Connect with us

New Tracks

Koil Merilis Versi Orisinal Dari Lagu “Tak Ada Wifi Di Alam Baka”

Sesuai tradisi, rilisan ini menawarkan berbagai variasi remix, mulai dari koplo, synth-pop halus, piano, hingga dark wave

Profile photo ofstreamous

Diterbitkan

pada

Koil Band

Grup industrial rock/metal asal Bandung, Koil membuka tahun Naga Kayu dengan merilis versi orisinal dari lagu “Tak Ada Wifi di Alam Baka”, Kamis, 18 Januari 2024.

Perilisan ini merupakan nubuat kedua dari Otong (vokal), Donnyantoro (gitar), Vladvamp (bass, synthesizer), dan Leon Legoh (drum) dalam upaya menebus janji menuntaskan album penuh keempat mereka yang tertunda hingga nyaris dua dekade. Sebelumnya, Koil telah memulai visi menebus janji tersebut dengan melepas lagu berjudul “Pecandu N★rkotbah” pada pertengahan 2023.

Tak Ada Wifi Di Alam BakaLagu “Tak Ada Wifi di Alam Baka” sejatinya pernah dikenalkan Koil melalui proyek Second Installment (rilisan terbatas dalam format CD), tepatnya pada masa pagebluk tengah melanda dunia (2021). Namun, “Tak Ada Wifi di Alam Baka” edisi ini belum sepenuhnya berwujud ajeg juga utuh, atau masih dalam konstruksinya yang paling kasar berupa demo version.

Akhir tahun lalu, lagu ini juga sebetulnya pernah dibewarakan melalui prosesi kolaborasi dengan band rock muda ibu kota, .Feast. Selain keduanya saling bertukar lagu, Koil dan .Feast bermufakat merilis lagu bersama yang tidak lain adalah versi khusus dari “Tak Ada Wifi di Alam Baka”. Format elaborasi yang lantas disepakati untuk dipublikasikan lebih awal dan meluas ke hadapan publik musik dibandingkan bentuk orisinalnya.

Lazimnya, karya-karya Koil sejak Megaloblast (2001) dan Blacklight Shines On (2007), trek “Tak Ada Wifi di Alam Baka” juga punya ciri khas yang kental. Masih berputar pada riff-riff menikam yang bersumber dari khazanah musik kencang dari era masa lalu kegemaran Donnyantoro, yang dalam hal ini merupakan pencipta lagu sekaligus mesin utama musikal Koil. Pembeda dan sisi istimewanya, trek ini terdengar otentik. Jejak-jejaknya tidak terdeteksi dan bukan bersumber dari katalog-katalog musik Koil yang pernah ada sebelumnya.

Dengan aransemen yang lebih punya atmosfer glam/heavy metal, lengkap dengan bassline menari-nari serta bunyi perkusif motorik pemicu jantung, “Tak Ada Wifi di Alam Baka” diberi imbuhan lebih melodius sehingga kental dengan corak musik ugal-ugalan sekaligus harmonic di rentang waktu yang bersamaan, juga berperisakan hook yang mudah menempel di memori.

Lagu ini dibuat di Jakarta, circa 2009-2010. Waktu itu gue lagi senang-senangnya main gitar dengan efek fuzz. Biasanya kalau lagu-lagu yang basic-nya adalah gitar fuzz pasti hasilnya akan berputar di jurus yang itu lagi-itu lagi. Nah, karena di tahun tersebut gue lagi sering bernostalgia dengan riff-riff glam metal: semacam Judas Priest dan sejenisnya, maka gue coba menggabungkan kedua jurus tersebut, lalu bikin drum basic-nya pakai fruity loops,” ujar Donny, panggilan akrabnya.

Lagu “Tak Ada Wifi di Alam Baka”, lanjut Donny bisa dibilang termasuk lagu yang sudah terlupakan. Pasalnya, ia memiliki banyak sekali lagu yang tidak pernah/sempat tergarap oleh band dan hanya berakhir di peranti komputer sebagai demo saja. Tapi suatu waktu, Otong meminta semua file lagu demo yang telah dikerjakan Donny tersebut dan tak dinyana ternyata lagu ini menjadi salah satu yang dipilih untuk ditindaklanjuti.

Lagu “Tak Ada Wifi di Alam Baka” dibuat dadakan, sebenarnya. Waktu itu Koil butuh lagu ekstra untuk kebutuhan merilis ulang ‘Blacklight’ oleh label Nagaswara. Ketika proses pengerjaannya sedang berjalan, di tengah jalan gue berbelok arah. Gue malah bikin lagu “Aku Rindu”. Gak tau juga kenapa, mungkin, memang sudah jalannya begitu,” katanya.

Bangunan musik yang telah didirikan dengan megah oleh Donny itu lantas diolesi tinta emas berupa rima-rima ajaib oleh Otong, sosok yang bertugas pada departemen ini. Secara tema, “Tak Ada Wifi di Alam Baka” dirajutkan dengan goresan lirik tentang spiritualism, atau lebih spesifiknya, lebih ke pertanyaan tentang spiritualism itu sendiri yang menurut pengakuan Otong tidak berarti apa-apa dan tidak memiliki makna khusus (nonsense).

Lirik yang gue bikin itu hanya potongan kata-kata saja, sebetulnya. Kata-kata dari ketidaksengajaan satu, ketidaksengajaan dua, ketidaksengajaan tiga, dan seterusnya. Kayak lagu ini. Semuanya bermula dari sampling yang gue punya, yaitu sampling dengan kata-kata: “Bertobatlah Engkau Umat Baragama”,” kata Otong.

Ketidaksengajaan selanjutnya, ujar Otong beroleh dari peristiwa pertemuannya dengan seorang ahli agama atau ustaz. “Ada momen di mana gue bertemu salah seorang ustaz. Intisari obrolan dari pertemuan tersebut adalah bahwa sebelum kiamat terjadi, surga dan neraka itu belum ada. Beliau menjelaskan panjang lebar berdasarkan pemahamannya itu. Dan gue kan, bukan tipikal orang yang tidak membantah dan tidak juga mengiakan. Di satu sisi, gue adalah orang yang junkie internet. Mun euweuh wifi, hirup aing kumahanya? Tema surga neraka dan kehidupan keseharian gue sebagai junkie internet itulah yang gue gabungkan menjadi lirik,” sambung Otong.

Garis kedua tema itu pula yang kemudian memunculkan ketidaksengajaan lain sekaligus pertanyaan lanjutan tentang spiritualism yang dimaksud: “Jika surga dan neraka belum ada? Sementara orang mati kan, sudah ada sejak sekian ribu tahun lalu? Dan andaikan kita berkumpul di surga atau di neraka, orang yang mati 2000 tahun lalu, misalnya, sepertinya tidak akan membutuhkan wifi. Jadi, esensi obrolan bahwa alam baka itu, begini-begitu, menurut gue, ya, tergantung dari waktu, kapan orang itu mati. Pun kebutuhan orang mati juga berbeda-beda sesuai raga dan rohaninya. Dan kebutuhan orang mati itu, apakah sesuai dengan teknologi atau tidak?” kata Otong penuh tanya.

Lebih jauh, Otong juga menegaskan dan menggarisbawahi bahwa apa yang ia utarakan dan tuangkan tersebut benar-benar murni pertanyaan untuk dirinya sendiri dan bersifat personal. Bukan sindiran apalagi dilayangkan untuk fenomena sosial—sebagaimana lirik-liriknya dianggap demikian oleh para penggemar (baca: KoilKillerKlub). Tapi tentu saja ia juga tetap mempersilakan pendengar untuk menerka-nerka makna liriknya sesuai selera dan berdasar pada pemahaman subyektifas masing-masing.

Gue tidak pernah membuat peraturan dan menulis lirik yang menjadikannya sebuah kebenaran mutlak (absolut). Biasanya yang terjadi adalah sebuah kebenaran by the judgement. Menurut, lu, begini, ya, begini. Menurut, si A, begitu, ya, begitu. Silakan saja di bebas tafsirkan karena mereka punya judgement sendiri-sendiri.”

Leon Legoh pun memiliki pendapatnya tentang lirik lagu “Tak Ada Wifi di Alam Baka”. Menelisik guratan yang ditulis Otong. Ia merasa jikalau Otong seperti sedang bermain-main (cenderung ngasal) dengan berbagai frasa. Berbalut komedi tapi sarat arti yang mendalam.

Menurut gue, Otong memotret keadaan masyarakat atau perilaku manusia saat ini. (Mayoritas) orang kan, gak bisa lepas dari internet dan sosial media. Itu adalah hal utama. Hal lain hanya nomor dua, tiga, empat, dan seterusnya,” kata Leon.

Leon juga menambahkan anggapan di sisinya yang lain, jika lagu ini, adalah komposisi bebunyian gahar tapi catchy. Cukup sekali dengar saja orang bisa langsung ikut bernyanyi. “Lagu ini adalah kombinasi musik rock yang gahar dengan melodi vokal yang ngepop. Pas gue dengar pertama kali, Donny, sudah buat patern drumnya. Bagian awalnya keren, mengingatkan pada pola permainan “Kenyataan Dalam Dunia Fantasi” dengan peletakan pukulan hi-hat yang gak lazim. Backing vocal Vladvamp di lagu ini juga pol (melengking) banget. Dan tampaknya, Vladvamp akan lebih sedikit bekerja keras ketika tiba waktunya manggung membawakan versi ini dengan nada vokal yang tinggi sekali itu. Ha-ha-ha…

Rilisan “Tak Ada Wifi di Alam Baka” dalam hematnya tidak hanya memuat satu lagu saja melainkan menawarkan ragam bebunyian lain atau remix dari versi orisinalnya—sebuah tradisi yang acapkali dilakukan Koil dalam melayani setiap perilisan katalog musiknya dari sejak lama. Total rilisan ini berisikan 9 lagu dengan format bervariasi yang bersumber dari olahan tulen sederet musisi tamu yang Koil pilih.

Di luar versi orisinal, kedelapan sisanya adalah versi tafsir ulang dan gubahan ragam varietas yang tersuguh sangat distingtif dengan gaya pendekatan musikal yang agak mustahil disentuh oleh Koil, misalnya, gaya musik bercorak funky kota atau koplo dari remixer bernama EfanEvanEpan. Lalu ada remix dengan nuansa synth-pop halus oleh Burdead, piano (Arizona Mardatias), dan dark wave (Count DraguhL). Sedangkan sisa trek lainnya adalah versi demo yang sebelumnya dikenalkan melalui rilisan Second Installment, lalu lesson gitar dan bass, hingga format karaoke.

Kalau balik ke sejarahnya Koil. Metode merilis seperti ini (banyak variasi) sudah menjadi bagian dari tradisi. Kami sudah melakukannya sejak dulu, yang tepatnya entah kapan. Berhubung (era) sekarang environment-nya digital. Kami praktikkan hal-hal tersebut di ranah digital. Di sisi yang lain, semakin banyak juga kemudahan untuk melakukannya (remix). Dan buat kami, membuat lagu dengan banyak versi itu jadi semacam pamer keahlian. Dari satu lagu itu bisa dibikin banyak kemungkinan vibe, segala rupa, dan dengan genre apa saja. Gue, bisa bilang kalau nada vokal gue itu sanggup menjadi apa pun dengan sangat mudah. Kebanyakan orang kan tidak tahu akan hal itu dan menganggap gue itu gak bisa nyanyi. Tapi dengan adanya variasi rekaman-rekaman kayak begini, mungkin orang bisa realize bahwa nada vokal gue itu sangat-sangat canggih,” kata Otong lagi.

Dan lebih dari pada itu, motif luhungnya, timpal Otong adalah untuk men-trigger atau menstimuli orang lain untuk mau dan berani berkreativitas tanpa ada keraguan. Terutama, bagi yang amatir, atau mereka para musikus yang bukan/belum menjalani jurnal musiknya secara profesional. “Gue pengin agar hasil karya mereka bisa didengar orang, makanya Koil melakukan hal ini (memberi ruang kreatif). Karena peluang untuk didengarnya (jadi lebih) besar.”

Berbagai bunyi interpretasi ini sendiri dipilah tidak dengan moda sembarang karena telah melewati proses seleksi ketat dari inderawi Vladvamp. “Untuk pertimbangan memilihnya, hal pertama yang gue dengar adalah vibe materinya, metoda mendengarnya dengan berjalan kaki sambil memakai earphone. Apabila vibe-nya sudah kena, baru menuju ke pertimbangan berikutnya yang lebih musikal yaitu sound, kreatifitas juga aransemennya. Gue merasakan sekarang ini banyak sekali remixer yang punya ide-ide segar, namun kembali lagi ke masalah selera. Gue harus melakukan seleksi yang super ketat untuk kemudian memasukkannya ke dalam track list,” ujar Vladvamp.

“Tak Ada Wifi di Alam Baka” direkam di The Old Ghost House, Bandung pada kuartal ketiga 2023 dengan proses akhir audiomixing dan mastering—oleh Al Azthra Verdijantoro alias Azthraal. Sementara untuk sampulnya, Koil menunjuk illustrator bernama Patra Aditia (@patraditia). Patra Aditia sendiri bukan orang asing bagi Koil, ia adalah aktor penting yang berperan melahirkan Komik Koil, Dragonian Warriors dan Fallen Gods pada tahun 2017.

Kesembilan versi “Tak Ada Wifi di Alam Baka” ini sudah bisa didengarkan di beragam layanan streaming musik seperti Spotify, Apple Music, YouTube Music, Deezer, dan platform-platform lainnya. [Tiar Renas Yutriana]

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *