Connect with us

Articles

Membangun Ikon Kota Melalui Musik (Bagian 2)

Diterbitkan

pada

Membangun Ikon Kota Melalui Musik (Bagian 1)
Tidak sedikit pula upaya dari para pemusik kita untuk menghadirkan gamelan ke dalam olahan musik mereka, sejak tahun 70-an hingga sekarang upaya ini terus dilakukan. Berbagai kelompok bermunculan menghadirkan gamelan dengan serangkaian kegiatan kolaboratif, mencampur cita rasa harmoni Timur dan Barat guna menghasilkan karya baru.

Gamelan mengalami evolusi yang sangat jauh, namun sayang keberadaannya tidak lantas ditangkap oleh para pemangku kepentingan untuk kemudian membuat sebuah orchestra gamelan lengkap dengan konser secara berkala yang memainkan karya-karya komponis gamelan. Bayangannya ini tentu saja akan menjadi besar seperti New York Philharmony, di mana grup gamelan ini akan menjadi kebanggan kota dan masyarakatnya. Sebuah kewajiban kultural bagi kita semua untuk mendukung ini seperti halnya mendukung keberadaan sebuah klub sepakbola kesayangan dan kebanggaan.

Satu jenis instrument yang dikemas penampilannya dengan format besar, di mana saat ini menjadi salah satu instrument yang paling banyak dan paling sering melakukan konser, baik di dalam maupun di luar negeri, yakni instrument tersebut adalah angklung.

Angklung, sebuah instrument yang mengalami evolusi dari instrument laras pentatonik ini, dirubah atau di-modernisasi oleh Almarhum Daeng Sutigna menjadi instrument dengan laras diatonik. Angklung saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat atas usaha komunitas Saung Angklung Udjo Ngalagena, salah satunya.

Instrument ini menjadi mendunia pula setelah UNESCO menetapkan angklung menjadi warisan budaya dunia. Akan tetapi penghargaan tersebut sebenarnya tidak dimaksudkan untuk angklung dengan laras diatonik, akan tetapi untuk angklung pentatonik yang memang asli dibuat oleh karuhun bangsa ini.

Dalam kamus istilah Karawitan Sunda karangan Atik Soepandi.SKar disebutkan bahwa yang namanya angklung adalah: Waditra yang dibuat dari bambu dengan tabung bambu sebagai resonator. Membunyikannya dengan cara digoyangkan. Alat ini digunakan sebagai sarana upacara penghormatan Dewi Padi atau upacara pawai anak yang akan dikhitan.

Misalnya Angklung Gubrag, Angklung Buncis. Di Bali, angklung adalah waditra perunggu yang terdiri dari empat bilah nada setiap ancak angklung. Dipergunakan dalama upacara-upacara khusus atau tertentu di desa-desa, misalnya upacara Pengabenan (pembakaran mayat).

Ada pula angklung lainnya seperti Angklung Badud , di daerah Banjaran yang dipergunakan dalam upacara Dewi Sri, Angklung Bungko, di daerah Cirebon yang dipergunakan untuk pesta laut. Dari keterangan-keterangan tersebut, jelas bahwa angklung merupakan warisan tradisi milik bangsa ini yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dengan laras pentatonik.

Upaya Daeng Sutigna adalah jurus yang sangat baik, karena hingga saat ini hampir semua sekolah dasar hingga menengah atas bahkan perguruan tinggi memiliki ansambel angklung diatonik. Sebagai sabuah sarana pendidikan dalam upaya melatih kebersamaan tentu saja angklung sangat baik untuk dipergunakan dan dijadikan media untuk membangun ikon kota.

Banyak hal yang bisa dicapai dan dilakukan oleh sebuah kota sehubungan dengan pembangunan citra kota. Kita tinggal merawatnya dan mengembangkannya saja, salah satu model pengembangan dan penguatan citra dan membangun ikon positif tentang kota ini maka musik bisa menjadi salah satu hal yang dikedepankan.

Gamelan misalnya, merupakan hal yang paling penting, karena terbukti bahwa ansambel besar ini bisa menjadi sebuah kekuatan besar sebagai ikon kota ini sebagaimana halnya New York Philharmonic yang berdiri satu abad yang lampau mampu menjadi kebanggan warga kotanya.

Bandung (yang ditarik sebagai pengembangan obyek dari gamelan) sebagai julukan kota kreatif sudah saatnya memiliki sebuah ikon musikal yang mampu menjadi kebanggaan warganya. Pertunjukan rutin dengan pengelolaan management yang baik tentu saja akan menjadikan kota ini setara dengan Singapura. Setelah sukses dengan kota wisata belanja tentu saja wisata pertunjukan dengan agenda yang tertata dan dirancang dengan baik bisa menjadi sebuah alternatif.

Djaelani, Dosen Music, FISS UNPAS, Direktur Program Jendela Ide

1 Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *