Connect with us

Articles

Seribu Keping CD Lawan Seribu Unduh MP3 (Bagian 1)

Diterbitkan

pada

“wake up, don’t you hide now.

sometime this morning someone, takes you on the run.
breathe up all you can somehow,
sometime this morning someone will take you run.
takes you run” Off Her Love Letter – Melancholic Bitch

Beberapa hari yang lalu, Saya memperhatikan timeline Twitter, ada beberapa teman Saya bicara soal keuntungan dari penjualan CD, cara jualan CD, digital, rilisan fisik, cara pembayaran dan lain-lain.

Perdebatan yang tidak pernah ada ujungnya. Sama halnya dengan perdebatan tentang kekalahan penjualan CD fisik dari pembajakan, itu juga sesuatu yang tidak pernah ada ujungnya. Nah, tapi Saya tidak akan bicara soal pembajakan, masalahnya, Saya sendiri masih rajin download lagu ‘luar’ dari situs-situs penyedia jasa download ilegal.

Sementara untuk rilisan lokal karena ada beberapa distributor yang menitipkan rilisan dari banyak band lokal ke tempat kerja Saya, otomatis Saya tinggal menyisihkan saja dari uang jajan dan tinggal berjalan beberapa langkah ke rak CD yang ada di tempat Saya sendiri.

Berangkat dari pengalaman keseharian, Saya hanya bisa tertawa membaca perdebatan tak ada ujungnya itu. Masalahnya, habis waktu dan energi untuk berdebat sementara sebetulnya daripada berdebat di luar dan berkoar-koar, lebih baik ngobrol dengan masing-masing personil band dan siapapun yang dipercaya untuk menjual apapun yang dihasilkan band karena situasi untuk setiap band, setiap produk yang dihasilkan, setiap hal itu bisa berbeda.

Misalnya untuk band mainstream alias major alias band label besar, dari dulu, sebelum ada internet, sebelum kita dengan mudahnya googling “bla bla bla mp3 download gratis”, penjualan rilisan fisik berjalan dengan lancar. Iklan di media, manggung di TV, manggung off air, secara otomatis meningkatkan penjualan kaset dan CD. Soal bajakan dari jaman itu juga sudah ada, tapi pembeli bajakan dengan pembeli CD asli masih bisa tertutupi karena label masih bisa berkoar-koar kalau penjualan kaset dan CD sekian kopi, sekian juta keping.

Sampai jaman tiba-tiba berubah. Orang tidak perlu lagi pergi ke toko CD dan ke lapak-lapak bajakan. Cukup ke warnet, mengeluarkan uang sekian ribu beberapa jam, pulang dengan membawa berpuluh-puluh album hasil download.

Tampaknya tidak ada satupun label pun yang siap dengan hal ini. Tidak ada juga orang yang pada saat itu berpikir kalau ini akan mengubah banyak hal. Ada sih yang siap dan kemudian di waktu yang tepat mengeluarkan gadget yang bisa dengan mudah memfasilitasi orang untuk membeli lagu tanpa perlu pergi kemana-mana. Tanpa perlu membeli rilisan fisik.

Tapi hal itu tidak terjadi di sini, di Indonesia. Sekian tahun yang lalu, ketika Saya memulai urusan memesan barang ke toko Saya dengan sistem email atau SMS, Saya dengan teman Saya memperkirakan kalau Saya harus membuat situs yang canggih dengan sistem pembayaran yang canggih pula, entah memakai paypal entah memakai sistem kartu kredit atau biasa juga disebut e-commerce, dalam waktu dua atau tiga tahun ke depan. Tapi di tahun ini pun, akhirnya kami menyerah dengan catatan tampaknya pembeli di Indonesia baru siap dengan hal itu, 5 sampai sepuluh tahun kedepan. Itu pun masih mungkin.

Entah sudah berapa label dan perusahaan yang tumbang dalam urusan jual beli format digital musik di sini. Kalaupun ada, tidak pernah sampai hitungan ratusan ribu download. Kalaupun ada jutaan lagu yang terjual itu juga melalui sistem RBT yang sempat menuai kontroversial beberapa waktu yang lalu ketika sistem RBT digugat secara kegunaan dan cara penjualannya. Setelah dilarang memaksa atau menjual secara diam-diam melalui paket-paket tertentu via provider, RBT hilang begitu saja hitung-hitungannya.

Kenalan dan lingkungan Saya, tentu saja adalah band-band yang mendistribusikan rilisannya via distributor independent alias indie yang kemudian berubah jadi genre yang tiba-tiba tampak mengharuskan sebuah band jadi cutting edge, tidak biasa dan mungkin malah jadi aneh dan tidak jelas.

Sementara di kepala Saya, independent dan major itu dipisahkan oleh kata bernama kemampuan produksi dan distribusi. Yang major punya label super duper kaya, bisa produksi album dan rilisan fisik dalam jumlah besar, distribusi secara nasional dan punya biaya promo yang juga besar, jadi otomatis pendengarnya jauh lebih banyak dan jadilah band mainstream. Yang indie, labelnya miskin, band-nya miskin, cuma mampu produksi sedikit, distribusi cuma di beberapa tempat, cuma mampu promo keliling radio lokal di kota masing-masing, ke kota lain nunggu undangan.

Jadinya tampak seperti tidak diterima pasar dan lain-lain jadilah genre indie padahal orang mendengarkan dan jadi terasa tampak ekslusif padahal-mungkin-yang-dengar-hanya-sedikit karena label kaya ‘ogah’ mengeluarkan uang untuk band-band yang dianggap tidak menjual alias tidak seragam dengan selera pasar yang dibentuk oleh mereka sendiri.

(Bagian 2)

*Ditulis oleh Iit Boit (Omuniuum)

*Foto: (virgin.com)

1 Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *