Album Review
White Shoes & the Couples Company: Tidak Joget Tidak Asyik!
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2014/01/wsatcc2-li.jpg&description=White Shoes & the Couples Company: Tidak Joget Tidak Asyik!', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
Ada saja yang bisa dibagikan White Shoes & the Couples Company (WSATCC) kepada pendengarnya. Apa yang dibagikan Aprilia Apsari (vokal), Rio Farabi (gitar akustik dan vokal latar), Saleh Husein (gitar elektrik dan vokal latar), Ricky Surya Virgana (gitar bas dan vokal latar), Aprimela Prawidiyanti (organ dan vokal latar), dan John Navid (drum dan perkusi) merupakan wujud kebahagiaan. Tahun lalu misalnya, WSATCC merilis Six Live Selection. Sebuah mini album berisi kumpulan lagu yang mereka mainkan secara live pada beberapa tempat pertunjukan. Lagu semacam “Brother John” atau “Bersandar” yang jarang dibawakan masuk dalam album tersebut dengan aransemen berbeda. Atau ada juga lagu yang dimainkan secara spontan dan lagu cover yang berkesan buat WSATCC . Enam lagu di enam tempat berbeda. Hal-hal kecil yang kemudian menjadi unik ketika didokumentasikan.
Tidak bisa juga dilepaskan bahwa WSATCC merupakan kelompok musik yang sering hadir dengan cendera mata. Kegiatan yang mungkin sudah menjadi rutinitas apabila ingin bepergian ke luar Indonesia dalam rangka memperkenalkan musiknya. Rutinitas membagikan atau lebih tepatnya menjual cendera mata sebagai bentuk dukungan akan kepergian WSATCC. Juga bisa dibilang sebagai bentuk kedekatan dengan pendengarnya. Bisa ambil contoh, sekarang ini mereka sedang menjalani tur Eropa meliputi kota Helsinki, Stockholm, Copenhagen, dan Berlin. WSATCC mengedarkan cendera mata seperti pada umumnya kelompok musik yaitu baju. Namun, baju yang mereka edarkan sesuai dengan tema acara yang nantinya mereka laksanakan. Ingin melaksanakan tur Eropa, maka edaran bajunya menampilkan gambar seperti itu.
Secara tidak langsung ada korelasi yang tercipta. Rilisan berupa mini album atau cendera mata yang terbatas membuat WSATCC mempunyai sifat kontinuitas untuk terus mengedarkan rangkaian baru. Bahwa kontinuitas sudah menjadi semacam pola tersendiri. Kontinuitas yang didasari untuk memberi kabar lalu membagikan rasa bahagia. Ungkapan sedikit-sedikit bisa menjadi banyak cocok untuk disematkan. Bisa dicermati dengan lebih banyaknya mini album yang WSATCC keluarkan secara kontinuitas ketimbang album. Jumlahnya empat berbanding dua sampai saat ini. Empat itu adalah Skenario Masa Muda (2007),Senja Menggila (2009), Six Live Selection (2012), dan White Shoes & The Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah (2013) sementara dua itu terdiri dari Self-titled (2005) dan Vakansi (2010). Yang tertangkap seperti mereka tidak menunggu momen tetapi menciptakan momen.
Kontinuitas paling baru yang mereka ciptakan sekaligus menggenapi mini album WSATCC menjadi empat adalah White Shoes &The Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah. Proyek ini merupakan bentuk rasa sayang kepada studio musik Lokananta di Solo yang telah mendokumentasikan lagu-lagu daerah Indonesia sampai ke pidato Bung Karno di era Orde Lama. Melengkapi keutuhan rasa sayang, WSATCC pun sampai merekam lagu daerah yang dibawakan ulang di Lokananta. Mulai dari 25-28 Oktober 2012. WSATCC memilih lima lagu untuk masuk dalam album tersebut. Lima lagu yang diolah sesuai rasa WSATCC. Lima lagu yang menyenangkan pastinya. Seperti layaknya para Bintang Radio serta Orkes RRI pada era emas tersebut, tulis Dick Tamimi pada catatan pembuka untuk album ini.
“Jangi Janger”, lagu daerah Bali dijadikan sebagai pembuka. Ada persamaan metode yang digunakan untuk reka ulang lagu ini dengan salah satu lagu di album Vakansi. Lagu ini dibawakan secara akapela. Metode yang sama terjadi dengan “Berjalan-jalan”, di mana lagu tersebut digambarkan dengan latar belakang padatnya lalu lintas suara kendaraan bermotor. Sedangkan lagu daerah Bali ini diberikan penghias suara gemercak ombak ditambah gemerincing sesuatu seperti logam, entah apalah namanya.Gemercak ombak dijadikan latar belakang mungkin sebagai wujud Bali yang merupakan wilayah pesisir secara kasatmata.
Menyeberang ke wilayah yang masuk dalam hitungan Waktu Indonesia Barat (WIB), ada lagu dari seniman Pasundan bernama Koko Koswara berjudul “Tjangkurileung”. Olah rasa musik WSATCC dibuka dengan petikan gitar akustik Rio Farabi sebelum Aprilia Apsari melantukan bait pertama yang sama dengan judul lagu tersebut – lengkap dengan ciri sahutan dari masing-masing personil. Menarik untuk disimak bagaimana pada bagian tengah lagu, John Navid bertingkah dua kali dengan drumnya. Pemantik buat Aprimela untuk menampilkan kemahiran suara organ dan membuat panas Saleh mengeluarkan sentuhan melodinya. Secara tidak sadar ternyata tubuh juga sudah mulai mengikuti alunannya.
Dua lagu yang menjadi daftar selanjutnya yaitu “Lembe-Lembe” dan “Te O Rendang O ”– gubahan manis yang diambil dari kepulauan Maluku. Kolaborasi dua melodi gitar Rio Farabi dan Saleh Husein di “Te O Rendang O” membuat hasrat untuk sedikit berjoget timbul, sebelum Ricky Surya Virgana menampilkan kepiawaian bassline-nya di tengah lagu. Manalagi “Lembe-Lembe” menambah kental suasana untuk jangan malu-malu menggerakkan badan (joget) dengan suara perkusinya.
Album ini ditutup manis oleh “Tam Tam Buku”, merupakan lagu pertama yang dikenalkan dari album lagu-lagu daerah. Juga lagu ini merupakan tema permainan yang pada beberapa daerah dikenal dengan penyebutan secara beda, namun mengandung maksud yang sama. Lirik dipunyai pun pendek. WSATCC menyiasati lirik pendek secara variatif, apakah itu dilantunkan dengan menyesuaikan bahasa yang digunakan dari setiap daerah atau dengan lirik yang menjadi cocok untuk kepentingan lagu maupun album, seperti Tam tam buku / ini lagu udeh asik / lagu lama kagak basi / diolah direka lagi. Sekilas nampak seperti pengertian bahwa lagu lama pun bisa menjadi begitu asik dan ajaib ketika direka ulang. Hal unik lainnya ada pada pembagian suara pria dan wanita dengan porsi masing-masing. Sang pria menyanyikan bait tertentu secara berulang begitu pun sang wanita.
Oh iya, ada yang berbeda ketika mendengarkan suara Aprilia Apsari di album ini. Bagaimana suara yang dihasilkannya menjadi lebih tipis dibandingkan semua rilisan WSATCC yang pernah ada. Satu bentuk kekhususan yang sudah dipersiapkan.
Menjadi identik rasanya jika WSATCC merilis album dengan jumlah yang dibatasi. Menambah kesan spesial. Rilisan ini tidak terkecuali. Album diedarkan dengan edisi istimewa berjumlah seribu keping dengan nomor seri 1-1000 lengkap stempelnya. Ornamen lain yang menghiasi kemasan rilisan ini adalah gambar stempel dari Anggun Priambodo kemudian tiga lembar kartu pos serta satu poster ukuran A3 yang dipotret Keke Tumbuan di area Lokananta.
Album ini diproduseri Aradea Barandana, WSATCC, dan David Tarigan yang menggunakan nama Dick Tamimi – nama samaran kegemaran – untuk catatan pembuka album. Sedikit catatan berikutnya, ketika berkunjung ke akun situs soundcloud milik David Tarigan – yang tetap menggunakan nama kegemarannya – terselip “Tam Tam Buku” pada daftar “Radio Kentang’s The Dick Tamimi Show Magic 30, Pt. 2”. Layaknya format radio, lagu diputarkan secara terus-menerus. Seorang teman membisiki bahwa versi lagu yang terdapat pada daftar itu adalah versi Mus D.S. Juga ada versi lain yang dibawakan Orkes Nada Kentjana dalam dialek Sunda berjudul “Trang Trang Kolantrang”. Jangan-jangan proyek ini salah satu keinginan terpendam dari David Tarigan dan mempercayakan kepada WSATCC (?).
Pendengaran pertama pada album yang hanya berdurasi 13 menit ini dinikmati sembari mengangguk-angguk senyum pada renyahnya musik daerah olahan WSATCC. Tetapi ketika sudah memasuki putaran kedua dan seterusnya dari album ini, janganlah ditahan hasrat yang begitu besar untuk berjoget. Album ini terlampau sayang bila dilalui dengan pendengaran yang kelewat serius bahkan sampai bermuram durja. Tidak joget tidak asyik!