HARDCORE ROMANCE TOUR : Tur Pamungkas 9 Kota. Baca Infonya Disini×
Connect with us

Interviews

Zeke Khaseli: “Gue Pengen Bisa Lebih Sadar”

Dipublikasikan

pada

MG_8865Pertama kali keluar dengan alias MU73K3, kini ia nampak sudah lebih yakin dengan keputusannya menjadi seorang solois yang memainkan musik…. –oh maaf, saya tidak akan gegabah berspekulasi memberikan kesimpulan atas genre-nya di sini seperti halnya seorang jurnalis yang sempat menjadi heboh tempo lalu–setelah dengan percaya diri menggunakan nama aslinya saja, Zeke Khaseli. Seorang yang menjadi alasan superband legendaris Zeke and The Popo bernama demikian, yang jika kita mundur lebih jauh lagi kita akan menemukannya sedang bernyanyi untuk sebuah band eksperimental yang terlalu cerdas untuk telinga Indonesia, Lain. Entah alien dari galaksi apa yang telah menculik Zeke dan mengembalikannya setelah–saya yakin–me-re-write otaknya sehingga semakin jauh meninggalkan rata-rata milik kita. Kini ia adalah seorang “Kapten Harimau” bagi satu peleton alien yang dibawanya dari planet Salacca Zalacca. Dengan absurditas natural hibrida Bumi-luar Milky Way mereka seperti sedang mengacungkan jari tengah di depan pakem-pakem logika kita lewat album pertama Salacca Zalacca, Live EP Rolling Like Stupid Stone, hingga album kedua yang baru saja dipersembahkan untuk Bumi, Fell in Love with the Wrong Planet.

Saya sengaja sarapan lebih banyak hari itu, hanya antisipasi agar badan saya lebih imun dari paparan radiasi yang mungkin saja terjadi. Ditemui Senin (30/4) lalu di markas Panglima Polim-nya, Kapten Harimau ternyata begitu ramah dengan menyuguhkan secangkir teh hangat sebelum memulai menjawab banyak keingintahuan saya atas kecintaannya terhadap planet yang salah, mengapa ia membawa para alien dalam aksi panggungnya, dan apakah sebenarnya lirik-lirik lagu seorang Zeke Khaseli adalah misi kebudayaan terselubung planet Salacca Zalaca dalam mempopulerkan bahasa mereka. Tambahan sebelum terlupa, Zeke Khaseli juga seorang penggemar film kelas berat.

Zeke Khaseli, baru saja merilis album penuh kedua, “Fell in Love with the Wrong Planet”. Bisa ceritakan tentang konsep dan makna dari judul album ini sendiri?

Kalo konsepnya album Fell in Love with the Wrong Planet ini memang lagu-lagu yang gue ciptain perminggu kan awalnya, dalam rutinitas weekly download gue itu. Itu kayak ekspresi yang cepet lah, dalam seminggu gue bikin lagu, beres. Tiba-tiba di minggu ke-18 sampai ke-26 kalo gak salah, gue kurang inget persisnya, delapan lagu ini tetep gue lakuin dengan hal yang sama, weekly download itu, cuma gue tiba-tiba sadar gue percaya sama pemikiran dan wacana yang disuarakan oleh The Flaming Lips tentang bagaimana sebenarnya alam itu bukan hanya yang fisik yang kita lihat aja, tapi juga alam dalam diri kita dan ada kemiripan antara alam dalam diri kita dengan alam yang di luar. Jadi gue membuat lagu yang delapan ini dengan in the back of my mind ada pikiran itu, jadi lagu-lagu itu kayak refleksi dari pikiran-pikiran itu.

Dan kenapa Fell in Love? Karena Fell in Love adalah judul lagu di album ini yang kalo dilihat dari keseluruhan lagu di album dan kita cari kemiripannya, lagu ini lah yang paling “tengah-tengah”, kayak bisa nyambung ke lagu ini, nyambung ke lagu itu. Dan si Fell in Love ini lagu yang hampir semuanya ada, kayak repetisi-repetisi dan suara-suara yang bagaimana menyanyi itu bukan kayak menyanyi lagi, tapi lebih seperti teriakan-teriakan. Menurut gue itu adalah interpretasi gue kalo nyanyian alam tuh kayak gitu. Dan itu pilihan gue jadinya.

Apa sebenarnya makna dari ‘The Wrong Planet’ itu sendiri dalam konteks ini?

The Wrong Planet tuh, yang gue bayangin sebenernya kayak… (berpikir sesaat) Kata-kata kuncinya tuh “Dingin”. Maksud gue, di mana badan kita sekarang udah jadi musuh sendiri. Padahal badan tuh gak boleh dimusuhin, kita mesti ikutin kemauan badan kita. Dan menurut gue itu salah satu contohnya, karena “dingin”-nya planet itu. Dan gue merasa kalo kita enggak membebaskan diri kita dengan ngikutin apa kemauan badan kita, gak melihat hal-hal yang natural seperti itu dan gak melihat sekeliling kita, nanti bisa-bisa kita jadi lupa dan planet ini pun jadi “dingin”. Itu yang gue gak mau.

 Jadi Fell in Love with the Wrong Planet itu sebenarnya jatuh cinta lebih dahulu baru kemudian sadar kalau ternyata salah, sudah tahu salah tapi tetap cinta, atau justru kesalahan itu sendiri yang membuat jatuh cinta?

Ini menarik, soalnya kalo ditanya seperti ini…..bentar, gue inget-inget lagunya dulu sedikit (terdiam) hmmm ya gue merasa kalo sekarang kita semua udah berada di sini, dan dengan perubahan-perubahan jaman yang udah sedemikian signifikannya, dan dengan keberadaan kita di planet ini sebenernya apa sih yang bisa kita lakukan untuk bisa tetap memudahkan hidup, menganggap hidup itu ada artinya. Dan gue merasa kalo rasa cinta itu tetap ada. Rasa cinta adalah rasa yang paling kuat untuk kita mengapresiasi sesuatu, terutama hidup kita. Lingkungan kita kayak; keluarga, pekerjaan, komunitas, dan segala kepercayaan kita. Rasa cinta itu ada, dan gue merasa kalo seandainya kita mencintai sesuatu yang sangat sulit untuk dicintai seperti keadaan sekarang yang…..(terdiam). Sebetulnya life itu berat pada intinya, gue gak bilang life itu easy di sini. Jadi gue merasa kita semua tuh berusaha mencintai sesuatu yang sangat berlawanan dan bertolak belakang. Kita butuh enerji alam untuk membantu dan memudahkan kita mengerti semuanya. Itu sih intinya. Sebenernya gue sudah sangat verbal di sini (tertawa) tapi ya memang masih agak sulit untuk dijelaskan semua secara lisan dengan sempurna.

Paska EP Rolling Like Stupid Stone lagu-lagu Zeke kemudian jadi sedikit lebih gelap baik dari lirik ataupun musiknya

Itu ekspresif sih, terutama yang lagu Rolling Like Stupid Stone itu sendiri. Dan di album mungkin ini lagu yang reaksinya cepet banget. Di masa itu, dengan lirik yang gue tulis dengan keadaan yang sebebas-bebasnya, ini juga adalah respon gue terhadap keberadaan gue di komunitas musik kita di mana saat itu gue merasa ada penolakan yang kuat banget dari lingkungan gue.

Terhadap diri lo atau musik lo?

Terhadap musik gue. Sebab yang terjadi adalah ada seorang individu yang gue udah gak mau lagi sebut namanya–udah lama juga sih, udah masa lalu banget untuk jadi masalah–yang dia gak dengerin musik gue tapi bisa bikin review untuk album gue hanya berdasarkan tiga lagu dari tujuh belas lagu yang ada. Menurut gue itu udah gak profesional dan itu yang mengecewakan buat gue. Dan gue sensinya yang langsung ke arah kayak, “gimana nih, bahaya juga komunitas kita kalo kayak gini”. Akhirnya gue refleksi dan gue sadar kalo yang kita butuhkan adalah kritikus di dunia musik untuk menganggap lebih serius lagi musiknya itu sendiri. Soalnya sekarang musik sebagai art itu udah banyak pelakunya cuma yang sebagai kritikusnya itu kurang. Apresiasi yang legal aja gak ada. Kalo di film kan ada FFI, di musik kita tuh apa? AMI gitu? Gak ada! Dulu pernah ada ICEMA tapi itu juga masih dikotak-katik.

Apakah lo masih perduli dengan genre dan lebel-lebel ?

Gak perduli (tertawa). Dari dulu gue percaya musik itu art, bukan masalah lebel. Soalnya yang biasa memberi lebel itu kritikus dan menurut gue kritikus butuh lebel hanya untuk membandingkan dan memudahkan mereka. Musik itu ekspresi, bukan masalah lebel atau genre. Justru genre itu…..wah panjang banget kalo gue curhat tentang genre di sini. Soalnya dari dulu band-band lama gue band genre semua dan sekarang gue pengen banget mecahin tradisionalitas genre itu. Istilahnya buat gue, kalo lo mau pengen ngomong sesuatu tentang ibu lo, gue mau ngomong tentang ibu gue dan kita jadiin lagu, yaudah selesai. Karena kita lagi ngomongin ibu kita, bukan pop, rock, jazz. Itu semua cuma kemasan dan taste musik kita aja.

Kembali ke album kedua, liriknya secara garis besar masih sama membingungkannya dengan rilisan-rilisan sebelumnya. Apa lirik-lirik Zeke selama ini memang hanya untuk bersenang-senang atau sebenarnya adalah metafora-metafora pada level yang lebih kompleks?

Gue sebagai pemusik dan seniman pengennya bisa lebih sadar. Jujur, gue pengen bisa lebih sadar akan apa yang gue bikin. Tapi semua yang gue bikin itu rata-rata spontan. Jadi kadang-kadang pemikiran gue tuh, okelah ada konsep tapi begitu gue bikin sesuatu itu…..tapi beda-beda sih tiap lagu. Ada lagu kayak Rolling Like Stupid Stone itu menurut gue cukup banyak yang jelas (liriknya) walalupun tetep agak susah dibacanya karena memang personal banget, yang mungkin lo harus kenal gue dulu. Kayak bikin film kan gitu. Tapi gue berusaha untuk jujur sih pada dasarnya. Tapi bukan juga maksud gue untuk nge-grab komunikasi yang banyak orang bisa denger, tapi yang buat gue juga jelas. Kadang gue pengen clear. Tapi dalam ini semua gue percaya sama sesuatu di kepala gue yang bilang “oke Zeke lo begini aja gapapa kok”, gue nurut sama sense gue sendiri. Dan di musik ini yang terjadi tuh kayak kembang api aja gitu, “cess, cess, cess”, gue pengen tulis, gue tulis , gue tulis, gue tulis, jadinya ya kayak gitu. Jadi kadang ada sesuatu yang gue maksud, tapi mungkin gue sendiri pun butuh…… (terdiam).

Yang hanya lo sendiri yang mengerti ya? Metafora-metafora untuk diri lo sendiri

Sebetulnya gak gitu juga sih tapi mungkin untuk sekarang ini masih cenderung ke arah situ. Tapi untuk ke depannya gue pengen, selayaknya yang selama ini juga gue masih terus coba, usaha gue sebenarnya adalah untuk meng-clear-kan dari segala yang agak memusingkan, kode-kode itu.

Jadi sebenarnya lo juga memang berusaha untuk lebih “menjernihkan” lirik-lirik lo?

Iya, menjernihkan. Dan lucunya itu di medium musik kita bisa secuek itu dalam nulis lirik. Tapi kayak gue sekarang pengen bikin teater misalnya, begitu lo nulis dialog, plot, sinopsis, atau skrip di medium film tuh jadi seni yang lebih kompleks lagi dan menantang. Tapi kembali lagi dasarnya itu semua emang ekspresi sih, dan gue gak mau mencoba merefleksikan sesuatu yang bukan “diri” gue.

Tapi dalam menulis lagu dan lirik apakah pernah bertemu kompromi tentang apakah pendengar akan mengerti atau tidak?

Itu cuma berapa persen banget. Soalnya mediumnya medium musik, medium song, dan buat gue medium song itu kayak “ada sesuatu sih, tapi gue gak mau menjelaskan. Itu udah jadi lagunya, lo tinggal dengerin aja”. Dan pengalaman gue selama ini bikin musik, gue gak pernah punya produser dan label, gue selalu bikin musik di kamar sendirian sampe sekarang. Jadi gak ada yang pernah ngasih gue masukan tentang apapun. Akhirnya gue sendiri yang merasa gue perlu menjernihkan lagu-lagu gue.

Taufiq Rahman di Jakartabeat.net menuliskan segala keanehan lirik dan tampilan visual live act dari seorang Zeke Khaseli adalah seperti sebuah perlawanan dalam artian bahwa sebenarnya makna terbesar dari semua itu adalah ketiadaan makna itu sendiri. Apakah benar demikian?

(tertawa) Ini menarik juga, soalnya kalo ngomongin rebel, jujur semua berawal dari album Salacca Zalacca di mana gue untuk pertama kalinya nulis lirik yang beda banget dari Zeke and The Popo, LAIN, Mantra dan proyek-proyek gue sebelumnya. Gue pengen ungkapin sesuatu dengan bahasa sehari-hari, rebel gue masih sebatas itu. Gue mau ngomong sesuatu tapi gue mau ngomongnya dengan bahasa kalo gue ngobrol langsung sama lo, gue gak mau diperbagus atau diperindah. Gitu lah intinya.

Terus kalo tentang live act, belakangan gue lagi bener-bener gak mau lepas topeng, even kayak sekarang ini, karena gue mau membuat “kita” ini jadi sebuah kelompok, bukan satu orang doang. Dan konser kemarin pun bukan konser gue, tapi konser “kita”. Memang lagunya gue semua yang buat, gue semua yang main instrumen, tapi begitu udah dibawain live gue maunya semua tuh semangatnya sama kaya gue untuk ngebawainnya sebagai lagu “kita”. Dan setelah konser kemarin pun udah kayak gak ada beban lagi sih, gak ada energi negatif. Semua seneng dan tercapailah tujuan gue di situ, “kita bersama” dan kita “come together”.

Terus kalo mengenai makna-maknanya, dengan keterbatasan pengetahuan gue tentang makna-makna lagu gue sendiri ya (tertawa), kayak kemarin sebelum konser gue ngomong sama Yacko, “Boylien lagu tentang keterasingan. Liriknya begini, bla bla bla, itu kode-kode lah intinya, lo interpretasi sendiri aja”. Akhirnya dia bikin bagian rap-nya dia sendiri, mengartikannya dengan bahasa dia, dengan pikiran dia dan…..yaudah! Saat latihan pun gue hampir ke semuanya sama-sama mempelajari makna-makna dari lagu-lagu gue (tertawa). Soalnya pas gue bikin lagunya permingguan itu kan cepet banget, kadang gue kayak cuma nulis apapun yang gue pikirin dan karena memang flow-nya seperti itu. Jadi memang belum bisa kebaca segampang itu, tapi ya usaha gue sekarang ini adalah sedang berusaha menjernihkan itu semua.

Kalo ditanya apakah gue ini mau rebel atau perlawanan atau apalah itu, gue merasa kalau dalam sebuah ekspresi memang seharusnya jelas. Bukan kita harus mengkurasikan art-nya, tapi dalam menyampaikannya pun harus ada teknik dan maksudnya, bukan hanya sekedar begitu saja. Jadi begitu dibilang ada “keabsenan makna itu sendiri” gue merasa kalo gue gak seanarkis itu juga sih. Tapi, kalo dinterpretasikan orang lain seperti itu gue pun juga gak ngerti kenapa. Entah itu jadinya positif atau negatif, walaupun sebenernya buat gue rasanya itu malah negatif. Tapi bener deh, semua ini gue bikin dengan perasaan, bukan hanya “gitu aja”. Cuma memang pembacaannya dan pengertiannya yang butuh waktu dan dari pihak gue-nya pun gue butuh ketenangan dan kesabaran untuk bisa bikin sesuatu yang akhirnya kebentuk jelas. Ini proses, karena gue tau gue mau dan harus ke mana.

Merilis lagu tiap minggu untuk kemudian membagikannya secara gratis dan akhirmya dijadikan sebuah album, apakah ini sekali lagi juga merupakan bentuk perlawanan Zeke Khaseli terhadap industri?

Weekly download itu bener-bener spontan sih buat gue tanpa ada pemikiran yang gimana-gimana. Murni kegiatan yang spontan hanya karena gue bisa untuk melakukan itu. Gue punya laptop, gue punya controller, gue merasa gue bisa nyanyi walaupun gak bagus tapi cukuplah untuk nyanyi dan akhirnya ini jadi kayak sekolah gue sendiri untuk mendisiplinkan diri gue untuk terus menghasilkan sesuatu yang tapi tetep spontan juga, mencoba cara yang belum pernah dicoba orang lain, dan ya itu tadi berusaha meluruskan bahasa-bahasa gue. Gue juga suka nulis jurnal mimpi-mimpi gue tiap tidur yang gue merasa sayang kalo gak dijadiin lagu. Kayak sekarang semenjak gue sibuk dengan kegiatan persiapan album kedua ini, gue udah ninggalin berapa banyak mimpi nih. Gue suka nulis lagu tentang mimpi gue dan dari sebulan-dua bulan yang lalu udah ketinggalan nih mimpi-mimpi gue. Di catatan ada sih, tapi belom sempet gue jadiin lagu.

Pas udah jalan ke minggu kelima atau enam gue udah mulai merasa, “gila ya nih kalo waktu berjalan terus kita gak manfaatin waktu untuk melakukan hal kayak gini sayang juga”. Tiba-tiba ditawarin Harlan Bin untuk dijadiin album dengan Jangan Marah Records waktu itu, entah gimana gue merasa kalo ini bener juga sih. Jadi ada archive, jadi ada sesuatu yang berbentuk fisiknya. Walaupun sejujurnya waktu itu gue juga kayak setengah-setengah; ragu mau terima atau enggak.

Dan setelah gue ngobrol nanya pendapat teman-teman terdekat gue akhirnya gue putuskan untuk jalan terus. Setelah sibuk konser kemarin pun, gue udah mulai “kangen” bikin mingguan lagi, gue kayaknya gak bisa kalo sehari tanpa ngapa-ngapain. Hari ini pun sebenernya gue udah janji mau mulai mingguan lagi, masuk minggu ke-39. Terus ada juga rasa kayak, “gimana ya kalo sampe umur 70an kayak si Woody Allen gitu dan rutinitas mingguan gue ini tetep jalan terus, berapa lagu ya yang bisa gue buat dalam hidup gue”.

Gue pengen ngerasain kalo di dalem hidup gue, gue bisa ngehasilin musik dengan jumlah sebanyak itu, ada jumlah minimal tertentu juga yang gue pikirin. Dan pas nanti gue liat ke belakang, pas gue denger lagi lagu-lagu lama gue, “pas bikin lagu ini gue lagi mikir apa ya. Seru kan?”

Gue pernah beberapa saat berhenti, dan ada temen gue namanya Tumpal bilang gini ke gue, “Kalo lo berhenti sayang banget, Zeke. Kalo lo nanti mati dalam keadaan lagi bikin lagu, itu keren banget. Karena lo mati dalam keadaan sedang melakukan hal yang bener-bener lo cintai.” Bener sih, dan memang personal banget kan.

Sebelumnya lo sempat tergabung dalam Zeke and The Popo dan LAIN yang mana keduanya merupakan superband dengan banyak “mastermind”. Apakah saat berada dalam posisi itu memang tidak senyaman saat menjadi “the only mastermind” seperti sekarang ini?

Gue jujur ya, gue di band tuh selalu ngerasanya kayak…..seandainya gue punya ide nih, gue agak ragu untuk ngasih liat ide gue itu. Karena ide gue selalu yang gak ngetop di antara personel yang lain saat itu. Tiba-tiba ide gue mau yang lain, yang jauh banget dari yang lagi dibahas, yang lagi mau dilakuin. Harusnya dulu gue bisa nge-handle ini lebih baik, mestinya gue bisa lebih ngomong, “Eh kita tuh bukan pemusik yang biasa aja, kita tuh main musik bukan dipergunakan musik, tapi kita yang menggunakan musik. Maksudnya, kita gak usah terpaku sama genre.” Jadi apapun yang kita buat, ya keluarnya kayak gitu, yaudah keluarin aja gak usah disensor, gak usah dipikir “Harusnya gak begini Zeke and The Popo, seharusnya LAIN gak begini.” Karena, patokan-patokan itu lah yang berarti genre menurut gue. Jadi gue bakalan bilang, “Aduh udah deh kalo lo ngomongin genre sama gue, gue udah males deh, gue gak setuju sama pendapat lo.” Dan sayangnya di waktu itu gak ada komunikasi dari gue untuk lebih memahami permasalahannya dan untuk duduk ngomong sama mereka “Kita tuh gak boleh gini.” Soalnya setiap gue punya ide yang beda itu selalu gak sesuai dengan genre-nya. Nah dulu problem-nya gitu dan waktu itu rasanya beban banget buat gue. Selalu kompromi, kompromi, kompromi yang padahal seharusnya gak boleh ada, seharusnya kita bisa ngomong sebebas-bebasnya, kita cari solusinya bersama. Ini kalo kita ngomongin secara musiknya ya, bukan personal. Karena kalo secara personal sampe sekarang kita semua masih temen baik-baik aja.

Mungkin itu alasan yang menyebabkan kenapa akhirnya lo hanya menghasilkan satu album dari kedua band itu tanpa pernah ada rilisan apapun berikutnya, karena lo juga pernah bilang kalau lo tidak bisa terjebak dalam satu musik. Tapi sekarang, dengan format seperti ini lo malah sudah merilis dua album dan satu EP

Ya sebenarnya gue juga udah agak stuck dengan yang sekarang ini, gue emang mau ganti lagi sih. Jadi kayak di album ketiga nanti, preview-preview-nya udah ada dan gue akan rubah, gue akan ancurin tuh lagu-lagunya, dan gue juga akan kolaborasikan sama temen-temen. Karena gue lagi nikmatin banget yang namanya proses ngobrol sama pemusik lain, kayak gue akan minta ide untuk “mau diapain nih lagu gue.” Tapi ini akan perlagu. Jadi untuk album ketiga, karena gue sekarang juga udah ada produser, gue akan bikin studio album mulai sekarang. Album ketiga dan selanjutnya gue akan bikin studio album sih kayaknya. Album satu dan dua ini buat gue udah cukup lah yang gue bikin lagu sendirian di kamar. Tapi bukan berarti nanti gua gak akan kembali gini lagi, tetep mungkin aja. Tapi album ketiga ini gue gak mau plan terlalu jauh ke depan, cuma yang pasti album ketiga akan direkam di studio.

Sebenernya gue juga pengen bikin film sih, dan gue udah batasin nih album ketiga sekian, terus album keempat dan seterusnya akan jadi mainan gue untuk cerita-cerita gue nanti. Entah itu jadinya film atau teater.

Gue juga banyak menangkap judul-judul dan isi lirik lagu lo banyak yang berhubungan dengan film. Edwin Mau ke Belanda (Edwin, Sutradara), Warna Almadovar (Pedro Almodóvar, Sutradara), Jules et Jim (Film, 1962), Enter the Spider (Enter the Void, film, 2009), dll. Sebenarnya sejauh mana kah sisi kefilman lo mempengaruhi sisi musikal lo?

Gue background-nya memang sekolah film dan gue lebih banyak ngomong tentang art tuh sama orang film dibanding sama orang musik. Jadi, bagaimana mengekspresikan dengan film tuh, kayak bagaimana menanamkan informasi di suatu cerita, tentang arti-arti dari segala pemilihan, gue memang lebih banyak belajar dari film sih. Kode-kode dalam lirik gue itu gue banyak belajar dari film dan dari jaman Zeke and The Popo juga gue udah sering kolaborasi untuk ngisi musik film-filmnya Joko Anwar. Dan selama itu gue juga berpikir dengan visual di lagu-lagunya kayak Hope Killer misalnya.

Jadi dalam membuat lagu itu lo lebih banyak membayangkannya dahulu dalam bentuk scene film?

Iya, ada beginning, ada middle, ada ending, kayak skrip. Kayak waktu pas sama Mantra itu sangat film banget karena bahkan di liriknya ada dialog-dialognya. Tapi semakin ke sini gue percaya kalo film atau musik itu hanyalah bentuk mediumnya aja, yang penting apa yang gue pengen sampein. Kemarin gue juga jadi juri FFI, gue nonton 40-something film Indonesia dan mulai mempelajari vocabulary bahasa film kita, gimana orang kita kalo ngomongin film. Ya jadi intinya persaaan sih. Kalo lo buat sesuatu pake perasaan, pake hati, lo jujur, maka akan terasa seninya dari film itu. Kalo terlalu dipikirin jadinya tidak bisa seperti itu. Dan musik pun begitu. Gue mentransfer hal-hal ini dari film ke musik karena biasanya film itu ada karakternya, tinggal gimana si karakter ini bisa jadi perwakilan daripada penonton atau pendengar untuk….. tapi yang masih memperhatikan lirik ya, untuk terbawa si karakter itu. Jadi apa yang dirasain sama si karakter itu dirasain sama orang lain juga. Itu sih intinya, empati. Film kan memang tentang empati kan.

Jika nanti akhirnya lo sudah mulai membuat film, apakah lo mau dikenal sebagai seorang Zeke yang sama sebagai Zeke yang di musik atau tidak? Apa itu nanti seperti, “Zeke yang di film tidak sama dengan Zeke yang di musik.”

Kalo di film, kita harus mengerti secara keseluruhan, ada planning-planning. Hal yang spontan tuh bisa tapi presentasenya sangat kecil. Lebih banyak di planning dulu, ada grandmaster planning lah, skripnya harus mateng dan segalam macem. Jadi gue kalo bikin seperti itu sendirian kayaknya agak susah di film. Mungkin film gue akan lama di planning jadinya dan gue butuh bantuan orang lain yang tetep gue kontrol kayak di musik pun begitu, di mana kontrol penuhnya lebih banyak di gue. Terus gue juga akan lebih deal with human emotion sih, lebih ke drama. Yang pasti rasanya untuk saat ini gue gak pengen film yang terlalu banyak puzzle-puzzle yang harus lo terjemahin dulu untuk ngertiin ceritanya. Gue pengen bikin sesuatu yang simple sih intinya, dan dalam usaha gue untuk “meng-clear-kan” karya-karya gue kayaknya di film ini nanti bakal yang paling clear lah.

Berarti mungkin jadinya beda sama Zeke yang di musik sekarang, jadi ya Zeke masih sama tapi jadi seperti berevolusi. Tapi yang pasti akan tetep terus spontan, karena gue bener-bener mempertahankan jiwa spontanitas itu. Bisa jadi nanti malah teater bukan film. Tapi karena gue pernah sekolah film, mengerti teknisnya dan punya kemampuan, gue jadi pengen bikin film dengan menghilangkan semua teknis itu.

Gue pengen ngerjain secara pake feeling dan teknik itu sendiri jadi bagian dari diri gue. Jadi dari ilmu dan teknik-teknik yang udah gue dapet, semua gue improve lagi sendiri untuk menjadi sesuatu yang “style gue”. Karena sebenarnya teknik adalah memori yang kita dapet dari pengalaman, dibanding memori yang kita pelajari. Dan saat gue melakukannya nanti, itu tekniknya akan dateng sendiri. Pasti gue juga akan ada kesalahan-kesalahan tapi bagaimanapun itu ya itu lah “teknik” gue. Karena sekali lagi, kalo teknik lo salah, gapapa! Lo manggung gitar lo feedback tuh gak masalah! Yang penting saat lo menyampaikannya energi lo tuh bisa kayak menyatu dengan alam, badan lo bergerak bener-bener karena mendengar suara beat, kayak udah bukan mau keren lagi, tapi ya memang karena sudah trance.

Dan buat gue di film problem-nya tuh momen. Lo gak punya lagi momen saat fillm itu udah jadi. Pas film lo jadi, udah, harusnya lo gak perlu nonton lagi filmnya. Ya oke lah lo nonton sekali, tapi gak usah nonton lagi. Soalnya udah gak ada excitement-nya lagi, momennya udah lewat. Momen lo tuh pas lagi buat, pas lagi hari-hari syutingnya, sama pas lagi persiapan. Nah kalo di musik, lo manggung itu lah momen yang ada buat lo, ada privilege moment lo. Saat lo manggung dan ngerasain trance itu tadi ya itulah privilege moment lo. Dan ini bisa lo ulangin lagi saat besoknya lo manggung lagi. Ini yang di film gak ada.

Jadi esensi dari lo membuat sesuatu apakah hanya mengikuti naluri dan intuisi lo atas nama diri lo sendiri saja, atau sebenarnya lo memang ingin mem-present sesuatu untuk orang lain?

Sebenernya ini berhubungan, kalo ngomongin musik ya. Musik itu udah jadi pas gue buat di kamar dan di situ udah ada sesuatu yang ingin gue sampaikan. Nah pas gue manggung, gue gak mau mengkurasikan lagu gue dulu, gue akan ngomong sedikit tentang lagu gue mungkin tapi gue gak akan terlalu panjang lebar. Begitu pas gue nyanyi, gue udah lepas, gue udah gak pengen merepresentasikan ini sebagai sesuatu yang ingin dijelaskan ke orang lain. Sebenarnya ini beban banget juga sih, ini bikin gue mikir banget. Karena sampe sekarang gue nggak sampe yang “gak gitu doang juga” dan ini susah sekali. Karena masalahnya adalah, begitu lo gak dimengerti orang lain pasti ada perasaan sedih, sedih yang dalem loh by the way. Soalnya gue gak secuek yang orang bayangkan kok. Gue tetep ada ekspresi yang pengen gue sampein yang kadang-kadang sangat menyedihkan kalo gak nyampe ke orang. Gue gak akan menurunkan standar gue, tapi gue akan memikirkan lagi caranya bagaimana biar bisa lebih nyampe. Walaupun ternyata nanti gagal, selama gue masih membuat itu dengan jujur buat gue gak masalah. Karena yang paling penting adalah jujurnya.

Tulisan: Daffa Andika

Foto: Zaka Sandra Novian

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *