New Albums
Barasuara Berserah Diri di Album Ketiga yang Eklektik, Jalaran Sadrah
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2024/06/Barasuara.jpg&description=Barasuara Berserah Diri di Album Ketiga yang Eklektik, Jalaran Sadrah', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
Dari dalam gelap kadang lahirlah sesuatu yang terang, dan itulah yang dialami Barasuara di album ketiganya. Dirilis sendiri oleh Barasuara melalui Hu Shah Records ke platform-platform musik digital pada 21 Juni 2024, Jalaran Sadrah berisi sembilan karya terbaru band asal Jakarta tersebut termasuk tiga lagu yang sudah duluan dirilis sebagai single, yakni “Terbuang dalam Waktu”, “Merayakan Fana”, serta “Fatalis” yang memenangkan piala AMI Awards 2023 untuk kategori Duo/Grup/Kolaborasi Rock Terbaik.
“Jalaran Sadrah artinya karena pasrah. Album ini terjadi, tertulis, terselesaikan karena pasrah,” kata vokalis dan gitaris Iga Massardi tentang koleksi tembang ketiganya bersama TJ Kusuma (gitar), Marco Steffiano (drum), Asteriska (vokal), Gerald Situmorang (bas) dan Puti Chitara (vokal). “Kita pasrah dalam ketidakberdayaan. Dalam keputusasaan, dalam lemah dan kecilnya peran kita sebagai manusia yang akhirnya hanya bisa menerima takdir dan jalan-Nya.”
Proses pembuatan Jalaran Sadrah berawal pada Januari 2021. Dalam keadaan sudah tanpa manajer maupun perusahaan rekaman dan menuju satu tahun dirongrong pandemi, keenam anggota Barasuara berkumpul selama seminggu di sebuah vila di Puncak, Bogor untuk konsolidasi sebagai band serta menulis lagu baru dari nol maupun mengembangkan materi yang dibawa dari rumah. Dari sana, berlanjutlah proses penulisan lagu serta bongkar pasang aransemen dan rekaman yang berlangsung secara berkala hingga awal 2024 di berbagai studio di Jakarta, termasuk di kantor Barasuara serta kediaman Iga, Marco, Gerald dan TJ.
Sementara itu, lirik di Jalaran Sadrah yang mayoritas masih ditulis oleh Iga tampak jelas terdampak oleh berbagai hal kelam yang terjadi belakangan ini, seperti “Fatalis” yang mengecam disinformasi yang merebak kala korban berjatuhan di masa pandemi, serta “Habis Terang” yang menanggapi pembunuhan massal yang dilakukan Israel terhadap Palestina. “Lagu-lagu di album ini banyak menceritakan tentang kematian dalam persepsi yang beragam. Ada yang merayakan, ada yang sinis, ada yang apatis, ada yang kontemplatif. Lalu ada juga lagu yang menceritakan tentang kepulangan rasa terhadap cinta yang sejati. Secara garis besar, banyak tema yang berkaitan tentang proses hidup, lahir dan menjalankannya.”
Hasilnya adalah album Barasuara yang paling eklektik sejauh ini dengan berbagai hal yang baru yang turut memberi warna. Di antara hal-hal baru tersebut adalah terlibatnya dua musisi legendaris, yakni Erwin Gutawa yang merangkai aransemen orkestra untuk “Merayakan Fana”, “Terbuang dalam Waktu” dan “Hitam dan Biru” yang dieksekusi dengan megah oleh Czech Symphony Orchestra;serta Sujiwo Tejo yang menyumbang nyanyisyahdu berbahasa Jawa ke lagu “Biyang” yang adem. Variasi penciptaan lagu pun menjadi hal baru bagi Barasuara, sekaligus menunjukkan rasa saling percaya yang sudah terbangun selama satu dekade lebih. “Ini album yang paling kolektif pengerjaannya, karena kami sudah sama-sama saling percaya dan tahu warna masing-masing,” kata Gerald. Di samping peran Gerald yang semakin besar dalam menggubah musik
Barasuara, “Hitam dan Biru” yang menggugah semangat merupakan komposisi Puti, sedangkan Asteriska menyumbang lirik yang lembut untuk “Biyang” dan “Terbuang dalam Waktu”. Namun apa pun elemen baru yang dimasukkan ke ramuannya, perpaduan vokal Iga, Asteriska dan Puti, kombinasi gitar Iga dan TJ, dentuman bas Gerald serta pukulan drum dinamis oleh Marco akan tetap membuatnya terdengar seperti Barasuara, baik itu lagu epik penuh lika-liku berdurasi enam menit lebih macam “Antea” maupun lagu rock yang relatif simpel seperti “Etalase” dan “Manusia (Sumarah)”. Gerald menyimpulkan, “Dengan isiannya masing-masing, memang itu yang bikin bunyinya Barasuara.”
Secara keseluruhan, Jalaran Sadrah – yang disebut sebagai “kegilaan yang berujung damai” oleh Marco dan “terjang badai bertemu pelangi” oleh Puti – adalah pertanda bahwa api dan lentera Barasuara masih menyala setelah berjalan 12 tahun dan belum padam walau terhadang berbagai cobaan. “Album ini menyenangkan, lepas dan memuaskan, walau ada rasa tidak nyaman akibat situasi pandemi yang sangat memusingkan waktu itu,” kata TJ. Asteriska menambahkan, “Album ini bentuk saling menerima, mendukung dan mempertahankan, serta bukti bahwa Barasuara masih bisa berdiri kuat walau diterpa badai.”
Sehabis gelap yang dialami Barasuara secara individu maupun kolektif selama beberapa tahun terakhir, ternyata ada juga terang berupa Jalaran Sadrah yang kini sudah bisa dinikmati para penggemar mereka yang dinamakan Penunggang Badai maupun siapa pun yang ingin menyimak sebuah band Indonesia yang masih sangat layak diperhitungkan. “Jalaran Sadrah adalah bentuk persembahan kami untuk para pendengar,” kata Iga. “Tanpa ada itikad menggurui atau merasa lebih besar, album ini kami serahkan sepenuhnya untuk mereka nikmati dan maknai dengan caranya masing-masing.”