Linkin Park : FROM ZERO WORLD TOUR 2025 Baca Infonya Disini×
Connect with us

Interviews

Interview Bersama Sajama Cut

Diterbitkan

pada

Oleh

sajamacut

Source: Official Facebook Sajama Cut

“Hai, kita Phantom Leopards. Ini panggung pertama kita,”

Ini—rangkaian acara Pop-up Gigs yang dilaksanakan di EcoBar, Kemang hari Selasa (28/10) silam—bukanlah panggung pertama mereka. Sejak dirilisnya lagu Less Afraid pada tahun 2004, Phantom Leopards atau Sajama Cut sudah merilis 3 LP, 1 album-remix dan beberapa EP. Dengan C.V. seperti ini, Sajama Cut bisa dianggap sebagai kontemporari di kancah musik Indonesia—masih tanggung untuk menjadi legenda, tapi sudah sempat menyematkan sebuah nama (dan nama Phantom Leopards).

Tapi sudah sampai dimana Sajama Cut? Dengan karir selama lebih dari 10 tahun, banyak yang berani bertaruh kalau mereka sudah berjalan jauh. Album keempat yang akan dirilis band asal Jakarta yang beranggotakan Marcel (vokal/gitar), Dion (gitar), Randi (keyboard), Anes (bas) dan Banu (drum) merupakan buah hasil dari pengalaman. Pengalaman yang berkembang terus, tentunya. Sajama Cut versi 2014 menghasilkan lirik-lirik yang lebih bernuansa familial, musikalitas yang kian progresif dan perubahan-perubahan lain yang bukan tanggung jawab siapapun lagi kecuali zaman.

Bertempat di EcoBar sebelum dan sesudah penampilan Sajama Cut, wawancara ini membahas perubahan-perubahan apa saja yang dapat terdengar di album ke-empat; musik pop dan tema kekeluargaan dalam lirik Sajama Cut.

Banyak artis yang termakan sama tekanan saat pembuatan sebuah album. Ketika menemukan suatu eureka moment seperti, ‘anjing bagus banget nih riff,’ banyak yang cenderung takut untuk mengulangnya kembali. Apakah proses pembuatan album nomor 4 semelelahkan itu?

Marcel: Melelahkan iya sih. Soalnya makan waktu 4 tahun. Karena kita ngerjainnya remote—jadi ada yang disini ada yang disana; beda-beda studio.

Dion: Ada proses belajar lagi. Lebih ke teknis sih. Jadi pada belajar teknis.

M: Kita recording nya ga ada sound engineer. Ini kan self-produced. Dari situ sendiri, otomatis, masalah-masalah teknisnya banyak—disitu sih melelahkannya.

Terasa sebanding kah prosesnya dengan saat dimana fans lama maupun baru mendengarkan album tersebut?

D: Sebanding sih. Soalnya album ini apa yang kita mau banget juga. Jadi, tiap personilnya itu ngasih semua yang apa yang dia mau gitu. Jadi mantep lebih demokratis daripada album-album sebelumnya.

Pembuatan album keempat kebetulan berbarengan dengan rilisan-rilisan side project(s) dari Marcel [Roman Catholic Skulls, Strange Mountain]. Ada tidak pengaruhnya terhadap corak suara album keempat?

M: Pasti ada sih. Tapi mungkin ga secara musikal ya. Soalnya, Sajama Cut yang pertama kan nulis album ini kan masih gue, jadi approach melodinya sih ada—sama—tapi mungkin ga kedengaran langsung sih. Itu (Strange Mountain) kan band yang lebih ambience-driven. Bukan yang orang bisa langsung denger sih, tapi sonic qualitynya ada.

Belakangan, banyak—termasuk kalian sendiri—yang bilang kalau album keempat akan lebih ‘kolaboratif.’ Apa itu keputusan lo, Marcel, sebagai primary songwriter buat melepas kontrol atau ada dorongan yang lain?

M: Sebenernya sih dari dulu itu yang gue inginkan dari band. Kalo ngga ya gue kerjain aja semua sendiri. Jadi emang, gue punya band, gue pengennya konsepnya ‘band’, dimana gabungan suara-suara ini—gabungan beberapa individu lah—dimana mungkin benihnya dari gue, tapi hasilnya ga ketebak. Kalo misalnya gue kerjain sendiri, hasil akhirnya kebayang lah. Dan lagu-lagu ini pun sebenernya kebayang di kepala gue—kayak ginilah kira-kira—tapi hasil akhirnya suka beda sama sekali. Lebih ke sesuatu yang gue inginkan.

Di salah satu wawancara, kalian menyatakan kalau album keempat paling sedikit mengandung unsur popnya.

M: Menurut gue sih. Soalnya lagu-lagu pop sendiri gue ga enjoy sih terus terang. Gue lebih enjoy mendengarkan lagu-lagu pop dibanding membuat atau menyanyikan lagu pop. Tapi setidaknya untuk sekarang. Dan apalagi buat gue Manimal [album ketiga Sajama Cut] itu pop banget. Jadi ini (pop) adalah sesuatu yang sengaja gue minimalin di album ini atau apus sama sekali.

Jadi menurut Sajama Cut sendiri, apa itu pop?

D: Sesuatu yang melodius.
Rendi: Easy listening.
M: Sesuatu yang langsung. Jadi waktu lo denger, “Oke nih.” Sedangkan gue maunya album ini sedikit lebih: Lo denger sekali kayak, “Nih apa sih?” Dua kali lah lumayan, tiga kali “Oh gue nangkep,” dan empat kali lo nyangkut

D: Kebetulan [album] ini gabungan dari ide-ide masing-masing personil. Jadi, kalo pop gitu aneh banget sebenernya. Karena kebanyakan dari opini-opini dari masing-masing basic bermusiknya tuh keluar. Kayaknya, dari beberapa unsur itu, untuk jadi pop juga jauh sih. Mungkin lebih ke eksperimental sih.

M: Meskipun lagu dasarnya pop pun, akhirnya ngga juga.

Kalian tidak khawatir kalau musik ‘eksperimental’ ini akan mengalienasi fans kalian?

M: Gue rasa fans Sajama Cut juga fans music banget lah.
D: Kita walaupun manggung pake nama Phantom Leopards (kayak gini) nih sekarang, Sajama Kids [sebutan penggemar Sajama Cut] pada dateng. Jadi terima kasih banyak lah [tertawa].
M: Emang yang dengerin musik kita juga orang-orang yang ngerti lah.
D: Mungkin kita juga ngasih yang lebih intens kali ke pendegar kita.

Pop sering dijadikan shorthand untuk musik yang ‘langsung dapet.’ Tapi kenyatannya musik pop juga sifatnya konotatif—sering diperuntukan bagi artis-artis yang ‘menjual jiwa’ untuk bisa didengar di radio. Menurut kalian, mengapa pop menjadi suatu yang asing di skena musik independen Indonesia?
M: Bukan hal yang asing sih.
D: Sebenernya pertama sih dari basic lo ngeband di band ini kayak gimana. Maksudnya, lo ngeband di band lo sendiri kayak gimana. Basicnya dari objektif band sendiri jadi biasalah standar musik musik ini. Kalo Sajama ini bagi gue, dan mungkin yang laen juga, kebebasan bermusik gue disini. Dan gue sangat enjoy bermain dengan bebas bersama mereka. Masalah pop atau ngganya emang kita belakangan juga. Natural.

M: Kita bukan band yang perencana juga sih.
D: Tapi kalo pop itu dirasa asing, mungkin bagi kita karena keliatannya begini, jadi keliatannya asing. Sebenernya sih ngga juga. Gue juga maen pop. Marcel juga: Solonya kan juga lebih ke pop. Gue di band yang satu lebih ke pop, ya itu emang karena dari basicnya: gue bikin band itu buat pop.

Ngomong-ngomong, apakah ada skena musik independen di Indonesia? Terlepas dari keberadaan kalian di dalamnya.

M: Kayak gini [Pop-up gigs] ada. Cuma mungkin ga secentralised sepuluh tahun lalu. Kesatuannya terasa banget. Kalo sekarang banyak kantong-kantong berbeda: si Demajors buat acara, si ini buat acara. Unifikasinya sih ga sekuat itu. Efeknya, band apapun ga ada yang melejit lah seperti sepuluh tahun yang lalu, dimana misalnya…

JKT:SKRG.

M: Iya. The Upstairs itu kan crossover, The Brandals kan crossover. Beberapa momen lah mereka crossover. Kalo sekarang sih, bisa dibilang, ga ada yang signifikan—musik yang cutting edge, terus akhirnya nembus.

Jadi sebenarnya, tidak ada yang dilembagakan?

M: Iya, ga ada. Mungkin karena udah terlalu[…]—kalo dulu justru opsinya ga banyak. Barnya cuman ada satu. Jadi semua acara disitu. Orang-orangnya juga banyak, player-playernya juga banyak. Gue pikir sih emang lebih kerasa dan lebih kuat, significantly emotional sih sepuluh tahun lalu.

D: Tapi berasa banget sih emang. Semua genre sih gitu. Semua community gitu—apalagi musik independen—kalo gue liat udah ga ada. Dulu aja metal aja masuk Prambors.
M: 96-97an Mustang aja baru masuk.

Sekarang masuk ke dalam tema packaging. Album ini direncanakan akan dirilis dalam 3 format: CD, Vinyl, dan Kaset. Keputusan ini didasari semangat “ya lagi mau aja” atau ada tren rilisan kaset/vinyl yang dinikmati musik Indonesia baru-baru ini?

M: Dua-duanya sih. Emang kita juga lahir[…], kebanyakan mayoritas generasi ‘biasa beli fisik.’ Sekarang mungkin kaset/vinyl balik lagi. Kita tahu marketnya lagi ada juga. Kita ga akan buat VHS atau 8track dan kita rilis karena memang ga ada marketnya disini—meskipun keren dan bisa dibuat.

Kalian sering bilang kalau dari Apologia [debut Sajama Cut] sampai album ini tidak memiliki tema dari segi lirik maupun musikalitas yang sama—walau kemudian ada benang merah. Apakah perubahan ini merupakan hal yang disengaja atau tidak—misal karena bosan tur keliling kemana-mana?

M: Ga sih, nggalah. Maksudnya 10 tahun kalo lo masih maen musik yang sama sih pathetic menurut gue. Bahkan kayak 5 tahun kayak masih punya brand. Kita punya kebebasan buat ga mempertahankan brand atau apalah. Kita pribadi dengerin musik banyak banget—semua musik kita dengerin gitu. Jadi, influencenya terlalu banyak untuk dicuekin. Kita juga selalu terdorong: kita denger band baru, ‘wah ini keren nih, ayo maen lagu ini!’

Bagaimana kalian menempatkan perubahan demikian ke dalam mentalitas musikalitas kalian. Atau, apa arti perubahan sendiri bagi musik Sajama Cut?

D: Alami aja sih.
M: Gue ga suka film yang sama 20 tahun yang lalu dibanding sekarang. Musik juga sama. Kayak tipe cewek yang gue suka juga ga sama. Makanan yang gue suka juga bermutasi gitulah. Musiknya pun harus ga sama. Lo terus memperbaiki diri. Apalagi, satu-satunya tujuan kita buat musik kayak gini (adalah) memuaskan diri sendiri secara artistik dan emosional. Kalo ga muasin secara itu, ga ada gunanya.

Bagaimana lirik-lirik album keempat ini? Lebih kriptik kah, atau lebih konseptual?

M: Lebih kritpik kali. Terus gue maunya pendek gitu—kayak haiku gitu. Ga haiku banget sih. Setiap verse tuh pengulangan, gue lebih suka yang hipnotik gitu. Kayak lo lima bar, terus satu ngulang lagi—lima bar itu. Lebih gampang juga buat anak-anak.

Repetisinya makin banyak?

M: Ga sih, bakal lebih pendek. Gue ngebayangin ini di lyric sheet—gue ga suka sih lyric sheet, tapi di album ini bakal ada—dan kalo liriknya kepanjangan, gue ga suka; jelek. Cover album Indonesia kadang-kadang kan “buset teks semua.” Jelek banget buat gue. Gue suka minimalis gitu: Peter Saville, New Order/Joy Division gitu.

Tema apa yang dominan?

M: Mungkin secara ga sadar familial gitu sih. Karena kita semua juga baru memulai keluarga baru.

Menurut kalian, kalian sampai ke titik akhir penyelesaian album kalau albumnya sudah dimaster atau dirilis dan didengar oleh khalayak?

Anes: Menurut gue sih pas kita master.
R: Ah salah itu!
A: Masih ada beberapa kendala sih, kemaren sih kita recording udah selesai semua sih intinya. Cuman, finishingnya masih ada kendala. Masih harus dirapihin, jadi mungkin akan tertunda sedikit lagi.

Tidak ada nilai sentimental?

A: Mungkin bakal kayak gitu juga. Bingung kan?
M: Susah juga, nilainya beda juga memang. Kalo gue sih, ada berapa orang yang gue kenal pribadi, gue peduli opininya. Gue penasaran ntar dia enjoy apa ngga. Tapi ga banyak sih. Pada umumnya sih ngga.
Banu: Didengerin sama orang. Karena tujuannya memang buat diperdengarkan ke orang.

oleh Stanley Widianto
Photo: Official Facebook Sajama Cut

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *