dia tidak jadi pahlawan lo pun ya tidak ada masalah, dia masih punya tugas untuk jadi pahlawan bagi keluarganya, bagi orang-orang di sekitarnya. Kasarnya, “Gue udah pernah jadi pahlawan lo, terus sekarang gue jadi apa?” Pasti yang dia pikirkan tinggal bagaimana untuk bisa jadi pahlawan bagi keluarganya, jadi tulang punggung mereka. Caranya bagaimana? Ya mungkin dengan melakukan hal seperti itu salah satunya, walaupun buat gue juga gak cool sih, jadi males. Tapi ya sudah, tidak bisa dituntut lebih jauh juga.

Banyak lagu-lagu ERK seperti “Di Udara”, “Mosi Tidak Percaya”, “Jalang”, dll yang saat ini seperti menjadi anthem semangat perlawanan. Apakah memang ini yang anda agendakan sejak awal atau malah sebenarnya publik yang take it seriously? Bagaimana anda menyikapinya?

Tidak sih, tapi kalau orang-orang mau take it seriously ya urusan mereka. Kalau tentang kemarahan gue, iya gue marah. Tapi apakah gue mengagendakan untuk bisa jadi seperti anthem? Tidak.

Bahkan album pertama Efek Rumah Kaca itu mau gue buang tadinya, tidak dirilis. Boleh tanya ke Bin Harlan. Itu album sudah mau kita tinggalkan, langsung rekaman album kedua. Setelah rekaman materi-materi album kedua tadinya itu yang mau dirilis sebagai album pertama. Tapi Harlan nolak, “Jangan lah, repot lagi, lama lagi.” Jadi waktu itu kita kayak salah mixing, amatir lah, memang belum paham. Akhirnya di-mixing ulang oleh J. Vanco, jadilah selamat itu album. Boro-boro lah gue agendakan lagu-lagu itu untuk bisa jadi anthem.

Tapi misalkan gue menganggap diri gue sebagai bagian dari pergerakan tertentu, lagu kayak “Mosi Tidak Percaya” sih buat gue juga kurang cocok, kurang gimanaaa gitu. Secara artistik masih enakan “Bongkar” atau “Darah Juang” untuk bisa melecut. Misalkan gue demonstran gue rasa gue tidak akan memilih lagu “Mosi Tidak Percaya”, buat gue pribadi kurang enak. “Di Udara” masih lebih mungkin.

Misalnya suatu saat benar-benar terjadi suatu perubahan besar yang bersumbu dari lagu-lagu anda, siap?

Gue tidak pernah berusaha yang misalkan kemampuan gue sembilan tapi lalu gue hanya melakukan enam. Gue selalu nge-push terus, gue berkemampuan sembilan, maka gue akan melakukan sembilan. Artinya gue tidak akan pernah ragu dengan apa yang nantinya akan gue terima. Jadi kalau nanti lagu-lagu gue tiba-tiba menjadi penyulut suatu semangat pergerakan yang sukses menciptakan perubahan, ya…..sudah. Ya sudah, gue mau gimana? Tapi memang gue belum pernah ada di situasi itu sih, jadi belum  tahu itu akan seperti apa datangnya, apa yang harus dipersiapkan ketika perasaan itu datang. Gue rasa juga tidak banyak orang yang pernah ada pada situasi itu, kecuali Iwan Fals atau John Tobing mungkin.

Tapi sekarang sudah mulai datang belum perasaan-perasaan seperti itu, ya walaupun dalam skala yang lebih kecil?

Gue malah sekarang dalam kategori yang bisa dikatakan bahwa gue jenuh sama hal-hal itu, jenuh sama hal-hal yang ke “luar”. Sekarang jadi semakin ke “dalam”. Jenuh dalam artian misalnya gue ya dasarnya kan perasaan untuk memanusiakan manusia, menghargai HAM, lalu jadi jangan korupsi dan seterusnya. Gue menjalankan itu, tapi teriak-teriak ke luar tuh agak capek.

Gue pasti beda sama gue yang dulu. Dan satu hal yang cukup fatal sebenarnya adalah di kalangan sebagian orang, perubahan sikap merupakan suatu hal yang tabu. Padahal gue bahkan menganggap perubahan sikap adalah suatu hal yang biasa. Jadi ketika misalnya orang protes, “Di lagu “Mosi Tidak Percaya” lo ngomong gini, kok kemudian lo ngomong gitu?” Jikalau, pun, gue sudah berubah, memang tidak boleh orang berubah? Jikalau. Kebetulan sampai saat ini gue masih belum berubah. Tapi kalaupun orang berubah ya tidak ada masalah kan? Permasalahannya adalah orang-orang tuh sulit menerima kenyataan bahwa ide seseorang yang mereka sukai bisa saja berubah. Mereka sudah terlalu romantis, bukan lagi soal substansi. Sudah tidak lagi tentang substansinya, tapi tentang romantisme yang dipentingkan. Kalau misalkan secara substansi lo sudah berbeda dan bertentangan, ya sudah, santai saja, tidak usah terlalu romantis. “Wah lo kan idola gue, pahlawan gue, lo gak boleh begini, kenapa tiba-tiba lo begini, gue benci lo, gue gak mau lagi suka sama lo!” Menurut gue kebanyakan begitu.

Orang berubah itu wajar dan kalau dia berubah lalu kita tidak suka pun ya tidak apa-apa juga. Kalau lo tidak suka ya lo tunjukin bahwa lo tidak suka, tapi ya…..sudah. Dia juga harus menerima itu sebagai fate dia bahwa dia bukan lagi idola lo. Tapi siapa tahu kalau orang itu memang sebal, “Gue gak mau jadi idol, gue berubah karena gue benci disenangi sama lo.” Kita mau gimana? Bisa saja kan, “Gue tidak mau disukai sama orang makanya gue berperilaku seperti ini, sebenarnya gue tidak begini, gue desain perilaku ini biar lo gak suka sama gue, gue gak mau lo suka gue, ngapain disukai orang kayak lo, najis!” Kita mau bilang apa? Di dalam sejarah ilmu pengetahuan juga banyak banget kan orang yang berubah sikap, ada dasarnya, ada momentumnya, ada konteksnya. Karena bisa kacau, kalau orang tidak boleh berubah sikap agak fasis juga jatuhnya menurut gue.

Kembali ke pertanyaan, belum lah. Gue rasa gue juga tidak mau merasakan itu. Dan secara pribadi juga sebenarnya gue jenuh. Gimana si Iwan Fals, dalam hati gue. Gila, gue aja baru dua album udah capek lho. Capek dalam artian bukannya gue tidak tertarik, tapi ketika diskusi album ketiga ERK mau ngomongin apa, jujur muak gue sama hal-hal politik karena semua orang sudah ngomongin itu.

Secara artistik kan, alamiah bawah sadar kita akan melakukan hal yang tidak dilakukan orang lain. Gue rasa dasar kebahagiaan manusia adalah membuat sesuatu yang belum ada. Jadi ada perasaan kita tidak perlu ke situ lagi, kita harus melakukan hal-hal lain yang juga tetap memanggil kita tapi tidak ke situ. Itu sudah tidak memanggil kita.

Jadi itu faktor yang dalam beberapa media anda mengatakan bahwa album ketiga ERK akan jadi lebih banyak berbicara tentang Tuhan? Dan tidak kah ini seperti menghentikan dan lepas tangan dari wacana-wacana yang sudah terlanjur anda lempar sebelumnya?

Iya, memang karena itu.

Yang melempar bukan cuma gue doang kan. Masa sih suatu hal tergerak karena gue sendiri? Tujuan gue melempar bukanlah mau menjadi motor, gue hanya mau menyuarakan apa yang gue nggap perlu, yang membuat gue gelisah. Dan saat ini hal-hal yang ke “luar” itu sudah tidak membuat gue gelisah, bahkan muak. Gue rasa orang sudah tidak lagi perlu itu karena itu memang sudah ada terus menerus, bukan? Kenapa itu gue tinggalkan, bukannya itu sudah anget di mana-mana ya? Jadi tanpa perlu trigger pun sudah nyala sendiri, sudah menular ke mana-mana baranya. Jadi kayaknya bukan hanya perlu lepas tangan tapi memang sudah tidak perlu campur tangan.

Padahal Ugoran Prasad pernah mengatakan bahwa ERK adalah satu dari sedikit yang berhasil meninggalkan narasi “ke-aku-an” untuk lebih mengangkat narasi “kita”.

Kadang-kadang gue juga berpikir sebagai orang luar bagi diri gue sendiri atau band gue sendiri. Kalau melihat perkataan Ugo begitu, mungkin keresahan gue pribadi bisa jadi sebenarnya juga keresahan orang banyak. Dan gue rasa itu semata-mata keresahan orang banyaknya yang memang sudah ada. Misalnya lagu “Cinta Melulu”. Pada waktu itu gue menulis karena gue gemas dan gue yakin orang yang juga gemas sudah banyak banget. Begitu lagu itu keluar, dassss jadi seperti menerjemahkan isi kepala banyak orang. Jadi gue menganggap kalau “ke-aku-an” gue itu juga “ke-aku-an” mereka semua. Jelas saja “ke-aku-an” gue menjadi “kita”, karena memang ternyata semua orang memiliki keresahan yang sama. Kebetulan gue utarakan, mereka jadi merasa terwakili. Padahal sebenarnya itu benar-benar keresahan gue pribadi tanpa bermaksud untuk menjadi “kita”.

Permasalahan berikutnya adalah, proses mencipta itu apa sih? Apakah gue harus mengadopsi keresahan-keresahan orang, atau keresahan gue sendiri? Yang selama ini gue lakukan adalah gue mengadopsi keresahan-keresahan gue sendiri. Dan keresahan gue di album ketiga ERK adalah yang lebih “ke dalam”. Apakah itu match dengan keresahan-keresahan orang lain? Gue tidak tahu dan gue tidak perlu tahu. Bukan gue tidak mau tahu, tapi kan gue tidak “mati”, gue tidak berada di ruang hampa, jadi gue pasti menyerap keresahan orang-orang, gue terpengaruh, gue tidak sepenuhnya independen. Tapi gue juga tidak bisa di-request begitu saja, bikin lagu ini dong, itu dong. Jadi keresahan-keresahan gue ini tidak hidup sendirian tapi tidak bisa ditentukan orang lain juga. Ini gue lakukan sejak 2007 album pertama lalu 2008-2009 album kedua, terus sekarang 2013-2014 gue masih melakukan hal yang sebenarnya sama tapi permasalahannya adalah apakah keresahan orang-orang sama dengan keresahan-keresahan gue sekarang ini? Apakah kalau keresahan-keresahan gue tidak sama dengan orang lain berarti gue meninggalkan mereka? Itu pertanyaannya.

Apakah ini juga diperkuat oleh faktor kondisi kesehatan Adrian saat ini yang terus menurun paska album Kamar Gelap?

Oh iya, bisa jadi. Karena memang jadi lebih banyak berdoa kali ya. Dan karena berbagai macam permasalahan ini, gue merasa album ketiga ini salah satu hal terjujur yang pernah kita lakukan. Maksudnya kita masih memaksimalkan apa yang menjadi pengalaman kita, belum hal-hal yang fiksi. Kita masih merasa belum punya kemampuan untuk membuat karya yang rekaan. Permasalahannya apa yang kita rasakan sekarang itu bergeser. Bahwa Adrian lagi masa penyembuhan, struggling dan berdoa pasti akan sangat mempengaruhi.

Pernah mencoba merasakan berada dalam posisi Adrian?

Pasti. Tapi tidak sekarang, lebih di era 2010-2011. Gue memikirkan, membayangkan kalau gue jadi dia bagaimana. Tapi ya…..gue tidak pernah bilang ke dia, tidak terutarakan. Gue bisa ngomong apapun ke dia, tapi yang jelas gue bukanlah yang mengalami dan berada di posisinya, jadi gue seperti merasa bahwa gue tidak punya hak untuk mengatakan apapun. Gue selalu bilang ke diri gue sendiri, “Ini yang ngalamin bukan elo! Ini yang ngalamin Adrian!” Gue menuangkan ke dalam lagu pun sudah. Gue punya banyak hal yang seperti, “Kalo gue jadi lo gue akan melakukan ini, melakukan itu, sayangnya aja ini yang kena elo.” Tapi walau bagaimanapun gue cuma bisa ngomong, yang menghadapi ini day to day ya elo, semua haknya ada di elo untuk melakukan apapun. Gue cuma bisa siap membantu kalau lo membutuhkan gue atau ERK, kita pasti support. Gue pasti mencoba merasakan, tapi ya begitu.

Apa anda merasakan melankoli yang berbeda di sana?

Dibandingkan hal-hal duka lain, ya beda memang. Gue belum pernah menghadapi ini.

Gue pribadi pernah bilang ke dia, “Gue yakin lo masih denial terhadap penyakit-penyakit lo. Lo pasti masih denial kalau lo masih bisa melihat.” Dia bilang, “Gak kok, gue udah pasrah.” “Ah bohong! Lo belom pasrah, lo masih denial. Lo sebenarnya marah kan kalau lo tidak bisa melihat. Jangan marah dong, lo harus ikhlas tapi lo tetap berusaha.” Sampai suatu ketika dia akhirnya bilang kalau dia merasakan itu, “Gue udah pasrah banget kok sekarang, gue udah bener-bener ikhlas.” “Artinya selama ini lo gak ikhlas kan…” Gue percaya Adrian, dia bukan tipikal orang yang pembohong. Tapi kan permasalahan ini berat buat dia, bisa saja demi menyelesaikan perbincangan dengan gue dia mengatakan itu. Jadi kalaupun dia melakukan lies, kategorinya jadi white lies lah, gue tidak tahu juga. Ini melankoli yang sulit.

Anda berkontak mata dengan penonton anda?

Jarang. Paling kalau sudah merasa nyaman dengan situasi di panggung dan kalau ingat. Karena ada kalanya sudah merasa nyaman di panggung tapi gue sudah terlalu terbiasa untuk tidak melakukan kontak mata hingga akhirnya gue tidak melakukan itu. Semata-mata karena gue sudah terlalu lama manggung tidak melakukan kontak mata, takut. Tapi juga gue tidak pernah tahu kenapa gue takut, padahal dulu gue tidak begitu. Dulu dalam artian saat sebelum di ERK gue juga pernah manggung beberapa kali dan itu melakukan kontak mata. Tapi sejak sama ERK gue tidak pernah melakukan kontak mati lagi sama orang. Gue jadi lebih merasa takut. Mungkin takut itu datang dari merasa tidak nyaman kali ya. Secara pribadi gue sebenarnya tidak nyaman manggung sih. Kalau ada pilihan antara rekaman atau manggung, gue pilih rekaman. Gue lebih suka mencipta—walaupun tidak produktif hehehe—daripada menampilkannya. Dibandingkan menampilkan karya, lebih enak proses menciptakannya sebenarnya. Bahkan boleh dibilang gue nyaman manggung itu baru di akhir-akhir ini.

Pada dasarnya gue tidak terlalu ingin menjadi orang lain, tapi gue juga tidak mau jadi yang terlalu dingin. Tapi entah kenapa setiap di atas panggung bawaannya tuh selalu ingin buru-buru menyelesaikan speech dan langsung kepada intinya, nyanyi. Mungkin karena ketakutan-ketakutan akan apakah panggung ini akan berakhir baik, apakah lagu berikutnya bisa gue mainkan dengan baik. Pada dasarnya juga malu. Jadi walaupun sudah terbiasa manggung, buat gue kontak mata itu masih punya tingkat kompleksitas yang lumayan lah.

Sepertinya orang berkecenderungan kiri cenderung lebih puitis ya.

Mungkin. Tapi kalau melihat kenapa bisa begitu pasti karena orang-orang kiri itu tidak pragmatis, terbiasa untuk tidak terima begitu saja. Tidak menerima begitu saja adalah yang membuat mereka mencari, kemudian hal-hal yang mereka cari itu membuat mereka melakukan sesuatu, melakukan sesuatu itu melahirkan ide baru. Jadi stepnya kalau menurut gue, berdasarkan karakter orang kiri yang di saat orang-orang pada kanan kan sebenarnya: rethinking, rethinking membuat lo ketagihan dan jadi punya kebiasaaan itu, dengan kebiasaan itu lo jadi terbiasa mempertanyakan sesuatu, mempertanyakan sesuatu membuat lo jadi ingin mengambil angle yang berbeda, dengan mengambil angle yang berbeda lo jadi ingin mengutarakan dengan cara yang berbeda, dan mengutarakan dengan cara yang berbeda adalah hal yang puitis. Logikanya seperti itu kan. Jadi itu sangat bisa diterima.

Setelah ribuan kali mendengar dan membawakan “Desember”, apakah sekarang hujan untuk anda masih seseksi dan terasa seperti pertama kali anda menulis lagu itu?

Iya sih, perasaaan itu belum berubah. Dalam kondisi yang normal, bukan bencana, menurut gue hujan masih seseksi itu. Lo mau ada di mana pun, seksi. Lo pulang kerja, gak punya uang, di Metromini pun hujan tetap seksi. Dia tetap jadi layering yang enak untuk mendukung berbagai situasi dan suasana lo. Jelas itu tidak akan membosankan. Dalam konteks perasaannya ya bukan dalam konteks karya. Karena kalau untuk membawakan lagunya itu lain soal. Pasti muak juga. Tapi “Desember” juga bukan termasuk lagu yang paling muak sih, tipikalnya bukan yang membosankan buat gue, walaupun pasti bosan.

Jika ada seseorang ingin menjadi Cholil Mahmud, apa peringatan anda untuknya?

Lo harus mau tidak mundur dari apa yang lo tahu, yang lo yakini. Karena gue merasa gue tidak pernah menyembunyikan sesuatu, dalam artian misalnya gue tahu sesuatu tapi gue pura-pura bego. Lo harus menjalankan apa yang lo tulis. Jadi misalnya ada yang menggugat gue di ERK, berani gue, sangat berani! Kalau ada yang ngomongin “Mosi Tidak Percaya”, ah cemen!  Gue tidak butuh kritik orang lain karena gue sudah sangat keras terhadap diri gue sendiri. Orang mau mengkritik, bodo amat gue tidak peduli, tapi gue sendiri keras sama diri gue sendiri, sangat keras. Bisa tanya deh ke anak-anak Pandai Besi bagaimana band ini berjalan. Sangat tidak ngeband sebenarnya, lebih kayak menjalankan ideologi hidup. Banyak peraturan, banyak hal-hal yang harus dihindari, bisa jadi sangat tidak fun kalau orangnya terpaksa melakukan itu. Tapi kalau tidak terpaksa bisa sangat fun dalam artian ini tidak hanya belajar ngeband tapi juga belajar menjalani kehidupan yang mediumnya adalah musik.

Gue pengen jadi orang baik, gue semangat belajar, gue semangat bekerja, gue semangat membangun keluarga, dan gue juga ingin senang karena teman-teman gue maju.

Jadi bukan peringatan hati-hati ditaksir bukan lawan jenis ya?

[tertawa] Bukan lah. Tidak.

Tapi anda tidak benar-benar homophobic kan?

Nggak lah, gue tidak pernah menganggap itu sebuah kondisi yang harus dihindari dan harus dipertanyakan. Tapi bahwa gue seorang yang straight dan pernah berada di situasi itu sih ya memang awkward aja jadinya. Entah apa persepsi si orangnya terhadap gue pada saat itu, apa yang dia lihat dari gue. Tapi intinya gue sama sekali tidak bertentangan dengan posisi dia. Gue tidak homophobic.

 

Teks: Daffa Andika

Foto: Idham Rahmanarto

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *