Gig Review
Dawai Angin Senja: Pertunjukan Apresiasi Sejarah
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2014/09/MARCHO-MARCE4.jpg&description=Dawai Angin Senja: Pertunjukan Apresiasi Sejarah', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
Suasana senja yang cukup panas, waktu menunjukan pukul empat sore di museum Layang-Layang ketika semua persiapan akhir para penampil selesai. Tepat satu jam setelahnya, gate entrance terbuka, pengunjung mulai berdatangan. Para penampil menyambut mereka dengan hangat, sebuah pemandangan yang jarang terjadi, ketika artist dan penonton bisa membaur satu sama lain.
Penonton pun terkesan dengan Museum Layang-Layang. Berada di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, museum ini menyimpan hampir beragam jenis layang-layang yang ada di Indonesia dari jaman ke jaman. Desain gaya Jawa menghiasi setiap sudut ruangan museum ini. Tepat jam 7 malam, acara dimulai dengan duo saksofon dan gitaris yang bernaung di bawah nama SAY. Menyimak duo ini, aura humor tercipta.
Selain melemparkan musik akustik minimalisnya, mereka juga melontarkan guyonan-guyonan yang polos. Tri Junior tampil kedua. Solois yang juga gitaris membius penonton yang berada di pendopo museum dengan lagu-lagunya yang mendayu, salah satunya adalah “The Sweetest Goodbye”, hit andalanya.
Sebagai penampil ketiga adalah Traya, duo bas dan vokal ini tampil menghangatkan suasana. Adalah duo Aiyu (vokal) dan Iyus (bas) yang malam itu ditemani dua additional player menghibur penonton di museum layang-layang dengan lagu-lagunya yang dirilis oleh Seven Music.
Di nomor “Something Bigger”, rapper The Law muncul menemani Traya mengisi part rap di lagu itu. Jam sembilan malam, kemeriahan dan keintiman acara belum redup. Penampil penutup, Marcho Marche yang terdiri dari duo Duta dan Nana menghibur penonton dengan kepiawaiannya bermain ukulele dan gitar.
Nomor-nomor mendayu retro khas mereka membawa penonton ke mesin waktu ketika lagu-lagu Sam Saimun atau Bing Slamet diperdengarkan di tempat-tempat pertunjukan di kawasan kota lama. Usai Marcho Marche, rangkaian Dawai Angin Senja ditutup dengan saling berkumpul bersama semua penampil dengan penonton, saling bersalaman, sebagai ucapan tanda terimakasih atas energi dan keintiman yang terjadi di acara ini.
“Sungguh pemandangan yang sangat menarik.” ujar Mia, salah satu penonton yang hadir disana. Senada dengan Mia, Asri pun terkesan dengan performance juga tempat acara digelar. “Acara-acara out of the box seperti ini harus sering dilakukan dan jangan keseringan di cafe, buktinya museum lebih menarik,” ujarnya.
Tiga orang penggagas hajatan ini yakni Iyus (Traya), Duta (Marcho Marche) dan Kelly (Tri Junior) berterima kasih kepada penonton, “Elemen – elemen atas keintiman di stage, kedekatan antara audience dan performer serta pemilihan venue di museum adalah sesuatu yang ingin kita munculkan ke masyarakat.”
Wahyu Sobi, sang ketua juga memberi kesan tersendiri, “Sudah saatnya kita bermusik di tempat-tempat bersejarah, agar kita sendiri dan masyarakat sadar, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai nilai-nilai historis negara nya dan mencintai serta melanjutkan apa yang telah pendahulu-pendahulu kita lakukan, dan musik adalah salah satu jembatan nya.”
Adapun usai di museum Layang Layang ini, Dawai Angin Senja ini akan dibuat tur keliling museum yang ada di area Jabodetabek.