Connect with us

Articles

SUM 41 Diantara Holiganisme Punk

Diterbitkan

pada

Lagu berjudul In Too Deep milik SUM 41 terasa bingar hingga membangunkan tidur singkat saya dari suatu pagi yang masih gelap.

Nada itu berawal dari petikan gitar Dave Baksh yang disusul pukulan drummer Steve Jocz. Lalu mengalir dan menembus pori-pori telinga. Mereka seakan memberi tanda, bahwa saya harus membuka mata lebih awal dari biasanya.

Pagi itu, mungkin hanya Jason McCaslin yang tidak terlalu rewel karena berbisik melalui fungsi bass gitar. Tapi, rengekan suara Deryck, membuat tangan saya terpaksa mengurai gulungan selimut yang masih menutup tubuh.

Hingga akhirnya, lantunan lagu dari album All Killer No Filler itu berhasil mengoyak-ngoyak kemalasan. Terlebih pada bunyi repetisi:

Cause I’m in too deep, and I’m trying to keep
Up above in my head, instead of going under
Instead of going under.

Bagian itulah, suara Deryck meninggi. Kemudian menghentak. Tak lama merendah lalu meletup-letup. Pada bunyi lain, double pedal dimainkan Steve Jocz secara up beat.

Bagi saya, lagu ini seperti pola bayangan, yang meminta saya harus berlari sprint menuju sebuah Kota mati, lalu mengejar pesta punk dengan audio 100 ribu watt. Tentu SUM 41 adalah idola yang dinanti ribuan penonton.

Saya pun bergegas ke kamar mandi.

SUM 41 adalah Deryck Whible (vokalis cum gitar), Dave Baksh (gitar), Steve Jocz (drum) dan Jason McCaslin (bass). Band ini lahir di negara Kanada Provinsi Ontario tahun 1996. Wilayah yang juga memiliki tempat terbaik untuk kategori teater musikal.

Nama SUM 41 dipilih karena terbentuk 41 hari sebelum musim panas. Tapi, sebelumnya mereka sudah dikenal dengan nama Kaspir sebagai identitas musiknya.

SUM 41 (Foto : Doc Band)

Deryck Whible
Dari empat nama tersebut, terus terang saya menaruh hormat pada Deryck. Bukan. Bukan karena ia seorang peminun alkohol berat yang sudah tobat. Diluar itu, saya menilai dia sebagai musisi paling konsisten dalam membesarkan nama SUM hingga sekarang.

Ia misalnya, sama sekali tak pernah berpikir untuk hengkang, sekalipun banyak persoalan pribadi yang cukup menguras tenaga. Termasuk waktu ditinggalkan dua rekanya, Baskh dan Steve. Bahkan ia tetap bertahan disaat band ini turun pamor paska dirinya overdosisi miras.

Namun, saya percaya SUM 41 adalah band besar yang layak meneruskan estafet Sex Pistols, The Clash dan prajurit The Stooges dibawah komandonya Iggi Pop. Terutama soal warna musik.

Begitu pula di sirkuit scene punk. Genre gabungan antara punk berpadu rock dan rap membuat banyak kalangan menobatkan SUM 41 sebagai juru pembaharuan.

Kisah Cinta
Dari semua catatan tentang perjalanan asmaranya, saya hanya mendapat sedikit kabar tentang sebuah pesan bernada ancaman: pembunuhan dari seorang fans mantan isterinya (Avril Lavigne).

Entahlah, namun kabar itu menjadi perbincangan hangat dikalangan tukang gosip selama berpekan-pekan. Tapi, saya lebih tertarik melihat Deryck dari sisi seorang profesional karena loyal terhadap band maupun fans.

Dave Baksh
Jauh sebelum nimbrung bersama SUM 41. Nama Dave Nizaam Baksh sangat terkenal di sekolahnya Exeter High School. Di sana, Ia merupakan satu-satunya jagoan gitar dengan gendre musik metal.

Namun, terlalu larut akan hobinya itu, ia sampai lupa dengan buku dan materi pelajaran. Akibatnya, pihak sekolah memutuskan untuk melakukan pemecatan.

Membayangkan Bashk dipecat tentu sangat membutuhkan waktu tambahan untuk berpikir.
Dan, Jika hal itu terjadi pada saya, maka pilihan tepat yang akan dilakukan adalah mengunci pintu kamar lalu mengurung diri sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kemudian memandang jarum jam sambil berharap malaikat pembawa pesan kebaikan datang.

Beruntung, Deryck dan Steve, yang juga teman sekolahnya hadir bagaikan juru selamat. Keduanya datang membawa misi penyaringan gitaris berbakat.

Dari sanalah, cikal bakal band pembawa kiblat unsur gabungan Rock Punk dan Rap ini dikenal secara luas sampai mendunia.

Steve Jocz
Barangkali, ketiga personel SUM 41 tidak akan pernah tertawa andai Steve lahir di negara fasis macam orba. Tingkahnya yang nakal dan jahil membuat siapapun pemimpin negaraya pasti berusaha untuk membunuhnya.

Untunglah ia ladir di negara demokrasi dengan sejarah musik terbaik di dunia. Jadi, kenakalanya itu malah membuat orang lain terhibur. Meski sebagian orang didekatnya kesal karena sering dilempar berbagai joke.

Deryck misalnya. Dalam sebuah momen di panggung Exposed musik, Steve mengatakan bahwa sang vokalis itu memiliki wajah jelek.

“SUM 41 tanpa Deryck seperti SUM 41 sedang menyanyikan lagu orang lain, walaupun dia berwajah jelek,” katanya terkekeh.
Meski demikian, publik pasti mengingat kemampuan individu Steve di tiap pertunjukanya. Tentu Memainkan drum sambil bernyanyi adalah hal yang paling silit. Tapi itulah Steve Jocz.

Jason McCaslin
Ketika Mark Spicoluk pergi dan bergabung bersama Avril Lavigne. Telunjuk Deryck mengarah tepat di bagian lubang hidung Jason McCaslin.

Pria yang dikenal dengan nama “Cone” ini hampir tak menyangka bisa merumuskan karya bersama SUM 41. Hingga saat ini, mungkin telunjuk itu dianggapnya sebagai penghargaan National Academy.

Terbukti, kesempatan itu langsung dibayar dengan perform apik yang ditandai munculnya video clip In Too Deep ditengah-tengah layar MTV.

Pula hubungan Cone dengan semua mantan personel SUM 41. Rupanya ia salah satu orang yang mampu berkomunikasi dengan baik. Setidaknya, ia bersama Deryck adalah saksi hidup perjalanan SUM 41 sampai 11 album.

Rivalitas
Memasuki Tahun 2000. Gaung mereka meluas ke seluruh penjuru dunia. Di Amerika, Para Jurnalis musik sering melabeli SUM 41 sebagai rivalitasnya Blink 182 dan Green Day.

SUM 41 dicemooh karena paling sering muncul di MTV. Bahkan lebih sering dari Green Day yang dikenal satire pada pemerintah. Hal itu dianggap tak sopan karena mendahului eksistensi Green Day yang lahir lebih dulu tahun 1987.

Adapun Blink 182 dinilai belum cukup umur untuk mementaskan musik lelucon ala punk. Sebaiknya mereka mempelajari dulu semua kitabnya dari tingkat dasar.

Pandangan itu rupanya berdampak pada holiganisme sekelompok orang. Jika Green Day memiliki basis pendukung bernama Idiot Nation. Blink 182 membentuk dirinya sebagai Street Team.

Seperti perseturuan suporter dalam film bertajuk Green Street Hooligans. Para pendukung ketiga kelompok scene punk ini saling serang dengan berbagai cara. Itu dilakukan untuk satu tujuan: membela band kebanggan.

Belum hilang dari ingatan. Tom Delonge memutuskan berpisah dari squad Blink182 pada tahun 2015. Anda yang merasa Street Team, tentu bisa menghitung berapa banyak pencerca yang tumpah ruah di linimasa.

Adapun dugaan yang muncul kepermukaan adalah soal konflik internal mereka tentang tidak meratanya pembagian jatah. Kabar lainya memberitakan bahwa yang paling serakah itu ialah perusahaan rekamanya. Interscope.

Isu itu rupanya menjadi momen tepat bagi Hooliganis kelompok lain untuk menyebarkan tuduhan pedas. Merek menganggap Blink 182 sebagai band kacangan yang serakah duit, atau band yang menjual nama besar scene punk untuk kepentingan proyek.

Di internalnya sendiri, sebagian street team menolak untuk menonton semua konser Angels And Airwaves. Penyebabnya karena Tom sudah menjadi pengkhianat atas kesetiaanya bersama Blink.

Meski demikian, sang penggebuk drum Travis Barker mengatakan, alasan kepergian Tom hanyalah soal beda pandangan tentang jenis musik yang harus dipertahankan.

“Tom terobsesi dengan warna musik U2,” katanya.

Bagaimana dengan Idiot Nation?
John Joseph Lydon seorang musisi senior dari The Sex Pistol, mengatakan bahwa musik punk dibawah Green Day adalah sejarah terburuk sekaligus yang paling idiot.

Pernyataanya Lydon terlontar setelah billie joe armstrong mengeluarkan resolosinya pada tahun 2016 lalu. Menurut Joe, seharusnya genre punk dibumi hanguskan dari dunia musik.
Alhasil, Lydon pun memberi ultimatum, yang kemudian dikliping banyak orang.

“Bagi saya, Green Day seperti gantungan baju, dan belum mendapatkan hak untuk mengenakan jubah punk.”

Adapun kelompok remaja Kanada yang mengatasnamakan skumfuk mengklaim, bahwa basis SUM 41 lebih banyak dibanding band satire dan band komedian Blink 182.

Sampai disini, anda mungkin pernah mendapat pertanyaan dari seorang teman tentang apakah anda bagian dari basis Skumfuk, Street Team atau Idiot Nation? Silahkan saja kalian jawab masing-masing.

Yang jelas dari sisi aransemen musik, jargon juru pembaharuan dengan unsur rap dan gabungan ritme cepat sudah lebih dari cukup untuk mengcounter argumentasi komersialisasi MTV yang kerap dituduhkan itu.

Tapi, baiknya kita tinggalkan perdebatan itu. Saya harap, anda tidak sedang larut dalam hooliganisme tadi. Sejenak, saya ingin anda mendengarkan sebuah lagu berjudul Fat Lip sambil melanjutkan bacaan ini sampai akhir.

Konon, lagu ini merupakan yang paling populer di kalangan remaja karena kental dengan pembaharuan musik punk, sekaligus lagu yang paling banyak dikenang oleh ribuan penonton Indonesia karena menjadi encore sewaktu konser di Jakarta tahun 2012 lalu.

Sementara dari catatan situs billboard, fat lip tercatat pernah menembus urutan 66 dari 100 lagu hits terbaik dunia. Mungkin juga, lagu ini yang membuat sutradara kenamaan JB Rogers menjadikan sountrack dalam film nya yang berjudul American Pie 2.

Bagaimana pengaruh mereka di Indoneaia?
Sebagai pemuda yang tumbuh di luar Kota, saya mengenal SUM 41 sewaktu duduk di bangku SMP. Tapi, bukan melalui musik. Melainkan bentuk tulisan grafiti yang terpampang hampir di tiap garasi mobil. Terlebih, aksi coretan juga terukir di Jalanan kota sampai kamar-kamar para remaja.

Anda mungkin tak percaya. Bagaimana SUM 41 bisa begitu berpengaruh di kalangan remaja kala itu. Namun jika Anda bertanya pada saya, jawabanya sederhana: unsur pembaharuan.
Mengenal lagu-lagu SUM 41 juga bukan dari literatur bacaan yang panjang-panjang. Tapi lebih sering didapat dari cerita pengantar tidur seorang teman pengagum berat Nirvana dan Smashing Pumpkins.

Perkenalan lebih jauh, justru ketika saya diminta untuk mendengarkan album Half Hour of Power dengan lagu favoritnya berjudul summer. Sambil mendengarkan, sesekali saya bertanya mengapa terselip angka 41 di tembok kamar yang banyak gambar Kurt Cobain.

“Nirvana dan Smashing Pumpkins adalah ruang ekpresi disaat saya sulit memecahkan persoalan. Sedangkan SUM 41 adalah rumah kedua ketika saya patah arang.”

Kalimat itu masih saya ingat sampai kini menginjak usia dewasa. Usia disaat semua orang berteriak lebih keras menalikan SUM 41 dengan komersialisasi MTV dan musik punk. Di sisi lain, saya makin akrab dengan bahan bacaan dan memperbesar ruang interaksi.

Abdullah Surjaya, seorang teman saya yang bekerja sebagai reporter berita nasional, baru-baru ini wajahnya terlihat aneh ketika mendengarkan lagu berjudul Pieces di amplifier mobil miliknya.

Padahal, dalam beberapa kesempatan, ia mengaku sebagai penggila musik reggae, macam Jimmy Cliff, Burning Spear dan presiden terbaik Bob Marley.

“Lagu Pieces ngingetin gue waktu masih aktif di organisasi LMND Yogya” begitulah jawabnya ketika saya tanya.

Pieces adalah satu dari 12 lagu SUM 41 yang termasuk dalam album kesebelas mereka bertajuk Chuck. Album ini dirilis pada tahun 2004 oleh label Island Records. Beberapa lagunya banyak bertema kemanusian dari negeri kongo dan kesenangan diantara mereka sendiri, namun tidak meninggalkan ritme cepat yang jamak pada musik punk.

Bagi saya, dan mungkin teman-teman sebaya lain yang lahir di era milenial, lagu Peaces juga sangat identik dengan fase manis yang penuh atribut dan simbol.

Lalu muncul sebuah pertanyaan apakah anda pernah memohawk rambut sebagai simbol perlawanan terhadap kaum hippies? baju penuh duri ala vivienne westwood supaya dinilai idiologis? atau kaki yang terasa sakit gara-gara atribut celana sempit yang dipaksakan.

Do It Yourself. Kalimat yang sering muncul di pelbagai kalangan punk itu mungkin sebagai jawabanya. Lagu Peaces sendiri bercerita tentang seseorang yang sedang diatas puncak, namun ia resah karena semua itu bukanlah ia yang sebenarnya. Atau dengan kata lain bukan menjadi dirinya sendiri.

Belum jauh dari Do It Yourself. Teman saya yang lain, yang juga mengaku sebagai vokalis band punk mengaku tetap akan menolak kapitalisme sebagai kamerad. Hal itu ditunjukan dengan jargon anti kemapanan.

“Publik united not kingdom wajib menolak keras masuk televisi. Itu karena mengandung unsur komersil dan menguntungkan kapitalis,” katanya. Menggema.

Pernyataan itu membuat saya berhenti menulis untuk sejenak.

Tapi, Tiga Setia Gara, praktisi sekaligus vokalis Silly Riot, dalam sebuah acara TV menguraikan jawabanya dengan tegas, Tiga menyebut kelompok demikian sangat bodoh dan harus diberangus dari muka bumi.

“Gaung anti kemapanan dan anti sistem yang sesungguhnya adalah melawan kebodohan sendiri.”

“Jadi yang ngomong begitu sama saja melarang kita pinter dan kaya. Sementara dari kecil kita sudah disuruh pinter. Gimana kita bisa tau Rancid dan sejenisnya kalau bukan dari internet?”

Saya setuju akan pendapat Tiga: Selama kapitalis implementatif di ruang-ruang kewarasan. Maka kecil kemungkinanya isme demikian dapat mempengaruhi simbol dan identitas punk.
Saya kira menjadi punk tidak harus menolak ini dan itu. Tidak pula semudah menggoreskan eyeliner di kelopak mata.

Namun memberi dampak positif bagi pendengarnya merupakan sebuah keharusan agar tatanan masyarakat berada dijalan kepintaran.

Dan … bagian penutup ini, saya ingin memberi pesan melalui lirik lagu berjudul Skumfuk. Lagu ini saya anggap sebagai anthem untuk melawan semua bentuk kebodohan.

Take the pictures off the wall
Erase the thoughts, forget them all
The choice is yours to save yourself
Or in the hands of someone else
Broken thoughts and alibis
Conscience disappears in time
Voices are all that I can show
And all that I have is a soul
You’re a set-up to fail
You’re a dead-beat on parade
With a foot in the gutter
And the other in the grave
You’ve cooked your silver spoon so black
So die
What can I say?
Guess it’s obvious you would end up this way,
When you live amongst the dead.
The best of luck,
As the one and only resident scumfuk.
A victim or just a tragedy?
I hear you talk
But I don’t hear you speak.
You don’t make sense,
Your mind is incomplete.
I can’t believe all the things that you say.
You just can’t get enough.
We’ll all be waiting here just for the day
That your time is up.
What can I say?
Guess it’s obvious you would end up this way,
When you live amongst the dead.
The best of luck,
As the one and only resident scumfuk.
A victim or just a tragedy?
All that I need is time for me to breathe.
Dream little dreams that only I believe.
Now that I see beyond the light,
I know I’ll be, I’ll be alright.

(Septradi Setiawan)

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *