New Tracks
Losing Fight Hadirkan “Sunya”, Refleksi Kehampaan Dan Perjuangan Hidup

- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2025/03/Losing-Fight.jpg&description=Losing Fight Hadirkan “Sunya”, Refleksi Kehampaan Dan Perjuangan Hidup', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
Setelah tiga tahun absen dari dunia musik, Losing Fight—band asal Kuningan yang lahir dari kejenuhan empat sahabat terhadap repetisi musik lokal—kembali menghadirkan single terbaru bertajuk “Sunya”.
Terbentuk pada 2016, kelompok yang menyematkan diri sebagai alternative rock/youth grunge ini terdiri dari Restu (gitar/vokal), Dezky (bass/vokal), Agung (gitar), dan Rizky (drum). Mereka hadir sebagai jawaban atas monotoninya gelombang musik di kota mereka, membawa warna baru melalui kombinasi emosional yang kental dan dinamika instrumental yang menghentak.
“Sunya”, yang dalam bahasa Sansekerta berarti “kehampaan”, menjadi karya pertama Losing Fight yang sepenuhnya menggunakan lirik bahasa Indonesia. Lagu ini mengisahkan fase keterpurukan hidup di usia mid-20-an hingga menjelang 30 tahun—masa di mana beban terasa menyesak tanpa jeda, arah hidup terasa kabur, dan hasrat untuk “merasakan hidup” perlahan memudar.
Restu, vokalis sekaligus penulis lirik, menggambarkannya sebagai potret nyata generasi yang terjebak dalam siklus anhedonia: ketidakmampuan merasakan kebahagiaan meski di tengah rutinitas yang terus berputar.
“Ini adalah lagu paling personal yang pernah kami buat,” ungkap Restu. “Kami ingin menyentuh sisi manusiawi pendengar, terutama mereka yang merasa terasing di usia yang seharusnya menjadi puncak produktivitas. ‘Sunya’ adalah cermin dari kegelisahan kami sendiri—bagaimana tekanan sosial, ekspektasi keluarga, dan ketidakpastian masa depan bisa menggerus mental.”
Proses kreatif “Sunya” dilakukan secara mandiri, mulai dari rekaman, mixing, mastering, hingga desain artwork. Dezky, bassis yang juga menangani produksi, menuturkan bahwa keputusan ini diambil untuk mempertahankan orisinalitas visi band.
“Kami ingin setiap elemen, dari intro gitar yang melankolis hingga dentuman drum yang keras, benar-benar merepresentasikan emosi mentah tanpa intervensi pihak luar. Ini tentang kejujuran, bukan kesempurnaan teknis,” jelasnya.
Agung, gitaris Losing Fight, mengaku tantangan terbesar adalah menyeimbangkan nuansa gelap lirik dengan energi musik yang tetap membara. “Kami bereksperimen dengan dinamika yang kontras: bagian verse yang minimalis, lalu chorus yang meledak. Ini simbol dari perjuangan antara pasrah dan perlawanan,” katanya.
Rizky, sang drummer, menambahkan bahwa artwork single—gambar semak dengan daur yang bersinar dipenuhi debu yang mengambang—sengaja dirancang untuk memperkuat narasi lagu. “Debu itu ibarat fragmen kehidupan yang terjebak dalam waktu. Meski terlihat statis, sebenarnya ia terus bergerak, mencari celah untuk bernapas,” ujarnya.
Single ini juga menandai evolusi musikal Losing Fight. Jika sebelumnya mereka kerap mengadopsi pengaruh grunge ala 90-an, “Sunya” menyisipkan elemen post-rock dan ambient yang memperkaya tekstur. Dezky menyebut ini sebagai bentuk kedewasaan bermusik. “Kami tak ingin terkotak dalam satu genre. Youth grunge mungkin masih jadi DNA kami, tapi sekarang lebih tentang bagaimana merangkai cerita melalui harmoni yang lebih kompleks,” paparnya.
Restu berharap “Sunya” bisa menjadi ruang aman bagi pendengar untuk merangkul kerapuhan. “Ini bukan lagu pesimis. Justru dengan mengakui kehampaan, kita bisa mulai mencari cahaya dari dalam,” tutupnya.
Dengan rilisnya “Sunya”, Losing Fight tak hanya membuktikan konsistensi mereka sebagai band independen, tetapi juga mempertegas posisi sebagai suara generasi yang tak takut mengusung tema-tema gelap dengan cara yang autentik.
Perjalanan panjang tiga tahun akhirnya berbuah menjadi sebuah mahakarya yang intim, menggema di tengah hiruk-pikuk industri musik yang kerap memilih tema-tema instan.