Connect with us

Articles

The Lost Scene, The Lost Years: Skena Purnawarman Bandung, 1997-2001

Profile photo ofigoy

Diterbitkan

pada

Skena Purnawarman Bandung Mixtape

Bandung Electronic Center (BEC) berdiri angkuh di jantung Kota Bandung. Pusat perbelanjaan barang-barang elektronik di Jl. Purnawarman ini tak pernah berhenti berdenyut sejak beroperasi di akhir 2001. Baru setelah pukul 9 malam, setelah BEC dan tempat-tempat usaha lainnya tutup, ruas Jl. Purnawarman sepi kembali seperti sedia kala dari kemacetan dan lalu-lalang manusia—persis ketika bangunan raksasa tersebut belum lagi berdiri.

Lahan yang kelak dibangun BEC, sekitar medio 1990-an, sudah merupakan lokasi sebuah lembaga kursus bahasa Jepang berdiri, serta sebuah rumah sederhana di sampingnya yang agak menjorok ke belakang. Lembaga kursus bahasa Jepang itu memliki lahan parkir yang agak luas, sementara di sampingnya, sejajar dengan rumah mungil itu, terdapat kios dan warung makan sederhana dari bambu bercat hijau.

Di tahun 1997, di tempat inilah berkumpul anak-anak muda, dari anak SMA hingga mahasiswa, yang doyan akan jenis musik yang relatif sama: grunge dan alternative. Pekarangan rumah Ferry, sekaligus lahan parkir itu, menjadi titik kumpul mereka sehabis sekolah, les, atau kuliah, dari siang hingga larut malam.

Sebelum menjadi sebuah “skena”, tempat ini merupakan tempat nongkrong Ferry (vokalis-gitaris Waterbroke) dan kawan-kawan SMA PGRI, yang sebelumnya nongkrong di depan Hoka-hoka Bento Jl. Merdeka. Lambat-laun, kawan-kawan Ferry yang bukan satu almamater SMA, juga kawannya kawan Ferry, turut nangkring di sini, termasuk band-band yang sudah manggung di GOR Saparua seperti Slum, Nicfit, dan Been A Son.

Kaset Grunge Is Dead (1997

Kaset Grunge Is Dead (1997

Di titik inilah, ketika tercetuslah ide gig “Grungy”, sebuah skena mulai terbentuk. “Grungy” merupakan respons terhadap dominasi beberapa skena underground terhadap GOR Saparua yang selalu saja mengutamakan band-band punk, hardcore, dan extreme metal. Anak-anak Purnawarman ini—begitu mereka disebut—berpandangan bahwa musik grunge pun berhak dirayakan di gedung olahraga tersebut, karena sama-sama berangkat dari semangat independen.

Setelah “Grungy” yang digelar 5 Oktober 1997 itu sukses, tongkrongan ini mulai disantroni anak-anak muda lain dari pelbagai penjuru Bandung. Apalagi setelah dilirisnya kompilasi ‘Grunge is Dead’ yang diinisiasi Dhoni Ariandi alias Otoy, dedengkot band noise rock Nicfit, pada akhir 1997.

Memasuki 1998, skena Purna makin heterogen, dari anak punk, hardcore, metal, crustcore, dan indies pun datang silih berganti; come, drunk, stone, and go.

Di lingkungan internal Purna sendiri, sejak awal, mereka tak pernah mendefinisikan diri sebagai “anak grunge”. Memang Waterboke (WB) kadang mengkaver Foo Fighters, Pink Pearl membawakan Pearl Jam, Slum mengkaver Nirvana begitu persis, The Coins mengkaver Smashing Pumpkins, Been A Son dengan Hole, Nicfit dengan Sonic Youth, namun mereka juga sudah membawakan lagu-lagu sendiri di atas panggung.

Dan sejak 1998, beberapa band proyekan mereka sudah otomatis membawakan karya-karya sendiri; sebut saja Blend Edges (kelak jadi Superabundance), Superdrugs (kelak jadi Rajam), dan Veskil. Superdrugs memilih genre industrial, Blend Edges memainkan noise rock, sedangkan Veskil dan Superabundance memilih jalur indie rock dan lo-fi. Namun begitu, ada satu benang merah yang menghubungkan band-band Purna, yaitu pengaruh Sonic Youth yang sedikit-banyak cukup kentara dalam karya-karya mereka.

Tak hanya di Jl. Purnawarman 15, tongkrongan tetangga seberang jalan, Jl. Purnawarman 34, malah lebih beragam jenis musiknya, dari punk, hardcore, hingga death metal. Tak ada genre atau subgenre yang spesial dan otoritatif di skena Purnawarman.

Keberagaman genre ini ditunjukkan pula oleh kompilasi ‘Live the Session’ yang dicetus Agung (Torek, Superdrugs) pada 1999, di mana banyak band dengan pelbagai genre, termasuk sebuah lagu Koil yang direkam live, termuat di dalamnya.

Jadilah Purnawaman sebagai salah satu simpul skena indie (bawahtanah) di kota Kembang di samping komunitas atau skena macam Taman Lalu Lintas, PI, Harder, Ujungberung, PRB, Gerlong, Balkot, Kintam, dan skena yang muncul kemudian seperti Waret dan Hasnud. Barudak Purna mulai diperhitungkan oleh skena-skena lain dan juga panitia acara bazaar (pensi) SMP, SMA, hingga kuliahan.

Di samping manifesnya di atas, memasuki 1999 tongkrongan Purna melahirkan efek latennya sendiri: persebaran dan pemakaian drugs semakin merajalela di antara mereka, dari miras yang dibeli dari warung jamu, mariyuana yang murah meriah, pil, hingga putaw dan sabu-sabu yang memang sedang menjadi “tren”.

Sebagian kecil dari mereka memilih menjauh, namun sebagian lagi malah menarik kawan-kawan lainnya untuk datang guna menikmati sensasi-sensasi delusionalnya.

Depresi, kemuraman, dan kelatahan khas anak muda bertemu dengan kelonggaran pemantauan pihak aparat di tengah kondisi sosial-politik-ekonomi era Reformasi yang penuh yuporia sekaligus tak menentu, membuai dan melenakan mereka. Satu per satu, kelak, sebagian dari mereka harus menemui malaikat maut setelah sebelumnya menderita penyakit kronis yang menyiksa. Sebuah era kerap meninggalkan jejak yang suram dan sisi gelap yang memekatkan batin.

Memasuki tahun 2000, satu per satu dari mereka hilang dari peredaran, meski sebagian tetap intens bersua, tetap main band, dan manggung di tengah terpaan badai narkoba yang masih saja konstan. Begitu bangunan tempat kursus bahasa Jepang dan rumah Ferry dijual pada 2001, dipagari oleh seng-seng pembatas, dan kemudian diruntuhkan rata dengan tanah, otomatis tongkrongan beralih ke Purna 34 dan kadang ke CCF (kini IFI) di seberangnya.

Intensitas bertemu anak-anak Purna jadi makin berkurang, meksi kadang bertemu di salah satu rumah dari mereka, sementara yang lain mulai memikirkan masa depan selepas kelar kuliah. Masa remaja yang indah, menggebu-gebu, nyeleneh, bebas, chaotic and lost years ketika media sosial belumlah lahir, rupanya harus dibereskan oleh roda waktu yang memang selalu angkuh.

Namun, kreativitas rupanya tak kenal skena dan usia. Di sela-sela berkeluarga dan kerja kantoran, sebagian dari anak-anak Purna tetap ngeband. Ketika warung-warung internet mulai tersebar, seiring platform MySpace, Friendster, dan aktivitas carding (“cokro”) dikenal oleh masyarakat Indonesia, maka pola produksi musik bergeser dari analog ke digital, anak-anak Purna pun ikut mempergunakan perangkat cyber tersebut walau tak serta-merta.

Nicfit terus bekarya merilis sejumlah mini album walau pasang surut. Superabundance menelurkan mini album dan album. Veskil reuni dan merilis album. Pun Waterbroke dan Rajam. Beberapa malah bikin label indie (Otoy dengan Rottentank, Dadi dengan Hitheroad Records, Agung dengan Rajam Records), bikin kompilasi, dan juga gigs kecil. Dadi (Been A Son, Superabundance, Dadi and the Yeehaw) dengan proyek solonya Heup! tetap bekarya di Negeri Paman Sam sana.

Super Abundane dan Menjarah Gairah

Pada akhirnya, gairah dan konsistensilah yang membuat sisa-sisa anak Purna tetap bermusik. Kegairahan yang sama pula yang mendorong penulis mengisahkan sepenggal kisah mereka, sehubungan keberadaan skena ini luput dari perhatian media karena platform digital dan media sosial belum lagi dikenal dalam periode lost years ini.

Karena itu, penulisan artikel ini dinilai penting sebelum kisah-kisah lisan tentang mereka hilang ditelan pekatnya kabut waktu sementara eksplanasi sejarah mutlak memerlukan narasi-narasi tertulis.

Dan andai kata panggung ambruk, lighting padam, aliran listrik mati, bahkan BEC runtuh pun, mereka rupanya tetap akan membentangkan kebisingan yang tak pernah usai dan tua.

Sebising anak-anak muda tanggung yang gelisah seraya melontarkan tembang “Teenage Riot” Sonic Youth: Where the kids are setting up a free-speed nation for you / Got a foghorn, and a drum, and a hammer that’s rockin’ / And a cord and a pedal and a lock, that’ll do me for now. (Ojel S.Y. / 5 & 7 November 2024)

DOWNLOAD MIXTAPE PURNA SCENE SOUNDS

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *