New Albums
Dari Warung Ke Panggung, The Jems Buktikan Diri Lewat ‘Buy One Get War’

Dari sebuah gang kecil di Tangerang, suara keras dan lantang lahir dari balik warung yang kerap dijuluki “Warung Basmen” oleh anak-anak muda sekitar. Di situlah The Jems mulai terbentuk, band hardcore yang hari ini dikenal sebagai peluru mentah dari pinggiran kota yang tak sabar menghantam telinga dan realita. Latar mereka sederhana: kejenuhan pasca-SMA dan kebutuhan untuk meluapkan amarah yang tak bisa disalurkan lewat hal lain.
Adalah Dito Raharjo (vokal) dan Afrizal Aji Bayu (bass) yang pertama menggagas ide membentuk band. Mereka ingin tempat untuk melampiaskan kejenuhan hidup, bukan tempat untuk tampil keren, tapi tempat untuk jujur. Tak lama kemudian, Kesid Mukti (gitar) dan Anugrah Fikriansyah (drum) ikut bergabung. Dari situ, lahirlah The Jems, sekelompok anak muda yang sok tahu, tapi percaya diri, dan yang terpenting: punya sesuatu untuk dikatakan.
The Jems bisa dibilang seperti buku binder bagi keempat anggotanya. Isinya berantakan, penuh coretan, tapi semua punya arti. Mereka menulis cerita hidup mereka lewat musik, seperti saat dulu bertukar stiker Digimon langka di bangku sekolah dasar.
Di titik ini, band ini bukan cuma tentang genre, tapi juga tentang pengalaman. The Jems bukan band hardcore yang menggugat dunia, mereka lebih tertarik mengatasi kekacauan pribadi dengan caranya sendiri.
Album terbaru mereka, ‘Buy One Get War‘, adalah hasil nyata dari semua itu. Album ini bukan tentang politik atau kekerasan struktural yang biasa jadi tema band hardcore pada umumnya. Sebaliknya, The Jems menyoroti tekanan internal, rasa kalah, kegelisahan usia dua puluhan, dan rasa lapar, bukan hanya yang bersifat biologis, tapi juga lapar akan pengakuan, kebebasan, dan makna hidup.
‘Buy One Get War’ terasa seperti catatan perang harian dari para lelaki muda yang dipaksa jadi ksatria sebelum waktunya.
“Ini bukan album yang mencoba menggurui atau menawarkan jalan keluar. Ini lebih seperti teman yang sedang marah-marah di sebelah lo, dan lo cuma bisa angguk-angguk karena, ya, lo ngerasain hal yang sama,” ujar mereka.
Secara musikal, The Jems tidak diam di satu tempat. Mereka bermain-main dengan pengaruh dari Fugazi di era ’13 Songs’, nuansa perang ala Champion, dan bahkan semangat hardcore depresif ala band seperti Q. Tapi alih-alih hanya jadi tiruan, mereka membentuk suara yang terasa seperti hasil dari trial-and-error sok tahu yang justru menyegarkan.
Album ini dibuka dengan “Fucked Up Got Zipped”, yang menyoroti kekecewaan Dito terhadap sistem pendidikan. Dito lebih memilih eksplorasi dunia luas ketimbang menenggelamkan diri dalam buku setebal tiga ratus halaman. Liriknya terdengar santai tapi sarkastik, khas cara The Jems menyampaikan keresahan.
Di “Go Back To The Krü”, giliran Kesid yang bersuara. Ia menertawakan ketegangan akademik yang akhirnya berhasil ia lewati, dan bagaimana ia bisa kembali ke dirinya yang bebas tanpa beban. Lagu ini terasa seperti perayaan kecil, di tengah amukan distorsi dan dentuman drum.
“Sinatra Versi Plastik” jadi salah satu momen paling menyolok di album ini. Dito menumpahkan kejenuhannya pada para ‘abang-abangan’ yang merasa punya kearifan versi mereka sendiri. Potongan lirik seperti “kau yang terlalu mid-century, untuk kami yang sudah cyberpunk” jadi kritik generasi yang tajam sekaligus jenaka.
Afrizal ambil alih cerita di “Sial Besok Senin”, lagu yang menggambarkan bagaimana lelahnya menjalani hidup sebagai mahasiswa sering disalahartikan oleh orang tua sebagai penyalahgunaan narkoba. Di balik riff yang meledak-ledak, ada kisah tentang bagaimana generasi muda sering kali tidak dipercaya oleh orang tuanya sendiri.
Judul album ‘Buy One Get War’ adalah pernyataan tegas tentang tumbuh dewasa tanpa pilihan. Lagu ini bicara tentang bagaimana laki-laki tanggung harus menerima nasib jadi ‘pria’ meskipun belum siap. Seperti kamikaze yang hanya punya dua pilihan: mati sia-sia atau menang dengan bangga.
Di “Mental Health”, Dito merekam fase gelapnya dengan jujur. Lagu ini tidak mencoba menganalisis atau menyederhanakan isu kesehatan mental. Ia hanya bercerita apa adanya, bahkan tentang kebiasaan buruknya memukul diri sendiri di atas panggung. Tapi dari kekacauan itu, ada kemenangan kecil yang pantas dirayakan.
“Negative Conversation” adalah respons personal terhadap lirik-lirik kelam Ian Curtis yang konon sempat mengusik kepala Dito. Sementara itu, “Panduan Hidup Tuan McKaye” menjadi lagu pamungkas yang menyingkap semangat The Jems untuk melepaskan diri dari kungkungan idealisme dan egoisme yang selama ini mencekik mereka.
Sebagai album, ‘Buy One Get War’ bukan hanya keras dalam suara, tapi juga jujur dalam isi. Ini bukan semata musik untuk moshing, tapi juga untuk merenung sambil menggerutu soal hidup yang kadang absurd. Mereka tidak datang menyajikan solusi, tapi jadi pengingat bahwa kita tidak sendirian dalam kegelisahan ini.
The Jems mungkin datang dari gang kecil, tapi suara mereka tak sekecil tempat asalnya. Mereka sudah merilis beberapa materi sebelumnya, seperti ‘Malah Petaka’, ‘We Owe You Nothing’ (yang sempat di-press ke vinyl 7 inch), dan “Mencoba Mencetak Lagu Pop, Se-pop Mungkin”. Tapi ‘Buy One Get War’ adalah tonggak yang memperlihatkan kematangan sekaligus keliaran mereka dalam satu tarikan napas.
Merayakan kemenangan kecil dalam hidup, mungkin itulah misi mereka. Di tengah dunia yang terasa makin absurd, The Jems tak mengajak kita untuk menyerah atau menggurui. Mereka cuma mengajak kita untuk tetap keras kepala, tetap teriak, dan kalau bisa, tetap menang. Meski cuma sekali.