Album Review
Morfem – Dramaturgi Underground
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2016/11/Morfem-Dramaturgi-Underground-1000x600.jpg&description=Morfem – Dramaturgi Underground', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
Lewat Dramaturgi Underground, Morfem semakin mengokohkan diri sebagai jemaah Reediyah yang taat pada faedahnya. Dan mereka tetaplah seorang yang “muda” serta senang dengan apapun bentuk yang sifatnya bersenang-senang.
Aroma yang kuasa Lou Reed sungguh pekat di album ketiga dari kuartet Morfem. Simak “Anabastestudineus” yang kovernya digambar oleh Argy Pradypta, terang-terangan memampang sosok Lewis Allan. Kemudian “Audisi Sebuah Opera” yang pengambilan nada-nada vokalnya sungguh Reed-ish.
Tidak sampai disana, daftar pengaruh Lou Reed masih terasa di “Memento”. Pandu Fuzztoni ugal-ugalan mengisi solo asal-asalan menjelang akhir lagu. Eksperimental, yang penting noise, tak masalah. Setelah menyimak “Memento” versi audio, silahkan datangi pentas-pentas Morfem mendatang, perhatikan Pandu di bagian itu, niscaya tidak akan pernah sama. Avant-garde kelas teri memang, tapi inilah attitude Morfem, yang penting hajar, sembrono, namun selalu berhasil menyulut sing-along, mantapnya hakiki.
Konsep menggandeng ilustrator sebanyak jumlah lagu-lagu yang ada pun merupakan ide cemerlang. Sebuah gagasan segar di tengah kemonotonan sleeve band-band dalam negeri. Dari Sari Sartje sampai Rato Tangela, kemudian Ricky Malau hingga Farid Stevy. Semua nama kelas kakap. Proses kreasi sampun pun dipercayakan kepada Arief Madfire, seniman muda dengan anugrah bakat menjulang.
Ide ini juga kian menerangkan bahwa Jimi dan kroni-kroni adalah seniman sejati. Musik dan gambar adalah satu-kesatuan yan jelas tidak bisa dipisahkan, bila dikreasikan sedikit, bisa dibawa sampai ke titik yang seru, engagement-nya luas. Setidaknya ide ini kelak akan menjadi varian bagi band-band mendatang saat survey bagaimana mereka akan mendesain sleeve bagi album cetaknya.
Menuju ke materi, nampaknya bukan sebuah hal yang rumit bagi Morfem untuk menciptakan lagu-lagu catchy yang slebor. Pendengar yang sejatinya akan berangkat menjadi penonton, selalu mendapat porsi untuk turut menyanyikan deret lagu mereka. Beberapa yang paling menarik dari yang menarik ada “Tersesat Di Antariksa”, “Jungkir Balik”, serta “Roman Underground”. Semuanya jujur memotret fenomena sekitar yang seringkali dianggap sepele tapi tepat benar adanya, tanpa bahasa yang berbelit, Jimi bisa tetap elegean didengar dan mampu memantik semangat khalayak ramai. Ini sifat sejati dari musik rakyat.
Membawakan ulang “Kuning” juga bisa menjadi obat bagi para penggemar Rumahsakit yang rindu akan energi kultus dari lagu tersebut. Banyak memang yang kini beranggapan bahwa Rumahsakit tidak semenarik dulu lagi. Selain itu, Dramaturgi Underground bisa dikatakan sebagai album pembuktian. Pembuktian dalam banyak hal. Pengejawantahan yang nyeleneh. “Metode Organik Rasakan Fase Embrionik Manusia” yang merupakan akroni dari MORFEM, ditulis dan diciptakan oleh Freddie Warnerin si penggebuk drum yang kini kian buncit, sebuncit snare khas miliknya. Ingat, Freddie berangkat dari unit hardcore Nervous Breakdown, mungkin saat dirinya mengajukan ide ini, langsung di-iya-kan tanpa pikir panjang oleh Jimi, pemain drum hardcore berdurasi mini Bequiet. Pas bukan ?
Sudah tidak tepat namun sedikit masih tepat rasanya bila masih menggolongkan Morfem hanya sebagai kelompok alternatif rock. Seberapa alternatif sebetulnya mereka ? dan alternatif dari apa ? terlalu loyo untuk dibilang punk di beberapa lagu ? atau terlalu berisik bagi penikmat pop kah ?
Dan nampaknya juga tidak salah misalkan ada sebutan baru untuk Morfem, theatri-radical-punk. Komplotan teatrikal yang sungguh maju dalam berpikir, yang tengah seru-serunya menyanyikan anthem-anthem punk kategori adult angst.