Gigs
Matinya Sang Maestro
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2014/04/matinya-sang-maestro.jpg&description=Matinya Sang Maestro', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
Tahun 2014 ini pentas Indonesia Kita akan dimulai dengan lakon Matinya Sang Maestro. “Ini boleh dibilang sebagai panggung para maestro,” ujar Butet Kartaredjasa, penggagas ide dari Indonesia Kita. “Kami sengaja mengumpulkan para maestro seni itu dalam satu panggung. Tidak sekedarkan memberi mereka ruang untuk melakukan kolaborasi, tetapi juga sekaligus ingin belajar dari mereka. Tak bisa dibantah, seniman-seniman seperti Kartolo, Didik Nini Thowok, Marwoto, adalah para maestro komedi. Tapi justru nasib mereka seperti sering terlupakan, atau terpinggirkan,” lanjut Butet Kartaredjasa.
Setiap kali kita membicarakan soal gagasan Indonesia sebagai bangsa yang besar, kita tak bisa mengelakkan diri dari kenyataan bahwa “seni dan budaya” adalah hal yang membuat kebanggaan bangsa ini. Banyak seniman kita yang menorehkan pencapaian-pencapaian artistik yang semestinya dihargai. Para seniman adalah contoh paling nyata bila kita hendak berbicara soal komitmen membangun kebudayaan bangsa. Mereka telah mengabdikan hidupnya, pikiran dan kreatifitasnya, untuk dunia kesenian yang mereka tekuni. Kemaestroan mereka bukan sekedar pencapaian skill atau teknik berkesian,tetapi juga komitmen dan pengabdian: itulah nilai-nilai yang kita justru semakin hilang dalam masyarakat kita, ketika segala hal cenderung diukur dari hal-hal yang bersifat kepentingan sesaat. “Para pemimpin kita semestinya belajar pada para maestro itu, perihal pengabdian dan ketulusan,” tegas Butet.
Itulah sebabnya, pentas Indonesia Kita mengangkat kisah dengan latar belakang kehidupan para maestro itu. “Lakon ini sangat relevan dengan situasi kita hari ini,” sambung Didik Nini Thowok. “Bangsa kita sibuk mencari tokoh, tetapi lupa pada nilai-nilai ketokohan dan kepemimpinan. Apa yang telah ditunjukkan oleh cak Kartolo, bagi saya adalah tauladan kepemimpinan juga.”
Sementara Agus Noor, penulis cerita dan sutradara Matinya Sang Maesto menegaskan, bahwa sejak awal pementasan ini memang ingin melibatkan sebanyak mungkin “para mastero” dari disiplin seni yang beragam. “Ini sekaligus juga menandai pencapaian kreativitas mereka. Ingat, Kartolo sudah lebih dari 70 tahun berkarya, Didik Nini Thowok sudah hampir 60 tahun berkarya, dan Djaduk Ferianto pada tahun ini mencapai usia 50 tahun. Seluruh pengalaman kreatif mereka, coba saya terjemahkan dan sinergikan dalam pementasan ini. Saya merasakan ini pementasan dengan energi kreatif yang luar biasa. Setiap adegan dalam lakon ini, akan memperlihatkan hal-hal yang menarik. Para maestro bertemu di satu panggung, menurut saya sebuah peristiwa luar biasa.”
KISAH “MATINYA SANG MAESTRO”
Inilah kisah seorang maestro seni yang nasibnya miskin dan terlupakan. Lalu suatu hari datang kabar, kalau pemerintah akan memberinya hadiah uang 10 Milyar. Dalam Surat Keputusan (SK) itu disebutkan, kalau hadiah itu diberikan “karena jasa-jasanya selama hidup”. Kalimat itu menimbulkan masalah tafsir. Para pejabat menganggap, “uang hadiah itu hanya bisa diberikan setelah ia mati”. Padahal sang maestro hidup. Inilah yang kemudian menimbulkan kelucuan-kelucuan sekaligus kegetiran. Para pejabat bersikeras, SK Pemberian hadiah itu tidak mungkin diubah. Bila diubah, maka itu berarti menanggap SK itu salah atau bermasalah. Padahal yang bermasalah adalah sang maestro, yang kenapa belum mati sesuai SK itu?!
Berita soal hadiah 10 Milyar itu juga menimbulkan kehebohan. Banyak yang kemudian menjadi begitu baik pada sang maestro, tapi diam-diam sesungguhnya berharap agar nanti mendapatkan bagian warisan. Bahkan ada yang mulai “memproyekkan kematiannya”, dengan uang 10 Milyar itu berencana membikin patung sang maestro bila nanti sudah meninggal dunia. Semua ingin uang 10 Milyar itu cepat cair. Misalnya dengan cara agar sang maestro itu pura-pura sakit. “kalau tidak benar-benar mati, ya mati separuh saja, lumpuh separuh begitu, biar uangnya juga bisa cair separuhnya dulu,” saran pejabat yang mengurus pemberian hadiah itu. begitulah, sang maestro kini dibutuhkan, diperhatikan, sekaligus diingikan kematiannya, Bila ia mati, nasib keluarganya akan berubah karena akan menerima warisan 10 Milyar. Bagaimana sang maestro menghadapi itu semua? Saksikan pementasannya.
TENTANG “INDONESIA KITA”
Sebelum ini, Indonesia Kita memang rutin menggelar pertunjukan sejak tahun 2011. Tercatat antara lain Laskar Dagelan, Beta Maluku, Kartolo Mbalelo, Mak Jogi, Kutukan Kudungga, Kadal Nguntal Negara, Kabayan Jadi Presiden dan Maling Kondang. Dalam pentas-pentas tersebut ikut mendukung Glenn Fledly, Sudjiwo tejo, Kill The DJ, Didi Petet, Hanung Bramanntyo, Oppie Andariesta, Nirina Zubir, Yusril Katil, dan masih banyak lagi.
Pentas-pentas Indonesia Kita selalu menjadi sebuah upaya menyampaikan gagasan perihal keberagaman dan kebersamaan tentang Indonesia. Pentas menjadi sebuah jalan artistik dan kebudayaan, untuk menumbuhkan sikap toleran dan menghargai keberagaman, hingga Indonesia bisa menjadi “rumah bersama”. Terlebih-lebih ketika Indonesia hari ini seperti rentan dan penuh berbagai persoalan. Pelbagai kerusuhan dan ketimpangan sosial, gejala-gejala intoleransi kehidupan yang kian rentan dan gampang meledak, ketidakadilan dan persolan hukum dan merosotnya etika politik, menjadi campur aduk: menimbulkan banyak persoalan yang pada tingkat tertentu membuat banyak orang mempertanyakan kembali perihal ke-Indonesiaan yang pernah dan ingin dicita-citakan bersama.
Melalui pentas-pentas yang mengangkat kekayaan dan kekuatan etnik, sekaligus modernitas yang berlangsung dalam masyarakat, Indonesia Kita mendorong tumbuhnya sikap saling memahami, sikap membuka diri bagai dialog dan keberagaman. Melalui pentas-pentas itulah, ke-Indonesia coba didialogkan kembali, diekspresikan kembali, agar semangat berbangsa dan bernegara selalu aktual dan semakin menumbuhkan keberagaman.
EVENT:
MATINYA SANG MAESTRO
TIM KREATIF :
G. Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa, Agus Noor
MUSIK:
Jakarta Street Music
PEMAIN:
Kartolo, Didik Nini Thowok, Marwoto, Djaduk Ferianto, Sruti Respati, Sapari, Yu Ning Trio GAM (Gareng Rakasiwi, Joned, Wisben), dll
CERITA/SUTRADARA:
Agus Noor
PENATA ARTISTIK:
Ong Harry Wahyu
TEMPAT PERTUNJUKAN:
Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta
WAKTU PERTUNJUKAN:
12-13 April 2014 Pukul 20.00 WIB
TIKET PERTUNJUKAN :
Platinum Rp 500.000
VVIP Rp 300.000
Wing Rp 200.000
Balkon Rp 100.000
Informasi lebih lanjut dan pemesanan tiket dapat dilakukan melalui :
KAYAN Production & Communication
0838 9971 5725 / 0856 9342 7788
www.kayan.co.id
@infoKAYAN
Taman Ismail Marzuki:
0813 1935 1935 / 0815 1935 1935 / 0857 1935 1935 / 021 9735 9735
www.tamanismailmarzuki.com/tiket-tim