Connect with us

Articles

Pergeseran Makna Pentas Seni di Sekolah Menengah

Diterbitkan

pada

Pentas seni adalah pertunjukan yang melibatkan beberapa aksi individu atau kelompok dan berisikan empat unsur: waktu, ruang, tubuh seniman, dan hubungan seniman dengan penonton. Begitu sepertinya makna dari kedua kata tersebut jika dipersempit.

Sayangnya, sekarang pentas seni tersebut beralih artinya menjadi sebuah ajang kreatifitas, dan yang kedua paling aneh, eksistensi. Memang, semua orang butuh kehadiran dan apresiasi orang lain. Tapi, parahnya, industri dan bisnis mengalihkan kemurnian nilai yang terkandung dalam kata seni. Komersialisasi seni itu sendiri mengubah pola pikir masyarakat menjadi sesuatu yang laku.

Seni akhirnya menjadi komoditas. Baik jika yang diangkat adalah sebuah pelestarian makna murni kata seni itu sendiri. Tidak baik jika seni akhirnya diinterpretasikan menjadi sesuatu yang menyangkut eksistensi. Terlebih seni musik. Di Indonesia, musik masih sangat ambigu artinya. Tidak ada standar yang tepat untuk mengartikan musik sebagai identitas, kecuali musik tradisional.

Perlu diperhatikan musik (mungkin) merupakan seni yang palih mudah dicerna masyarakat pada umumnya. sehingga musik menjadi sesuatu yang diagungkan, apalagi oleh siswa-siswa sekolah menengah di Indonesia. Mengapa melibatkan siswa sekolah menengah? Karena penggunaan frase pentas seni sekarang selalu diafiliasikan kepada acara yang dibuat siswa sekolah menengah. Bisa dilihat dari berbagai acara yang mengusung nama pentas seni di kalangan siswa sekolah menengah.

Selain itu juga, musik di pentas seni sekolah menengah biasanya menjadi sajian utama untuk pengkonversian kreatifitas menjadi eksistensi. Kadar kesuksesan sebuah pagelaran sekolah menengah itu diukur dari seberapa banyaknya pengunjung yang datang atau kicauan tentang si acara di media sosial. Bukan seberapa besar dampak dari pesan tersirat atau tersurat yang sampai ke pengunjung.

Masih untung jika mereka menjunjung tinggi pesan yang mereka siapkan untuk pengunjung. Sekarang, apa yang dipikirkan adalah bagaimana mendapatkan uang untuk menyewa jasa artis-artis (bentuk hiperbola musisi) agar tiket acara cepat habis. Kuantitas telah mengambil alih kualitas. Tidak sedikit pun ada dalam benak mereka bahwa mereka mempunyai tanggung jawab untuk mengedukasi dan memberikan sesuatu yang berharga kepada pengunjung.

Sekarang, kita tilik lagi dari kejadian nyata yang terjadi. Sekolah saya dulu, akan mengadakan pentas seni, atau yang mereka sebut pentas seni. Beberapa artis yang didatangkan merupakan DJ. Maaf jika sedikit menyinggung, tapi ini cukup menganggu pikiran. Apa tujuannya? Membuat sebuah pentas seni atau rave party?

Jelas, tren seperti ini sudah sangat menjamur di sekolah-sekolah di Indonesia. Banyak sekali kasus lain yang langsung disadari jika melihat fenomena ini.

Jika musik yang diusung, mengapa tidak para penggiat kegiatan sekolah itu memberi ruang kepada musisi-musisi yang punya cukup materi untuk menyampaikan pesan sesuai dengan konsep acaranya. Tanpa menanggalkan seni. Sisi positifnya hal itu adalah nama-nama baru yang potensial mendapatkan tempat, para pengunjung pun mendapatkan sesuatu. Sebuah kreatifitas dan eksistensi dalam porsi yang pas.

Ah, membandingkan musik memang tidak ada habisnya, argumen saya pasti memiliki banyak kelemahan untuk dibantah. Mungkin saya yang terlalu konservatif melihat kata seni di frase pentas seni. Mungkin juga saya yang terlalu ketinggalan tren seni kontemporer. Yang jelas, secara terang-terangan, saya hanya ingin masyarakat melihat sesuatu dari kualitas, bukan kuantitas. Apalagi para murid-murid di sekolah menengah yang sudah pasti akan regenerasi menggantikan senior-seniornya.

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *