Album Review
Mr. Sonjaya – Perjumpaan EP: Bahu-membahu Menjaga Rindu
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2013/04/mr-sonjaya-1000x600.jpg&description=Mr. Sonjaya – Perjumpaan EP: Bahu-membahu Menjaga Rindu', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
Distraksi. Ada hari di mana sebagian besar orang ingin mengulang atau merasakan kembali hari yang pernah terlewat. Dalam artian hari yang menyenangkan, membuat sebagian orang itu tertawa, gejolak yang begitu positif; hematnya. Apalagi ditengah gempuran keseharian yang dijejali informasi berikut kondisi digital dengan begitu silih berganti tanpa bisa diresapi. Informasi yang tidak bisa memberikan nafas untuk menyimaknya. Satu informasi datang, informasi lain tidak dapat dihadang.
Distraksi. Namun, ada hari yang sebagian besar orang juga tidak ingin mengulangnya. Hari yang dihiasi kesedihan, kemurungan, dan segala gejolak negatif yang ada di dalam harinya; hematnya. Ada positif, ada negatif. Mengapa seperti itu? Mengapa lebih banyak orang yang ingin mengulang hari menyenangkan dibanding hari memurungkan? Bukankah semua itu hanyalah efek samping dari yang namanya material? Hanya sekedar benturan-benturan perasaan dari kejadian yang telah berlangsung. Tinggal bagaimana sebagian orang tersebut mencermatinya hingga dinamakanlah manusiawi. Mengapa yang lalu menjadi lebih ingin dimaknai daripada kesekarangan?
Memang diperlukan dramatisasi keseharian agar hidup tidak “gini-gini aja”. Mungkin itulah yang jadi alasan mengapa banyak acara yang mengatasnamakan reality show, padahal orang-orang juga dengan gampang menerka bahwa acara tersebut mempunyai skenario. Tapi, dengan munculnya acara seperti itu dapat diambil kesimpulan bahwa perlu ada dramtisasi untuk keseharian.
Darinya, Mr. Sonjaya merangkum keseharian itu dengan dinamika dramatisasi. Mengingat, ingin mengulang, merasakan rindu, dan kisah sedih. Gerombolan folk pop Bandung ini merangkum hari-hari yang telah berlangsung itu dalam sebuah mini album berjudul Perjumpaan. Sudah cukup lama sebenarnya dirilis, Desember 2012.
Mini album yang berisi lima lagu ini sarat akan narasi keseharian. Dibuka dengan lagu yang sama dengan judul mini album tersebut, “Perjumpaan”. Sebuah balutan nada ceria yang memang dikesankan bahwa berjumpa dengan seseorang akan memayungi perasaan senang dan gembira. Bagaimana berjumpa itu sendiri adalah mempunyai muatan berbeda. Saat berjumpa dengan yang dimaksud, selalu ada memori manis yang bisa dengan mudah diingat hanya dengan melihat wajahnya, misalnya. Apakah muatannya menjadi beda jika perjumpaan itu dirasakan dalam mimpi? Seperti lirik yang dilantunkan Mr. Sonjaya, Jika ada sempat waktu kita bersua / walau hanya sejenak bercengkrama/ lupakan semua lara / nikmati hari ini / bukan hanya sekedar mimpi.
Setiap perjumpaan yang menyenangkan akan selalu dipersiapkan secara luwes. Secara antusias. Sebisa mungkin ketika bertemu sudah mempersiapkan apa saja yang menarik dibahas. Apakah hal itu juga terjadi jika perjumpaan yang akan dihadapi adalah perjumpaan yang menyedihkan? Misalnya, ketika ingin berpisah dengan orang-orang yang disayangi. Apakah ada persiapan khusus yang diberikan perhatian?
Berlanjut kepada pemberitaan rasa rindu berikutnya. “Fajar Nadi”, sebuah lagu yang diikuti bunyi glockenspiel ini ingin memberitahukan besarnya dan gemulainya rindu terhadap seseorang. Merindukan saat-saat bersama menikmati matahari terbenam di pantai. Terdengar melankolis memang. Yang menarik adalah di mana Mr. Sonjaya berani mempertaruhkan bahwa perasaan rindu itu sudah sepantasnya dimiliki setiap orang. Ketika rindu tersebut tidak sampai, ada jalan lain untuk mencapainya. Khayalan. Lalu, lagu ini memang adalah cara untuk mencapai kerinduan itu melalui khayalan. Aduh, sangat tidak aduhai; hanya bisa berkhayal. Namun, bagaimana jika “Fajar Nadi” memang ingin tetap menjaga kerinduan itu untuk tetap ada. Dengan berkhayal. Sebab jika kerinduan itu terjadi, maka tidak ada lagi kerinduan yang ingin dicapai. Memanfaatkan khayalan yang telah berlalu membuatnya terjaga.
Lalu ada, lagu musiman. Lagu yang subjeknya hanya datang ketika hujan sedang mengguyur. Entah ini konotasi atau denotasi. Jika “Fajar Nadi” sudah terkesan melankolis, “Putri Hujan” sudah masuk dalam tahap agonia. Musik yang mengiringinya pun bertindak seperti itu. Suara dawai gitar yang lesu, dibumbungi cajon, dan (pemanis) glockenspiel. Manalagi timbre vokal Mr. Sonjaya cukup tenor untuk menyanyikan kesedihan.
Diatas sudah disebutkan bahwa lagu ini bertemakan agonia. Isi liriknya kasihan sekali. *tarakdungces*Pengkhianatan. Begini cerita singkatnya, sang putri sudah berjanji kepada sang pria untuk datang menemani dia dalam bentuk perjanjian. Datang pada malam hari, tentulah bahagia sang pria tersebut. Eh, tak dinyana sang putri tidak datang. Hancurlah hati sang pria. Apalagi sang putri sudah dikatakan oleh sang pria bahwa dialah putri yang ada dalam mimpi. Berlipatlah kecewanya.
Namun, bisa saja tidak datangnya sang putri karena kondisi yang tidak bisa dilanggar. Kondisi di mana ketika waktu perjanjian itu dilaksanakan, eh ternyata langit mengeluarkan kecerahan, tidak menurunkan hujan. Tentulah itu pemahaman dasar yang tidak bisa dilanggar sang putri. Mungkin itu pula sebabnya sang pria menamakan dirinya putri hujan. Sebab dia datang ketika hujan mengguyur.
Tentulah kisah diatas hanya bagian dari konotasi. Bila dipantulkan menjadi denotasi, sederhanakan saja menjadi janji pria yang tidak ditepati wanita secara halusnya. Atau kalau kasarnya pengkhianatan wanita kepada pria. Untuk memberikan efek dramatis. Hingga sebagaimana pun kecewanya sang pria, rasa rindu kepada wanita tetap juga dijaga.
Juga ada senandung yang diberikan kepada ibu dan anaknya dalam “Djingga”. Senandung sebelum sang anak memejamkan matanya untuk berpetualan di alam mimpi. Dalam senandung itu, sang ibu menitipkan harapannya pada setiap lirik yang didendangkan membuat anak cepat besar untuk bisa memaknai isi kehidupan ini. Mengetahui lika-likunya. Menemukan jawabannya sendiri atas pertanyaannya tentang mengapa manusia harus hidup.
Lagu penutup dari mini album ini merupakan satu-satunya lagu berbahasa Inggris. Juga adalah lagu gombal. Selain judul, tampilan musiknya juga mengamini bahwa lagu ini sebagai jembatan menyatakan cinta. Mungkin ini kisah pribadi salah satu personilnya, “Would You Be My November” adalah kisah-kisah manis yang diungkapkan Mr. Sonjaya kepada lawan jenis yang ditaksirnya. Setiap liriknya adalah gombal. Kedalaman akan kesempurnaan lawan jenisnya. Ini salah satu penggalannya, There so many times been wasted i love you. Dengan kata lain, tidak ada jalan lain bagi sang lawan jenis untuk tidak menolak. Mengapa harus seperti itu untuk menyatakan cinta? Mengumbar kata-kata pujian? Mungkin itu lahir karena kebiasaan saja. Sepanjang lirik “Would You Be My November” adalah buaian.
Dengan demikian, Mr. Sonjaya sudah mencoba untuk melakukan dramatisasi hidup dalam mini album yang berdurasi lima belas menit. Merespon distraksi ke dalam mini album dengan boncengan folk-pop. Vokal yang bersahut-sahutan, petikan gitar yang halus, kadangkala suara glockenspiel dan piano hadir menemani. Seperti itulah Mr. Sonjaya ingin menunjukkan kemudahan untuk mencerna setiap musik dan lirik yang dihadirkannya.
Mr. Sonjaya adalah Dimas Dinar Wicaksana, Ridha Kurnia Waluya, Rida Suhendar, Andry Cahyadi, dan Yaya Risbaya. Ada juga suara latar perempuan yang sering hadir di mini album Perjumpaan, Stevi Vania.