Featured
Music FestiFile 2015: Kurasi dan Tampil!
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
&description=Music FestiFile 2015: Kurasi dan Tampil!', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
Steve Albini, seorang produser dan penata suara, pemrakarsa sebuah studio rekaman Electrical Audio yang terletak di Chicago, Amerika Serikat pernah memiliki masalah dengan distribusi audio dalam bentuk fisik. Tetapi, sekarang, internet memudahkan segalanya untuk urusan bisnis musisi dan efisiensinya.
Menurut saya, internet juga bisa jadi pedang bermata dua. Hal ini dikarenakan kemudahan internet mengaburkan batasan antara musik yang harus didengar dan yang harusnya tetap berada di tangan artis sampai musik tersebut layak didengar. Masalahnya adalah ketika semuanya menjadi mudah, yang menjadi penilaian publik adalah kecepatan. Bukan kualitas.
Kurator adalah sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang harus dilakukan semua orang. Menilai dengan baik karya yang didengar atau dibaca atau ditonton kemudian mengkurasinya ke pengelompokan sesuai dengan pemahaman masing-masing. Mungkin anggapan tentang makna dan nilai sebuah karya itu sangat abstrak dan bergantung pada penilai, tetapi, mari coba angkat standar penilaian itu sendiri.
Sabtu lalu, 28 Februari, saya mendatangi sebuah acara bernama Music Festifile 2015 di Loop Station, Bandung. Sebuah gelaran yang dimulai tahun lalu oleh Komunitas Musik Fikom (KMF) Universitas Padjadjaran. Semangat mereka unik untuk member kesempatan musisi yang hanya berkarya di depan alat rekaman untuk memainkan musik mereka di panggung.
Sekali lagi, itu semua perlu proses kurasi. Anak-anak muda yang bergabung dalam bendera KMF ini mencoba mengajak dua orang yang sudah berlalu-lalang di dunia musik Bandung. Malah, mereka juga sudah boleh dianggap sebagai dedengkot musik di Indonesia. Marine Ramdhani, pendiri FFWD Records, label yang menaungi nama besar seperti The S.I.G.I.T dan Mocca, serta Anto Arief, pentolan 70’s Orgasm Club, juga seorang seniman dan penulis.
Dari 24 demo yang sampai ke dua nama di atas, hanya 6 yang terpilih. Mereka adalah Circarama, Casskablanka, Walrus, The Bluestramp, Joy Invasion, dan Mocha Addict. Lalu ada 2 nama lagi yang menjadi pilihan favorit dua kurator, yaitu Balapantai dan Kelas Akhir Pekan. Selain kesempatan main musik di atas panggung, karya mereka juga akan disatukan pada sebuah kompilasi yang akan dibuat oleh Yes No Wave Records, sebuah net label yang telah membuat beberapa nama besar, Frau contohnya.
Arin Shabrina, Wakil Ketua Music Festifile 2015, berbicara sedikit tentang manfaat acara ini untuk menjadi wadah musisi-musisi yang sebelumnya aktif hanya di media sosial. “Tampil secara langsung agar didengar dan dilihat masyarakat luas dan jadi sarana potensi-potensi baru di skena musik di Bandung dan sekitarnya,” tambah Arin.
Entah kenapa, penampilan-penampilan yang disuguhkan mereka menambahkan satu kesadaran baru: banyaknya musisi-musisi yang harus diberi kesempatan. Sebagai daya tarik, tidak melulu tentang penampilan Raisa lagi atau Tulus lagi, tetapi keberagaman yang terdapat pada tiap-tiap penampil. Nama-nama baru yang potensial untuk menjadi pengganti Raisa atau Tulus. Untuk mencapai titik tersebut, diperlukan sebuah sifat kurasi pada setiap orang.
Dari sisi musisi pun dibutuhkan kreativitas untuk menampilkan keunikan-keunikan baru. Sebuah janji untuk memperkaya khazanah musik di Indonesia. Keyakinan bahwa karya yang dibuat mampu untuk menjadi satu pengganti atau bahkan tolak ukur baru.
Hebatnya, acara ini ditutup oleh aksi dari Vincent Vega. Band rock yang pernah berjaya beberapa tahun silam dan sempat vakum ini baru saja memutuskan untuk reuni. Penampilan di Music Festifile merupakan penampilan ketiganya setelah kembali hadir. Dengan tampilan baru, dan juga beberapa lagu baru, mereka menyihir panggung dengan brilian.
Biarpun sepi karena hujan atau kurangnya publikasi yang dilakukan panitia, orang-orang yang hadir di situ dibuat takjub dengan isian gitar yang bersautan antara dua gitaris yang membentuk Vincent Vega, Fikri dan Sogan. Aulia, pemain bas, dan Ario, penggebuk drum, juga mampu membentuk ekuilibrium musik Vincent Vega.
Total 7 lagu mereka mainkan. Dengan Resha sebagai vokalis, Vincent Vega sekarang berpotensi untuk tetap menjadi sebuah pengaruh terhadap musisi-musisi lainnya.
Seperti sebuah ucapan Fikri beberapa bulan lalu kepada saya, “Bikin band itu intinya manggung.. Puncak dari segala kesenangan berkarya di bidang musik.”
Foto oleh: Puja Nurkholifah (Dokumentasi Music Festifile)