Articles
Lirik Bahasa Asing = Tidak Nasionalis?
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
&description=Lirik Bahasa Asing = Tidak Nasionalis?', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
Segerombol muda-mudi berkumpul di depan sebuah panggung besar. Tanpa diberi aba-aba, serentak kerumunan orang itu bernyanyi bersama mengikuti penyanyi favorit mereka di panggung. Mereka bernyanyi sepenuh hati. Salah ucap atau benar pengucapannya, itu masalah terakhir. Yang penting, bisa bernyanyi bersama artis pujaan secara langsung!
Lirik dwibahasa
Penggabungan dua bahasa dalam satu lagu merupakan hal yang dapat ditemukan tidak hanya sekali dalam karya-karya musisi Indonesia. Tentu saja, penggabungan itu adalah bahasa Indonesia dengan bahasa asing, yang didominasi oleh bahasa Inggris. Bahasa Inggris tersebut bisa ditemukan dalam seluruh tubuh lagu, ataupun hanya sepenggal kalimat saja.
Sejumlah musikus Indonesia melakukan hal tersebut. Grup vokal wanita Cherrybelle misalnya. Dalam salah satu lagunya yang berjudul, Beautiful, mereka menggabungkan lirik bahasa Inggris dan bahasa Indonesia:
You are beautiful, beautiful, beautiful
Kamu cantik cantik dari hatimu
Sama seperti apa yang dilakukan oleh grup band Maliq & D’Essentials. Bagi pendengar Maliq & D’Essentials, penggunaan dua bahasa tersebut merupakan hal yang dapat ditemukan pada beberapa lagu. Misalnya, pada lagu yang berjudul The One, Maliq & D’Essentials meletakkan lirik berbahasa Inggris pada bagian reffrain yang berbunyi:
Lady I know you’re the one for me
Lady you’re the one I need
It keeps me going on and on to love you
I give you my soul for you to love too
Meskipun demikian, Maliq & D’Essensials punya jawaban sendiri untuk hal pencampuran dua bahasa tersebut.
Nyaman dengan bahasa Inggris
Pada Minggu, 21 September 2014, kedai kopi mini di daerah Bintaro sekaligus kantor manajemen Maliq & D’Essentials, yang bernama Backyard Coffee, tampak lengang. Hanya ada dua orang karyawan yang berada di balik meja kasir. Aji Anindito, manager Maliq & D’Essentials, muncul dengan pakaian santainya dari balik pintu dan menyapa penulis. Tidak lama, Widi Puradireja menyusul kedatangan manajernya. Siang itu, mereka berbicara banyak tentang lirik lagu Maliq.
Widi, penabuh drum sekaligus penulis lagu Maliq, menganggap bahwa pencampuran bahasa memang kerap ia lakukan saat menulis lagu Maliq. “Sebenarnya penggunaan Bahasa Inggris itu rumit, kalau salah penempatan bisa terdengar norak. Makanya, jangan memaksakan harus bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Semua tergantung melodinya. Kalau ternyata kata yang tercetus pertama bahasa Inggris, ya kami memakai bahasa Inggris,” jawab Widi seraya sesekali menyeruput minuman ringannya.
Mereka juga berbicara mengenai pengaruh penggunaan bahasa Inggris terhadap pemutaran lagu di radio. Beberapa radio-radio di Indonesia memiliki kebijakan dalam pemutaran lagu musisi Indonesia yang berbahasa asing. Widi dan anggota Maliq lainnya pun kerap mempermasalahkan hal tersebut. “Bahasa Inggris kan bahasa internasional. Bukan karena sok berbahasa asing ya, tetapi karena memang ngerasa liriknya lebih enak menggunakan bahasa Inggris. Jadi, ada kepentingan dari sisi kreatifnya juga,” tambah Aji.
Penggunaan bahasa asing pun tidak sembarangan. Widi menganggap penggunaan bahasa asing tersebut harus tepat. Ia memang memahami setiap musisi memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang merasa lebih sulit menggunakan bahasa Indonesia, dan sebaliknya. “Musisi boleh memilik idealisme, tetapi juga harus ingat profesionalisme. Penggunaannya harus tepat ke target. Jangan justru membuat orang bingung, sehingga pesan yang ingin disampaikan malah tidak tercapai. Sebenarnya, kan, lagu adalah pesan yang disampaikan dengan cara yang lebih indah,” lanjut Widi.
Aditya Mirza, salah satu pendengar Maliq & D’Essentials, sempat berbincang mengenai pencampuran dua bahasa dalam lagu tersebut. “Ada beberapa lagu Maliq yang menggunakan bahasa Inggris, terkadang harus dicari dahulu untuk tahu liriknya. Seharusnya lirik bahasa Inggris memang mengganggu, tapi Maliq bisa membuat itu jadi lebih enak didengar dan nyaman di telinga juga,” ujarnya.
Ia menganggap lirik Maliq memang tidak mudah diterima oleh semua orang di Indonesia, jika dibandingkan dengan grup band Slank atau Dewa. Menurutnya, penggunaan lirik bahasa Inggris sebenarnya tidak mengurangi kesukaan seseorang terhadap seorang musisi. “Penggalan lirik bahasa Inggris emang bisa mempermanis lagu, tetapi itu bukan masalah. Yang pasti, jangan sampai lirik bahasa Inggris itu menutupi bahasa Indonesia,” ujarnya sambil tersenyum ketika ditemui penulis di kediamannya pada Sabtu, 20 September 2014.
Maju ke Internasional
Maliq & D’Essentials berencana akan merilis sebuah album internasional dengan lagu-lagu yang secara keseluruhan menggunakan bahasa Inggris. “Kalau ingin bisa mendunia, ya harus memiliki standar internasional juga, salah satunya menggunakan bahasa Inggris. Sekarang sudah bukan zamannya membawa nama Indonesia ke luar dengan membawa hal yang berbau etnik. Ke luar negeri sambil membawa angklung itu sudah kuno, sudah berpuluh-puluh tahun. Kita membutuhkan band Indonesia, dengan kemampuan Bahasa Inggris yang bagus dan bisa mendunia,” tukas Widi.
Widi dan Aji menganggap Indonesia sudah saatnya harus ikut maju dalam dunia internasional, termasuk dengan membawa budaya pop. Menurut mereka, Indonesia yang luas dan kaya akan budayanya harus bisa menyeimbangkan antara etnik tersebut dengan budaya pop, sehingga Indonesia juga tidak menjadi negara yang tertinggal dari negara lain. “Etnik tidak akan pernah hilang, dan justru menjadi sebuah simbol negara Indonesia. Kita harus bisa menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara maju, tetapi tetap tidak meninggalkan budayanya,” timpal Aji.
Aditya, Aji, dan Widi berada dalam perahu yang sama dengan Remy Sylado, sastrawan, sekaligus kritikus musik legendaris di Indonesia. Penulis buku “Bahasa Menunjukkan Bangsa” ini menganggap pencampuran dua bahasa ini dalam satu lagu ini merupakan sebuah dorongan kreatif. “Lirik pop Indonesia tidak banyak beranjak dari pola pop Amerika 1960-an, yaitu tentang cinta dan putus cinta disertai dengan erangan ‘mengapa’. Dalam hal ini, masalah lirik memang harus dilihat sebagai bagian dari wilayah kreatif penyair.” kata Remy.
Remy juga menambahkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang hidup. “Sejauh liriknya memang berangkat dari bahasa Indonesia yang tertib maka itu memang penting, tetapi hendaknya itu tidak lantas dianggap sempit seakan-akan bahasa Indonesia itu bahasa mati. Yang benar adalah bahasa Indonesia itu adalah bahasa yang hidup, jadi artinya bahasa Indonesia terus berkembang antaralain melintasnya sejumlah kosakata baru yang berasal dari luar dan diterima sebagai kata-kata serapan yang memperkaya bahasa Indonesia.” tambahnya lagi saat diwawancarai melalui surat elektronik pada September lalu.
Remy juga melihat penggunaan bahasa asing tersebut dari kacamata industri musik. “Secara ekonomis, itu bisa dipasarkan di luar Indonesia. Memang lebih bagus lagi kalau liriknya sepenuhnya saja bahasa Inggris. Selain itu, dengan lirik berbahasa Inggris tidaklah berarti orang Indonesia menjadi tidak Indonesia. Dulu Bung Karno dan Bapak-Bapak Bangsa kita pun bercakap bahasa Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lain, dan mereka tetap adalah pendiri kebangsaan Indonesia.” ujarnya mengakhiri percakapan.
Kita doakan saja ya, semoga musisi Indonesia bisa memajukan negara sekaligus menjadi pendiri kebangsaan Indonesia dengan bahasa!
Oleh : Nadia Araditya Paramastri
Mahasiswi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran