Gig Review
Review: Sembilan Belas Tahun Naif
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2014/12/naif.jpg&description=Review: Sembilan Belas Tahun Naif', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
“Dia Adalah Pusaka Sejuta Umat Manusia Yang Ada di Seluruh Dunia”
Sembilan Belas Tahun Naif, Ruang Rupa, Jakarta Selatan
Ada banyak yang Naif dan grup musik manapun sama-sama bisa lakukan. Saya bisa sebut tiga: main musik, keluarin album, manggung. Tidak perlu muluk-muluk memiliki manajer atau label: tidak mungkin ada band kalau belum ada musik atau setidaknya ide untuk membuatnya. Lantas, mengapa Naif kerap kali didawatkan sebagai…apapun yang Anda dan saya pikirkan ketika nama Naif terlintas di rentetan line-up dalam sejumlah poster, diucapkan berbagai umat manusia pecinta musik maupun sekedar pemerhati kultur pop dalam negeri? Mengapa Naif sangat…Naif?
22 Oktober 1995 menyingkap keputusan Naif untuk menjadi sebuah band—waktu dimana tercetuslah ide untuk mulai bekarya. Digawangi David, Jarwo, Emil dan Pepeng, imajeri retro-pop yang kemudian menjadi identitas otentik Naif yang masih terkubur dalam benak band ternama asal Cikini, Jakarta tersebut. Pada 27 November 2014, sebanyak 19 perupa seperti Jimi Multhazam, Sari Sartje, Muhammad Taufik dan banyak lainnya menyumbang karya seni sebagai persembahan bagi Naif karena sudah menjadi Naif selama 19 tahun. Tidak sedikit yang terjadi dalam 19 tahun tersebut. Mungkin apapun yang terjadi bisa menjawab pertanyaan saya di atas.
Berlokasi di markas Ruang Rupa, Tebet, Jakarta Selatan, “Dia Adalah Pusaka Sejuta Umat Manusia Yang Ada di Seluruh Dunia” merupakan sulapan tribut bagi Naif. Karya-karya seni berupa lukisan-lukisan dengan judul yang disadur dari lagu-lagu Naif (‘Rumah yang Yahud, ‘Mesin Waktu’, ‘Piknik ’72’, ‘Penari Langit’, ‘Johan & Enny’) tersebar di ruangan penuh khalayak berkeringat yang antusias menyambut Naif karena—dan saya tidak bisa lagi menekankan hal ini—ke-Naif-annya.
Naif sudah menjadi layaknya sebuah marvel—kata dari bahasa Inggris yang bisa diartikan sebagai suatu keanehan bebas-nilai (bukan positif, bukan juga negatif). Faktanya bahwa album-album mereka telah meraup banyak keuntungan dan dengan kinerja yang acapkali menjemput ratusan orang kemanapun mereka bermain sudah cukup untuk membuat kita bertanya, ‘band sabi mana lagi yang maen full set ga pake setlist?’ tanpa adanya jawaban kedua, ketiga maupun keempat.
Dan kemarin, sama: Tidak ada setlist. Bermain set akustik di bawah 1 jam, Naif memainkan lagu-lagu nirgenre yang memuaskan—tulus dan asyik, seperti tidak ada pilihan lain. Penonton, perupa dan kru di belakang panggung kerap meneriakkan lagu demi lagu yang mereka mainkan, seperti ‘Penari Langit’ (David sempat berujar, ‘inget ga ya?’), ‘Piknik ‘72’, ‘Nanar’, ‘Jikalau’ dan masih banyak lagi. Suasana yang Naif ciptakan bukanlah suasana yang hening bak kontemplatif, namun ringan dan riang. Musik Naif mengumbar identitas dan kualitasnya sendiri: Unik dan bernutrisi. Hanya senar putus atau kiamat yang bisa mengurangi kualitas manggung Naif.
Saya bisa menyebut 3 hal yang tidak bisa membedakan Naif dengan grup-grup musik yang lain: main musik, keluarin album, manggung. Anda juga bisa menyebut lebih banyak dari itu. Dengan karir yang telah dirintis selama 19 tahun, pagelaran “Dia Adalah Pusaka Sejuta Umat Manusia Yang Ada di Seluruh Dunia” kerap kali mengingatkan bahwa hanya ada satu hal yang bisa membedakan Naif dengan grup-grup musik yang lain: Menjadi Naif.
Oleh Stanley Widianto