Connect with us

Featured

SORE: “TERMOTIVASI ITU BAGUS, TERAMBISIKAN ITU ANCUR”

Profile photo ofstreamous

Diterbitkan

pada

Kita harus, Harus apa? Mengemas kantong sampah pada jam 12 malam? Membayar pajak? Membayar premi asuransi? Premis apa yang bisa didukung oleh frase nista ‘kita harus’? Apanya yang harus? Kewajiban warga negara Indonesia yang terkungkung oleh Undang-undang, mungkin, tapi itupun sifatnya kabur. Sampai petugas di Jalan Diponegoro yang menilang saya kemarin bisa menolak uang damai, saya akan tarik omongan saya.

Jadi, kita harus?

Sore adalah sejemaah warga negara Indonesia yang bermain musik. Kebetulan, musiknya dikenal khalayak banyak; dari warga culun berkacamata, sampai seseantero kota Jakarta dengan ikatan rambut yang bermacam-macam. Konsep musik pop milik Sore—dibaptis sebagai Indonesiana revival—acapkali didawatkan sebagai kebangkitan musik berkualitas Indonesia. Tetapi, semua itu didasari oleh ketidakharusannya untuk membuat musik semacam itu. Singkatnya, Sore membuat musik berasaskan ‘kita tidak harus’ dengan urgensi yang sangatlah…mengharuskan.

Perlawanan atas ekspektasi berlebihan memang dilalui oleh seniman-seniman yang hendak menarik tuas ‘PUBLISH’ atas karyanya. Ade (gitar/vokal), Bembi (drum), Awan (bas), Eca (gitar) menyadari hal ini. Dikte tidak akan mempan bagi Sore—musik tidak dimainkan secara didaktik. Sore sudah melalui begitu banyak hal untuk mengetahui hal ini. Beberapa dari hal tersebut terjadi ketika salah satu personilnya, Mondo Gascaro, hengkang 2 tahun silam, dan ide Sore sebagai band mulai terfragmentasi. Sebelum, tentu saja, bangkit kembali dalam bentuk album kompilasi Sorealist dan album yang sedang melalui tahap mixing dan diberi judul Los Skut Leboys (akan dirilis awal tahun 2015).

Sekarang, Sore bukan lagi sebuah konsep—sebuah lambang kebangkitan musik. Sore ya band dan band bermain musik. Oke, mengeluarkan album juga lah. Oke, mendapat penghargaan juga, tapi apalah itu. Sore bermain musik.

Kita tidak harus.

Dari wawancara Gigsplay dengan Sore—ditemani oleh keyboardist Adink Permana dan Sigit Pramudita dari band folk Tigapagi selaku gitaris additional—pada Sabtu (7/12) silam di Mal Gandaria City, ‘kita tidak harus’ adalah sebuah mantra yang menjadi pedoman pembuatan album Los Skut Leboys. Lagu-lagu yang telah dirilis seperti ‘There Goes’ dan ‘8’ tidak dibungkus dengan instrumentasi kompleks seperti halnya ‘Mata Berdebu,’ ‘Karolina’ dan sebagainya. ‘Kita tidak harus,’ ‘Kita tidak harus,’ ‘Kita tidak harus.’ Manis, bukan?

Bagaimana kalau saya bilang saya awalnya minder mewawancarai Sore?

Ade: Ya ngapain juga? Itu artinya lo ngedisrespect diri lo sendiri, Stan. Karena ngapain juga kan minder? Dan lo juga akhirnya ngedisrespect gue, karena gue bukan siapa-siapa kok, gitu.

Dari beberapa wawancara yang saya baca, saya bisa menangkap kalau Sore paling enggan menerima validasi. Karena itu menyebabkan stres atau pressure. Jadi, lebih baik tidak ada pengakuan yang berlebihan atau tidak ada pengakuan sama sekali?

Ade: Lebih baik gue ga pernah mikirin pengakuan itu sama sekali. Biarpun ga ada pengakuan, yaudah, jalan aja.

Tapi Anda mengakui kalau pengakuan itu akan selalu ada?

Ade: Ga tau. Ga pernah jadi main intention gue buat ngelakuin ini sih. Gue lebih (pengen) pengakuan dari ini-ini pada: temen-temen gue. Misalnya gue bikin lagu, gue dengerin ke Sigit, udah pasti dibilang jelek 100%! Pasti, ga mungkin ngga! [tertawa]. Tapi emang bias ke gue, emang gue kayaknya harus tempur sama dia suatu hari. Kalo misalnya Adink, orangnya lebih alus. Yang bilang “oh bagus, de,” tapi akhirnya jelek. Jadi, validasi itu sebenernya dari temen, men, dari temen yang emang bercokol sama; di taman yang sama, yang namanya Sore itu. Daripada pengakuan di luar, karena pengakuan di luar itu buat yang kita masak. Sebenernya buat makan sendiri! Terus ada orang, “eh gue boleh nyicipin ga nih? Anjing, enak ye!” Pengakuan pasti ada. Mau bagus atau jelek ya take it as a gift. Tapi jangan itu dimakan, men, toxic! Udah kayak gula!

Menjelang tahap akhir penggarapan album Los Skut Leboys, apakah Sore mulai sadar akan keterbatasan dalam berkreasi? Dan apa kalian takut akan keterbatasan itu?

Ade: Ada sih, ketakutan-ketakutan itu ada. Dimana lo ga bisa lagi bikin sesuatu yang bisa bikin lo lolong, ya…apa namanya? Bikin plong gitu! Tenang nih gue, tanpa pusing dibilang bagus atau ngga. Atau diri lo sendiri yang bilang bagus atau jelek. Ada sih kadang-kadang muncul. Cuman itu personally. Ga tau deh, dari produser-produsernya sendiri nih gimana?

Adink: Semua emang ada masanya kan. Ada masanya kita lagi produktif, ada masanya kita lagi ga bisa ngapa-ngapain gitu. “Gue kayaknya maen ini udah stale, gitu. Gini-gini aja nih, kayaknya, gue ga berubah!” segala macem. Itu sih sebenernya cuman, apa ya, cyclenya aja gitu.

Ade: Alhamdullilah, kayaknya misalnya gue (bikin) chord yang biasa banget gitu, culun lah. Terus gue present ke mereka berdua [Adink dan Sigit], alhamdullilah, insya Allah, bisa dibikin bagus. Jadi gue tenang juga ada backing.

Sigit: Semuanya saling ngedempul, saling…saling

Ade: Ngobras!

Sigit: Karena kan masaknya bareng-bareng. Kalo gue sih, the art of Tigapagi, selalu mengoptimalkan bahan apapun yang ada. Kalo di dapur adanya cuman mie ama telor, gimana caranya mie ama telor jadi sesuatu yang enak, gitu. Ga perlu penambahan mi pake keju, pake apa.

Untuk sekarang ini, apakah Sore senang? Saya tidak memaksudkan ini dalam arti masing-masing personil senang, tapi keadaan Sore sekarang sebagai kolektif?

Ade: Lebih seneng, lebih progress. Satu sama laen saling appreciate, satu sama laen lebih open. Terus kalo emang ga suka ama sesuatu, bisa lebih ngomong. Lebih temen sih! Itu merupakan progress yang sangat gila untuk Sore sendiri; jadi bukan, sekedar profesional sebagai musisi, tapi udah jadi saudara bener bener; keluarga. Ya gitu kan, men, family banget udah. Lebih saling perhatian, kayak misalnya Bembi liburan ke Bali pada well wishes di grup. Kalo dulu kan, bodo amat satu sama laen.

Sigit: Ikatannya lebih kuat gitu satu sama laen.
Ade: Bisa curhat juga di grup. 

Corak album Los Skut Leboys acapkali dibilang lebih santai, lebih laid-back daripada Centralismo (2005) dan Ports of Lima (2008). Apakah karena kelelahan? Karena saya asumsikan pengerjaan album-album tersebut merupakan proses yang melelahkan. Jadi, apakah karena kelelahan makanya kalian memutuskan untuk lebih santai?

Ade: Bukan kelelahan juga sih. Kalo gue personally, gue bega dan muak sama extravaganza; sama exuberance; sama ketidakperluan sesuatu yang terlalu dibumbui. Buat apa gitu? Kadang-kadang manfaatnya ga kekejar juga.

Ada contoh lagu yang ‘terlalu dibumbui?’

Ade: Come by Sanjurou, mungkin. Eh tapi itu bagus.
Adink: Bagus semua lah, De! Lagunya Sore mah bagus semua!

Ade: Nah! Lo liat contohnya tadi kan, dibilang bagus? Belakangnya jelek! Ini hantu dia, setan. Apa ya? Bogor Biru juga lumayan ya? Yah, kayak beberapa lagu-lagu di Ports of Lima gitu deh. Yang sejujurnya ingin dicapai oleh Sore ga kesambangi gitu, karena itu magteg. Lo tau magteg kan?

Awan: Bahasa Belanda. Terlalu gurih, terlalu banyak micin.
Ade: Jadi kayak, nih kita mau maen musik apa mau show-off?
Awan: Gue boleh nambahin dikit ga?

Boleh.

Awan: Jadi sebetulnya terjadinya lebih pada saat pembuatannya. Ekspektasinya tuh, wah pada saat mau mulai, this is supposed to be a grand thing. Kalo misalkan itu akhirnya berkembang, terus akhirnya jadi extravaganza tapi prosesnya tuh sincere dan endingnya tuh…

Ade: Itu ga masalah.

Awan: Los Skut Leboys itu betul-betul album yang didedikasikan…malah, sebisa mungkin ga usah sampe masuk ke extravaganza; maksudnya, extravaganza juga terlalu berlebihan juga sih. Maksudnya, terlalu banyak aransemen. Bayangin aja dulu Ports of Lima: satu lagu tracknya bisa 60 lebih.

Ade: Men, 100.

Awan: Padahal begitu aja kan? Ya stresnya pada saat mixingnya aja, gimana caranya secara adil bisa memfasilitasi segala sound yang ada disitu. Which is gapapa, fun fun aja kalo emang itu sincere dan itu ada tujuannya ya.

Ade: Nah itu kunci katanya: Sincere. Itu yang ilang.

Awan: Tapi ga nyampe juga! Yang anehnya itu, kalo awalnya pengen spektakuler gitu, jatohnya jadi ga bisa begitu. Makhluk kayak Paul McCartney dari the Beatles, pada saat bikin Sgt. Pepper’s itu; pada saat buat Maxwell Silver Hammer, pada saat dia mendesain [lagu itu], tegang udah. Sampe ada salah satu member gamau ikut. Walhasil, yang meledak lagu-lagu di Sgt. Pepper, bukan Maxwell Hammer itu.

[Awan dan Ade menyanyikan lagu Maxwell Silver Hammer dari album Abbey Road (1969) milik the Beatles]

Awan: Bayangan dia, oh sebentar lagi akan ada sebuah album Sgt. Pepper’s dan salah satu lagunya yang ngeri itu Maxwell Silver Hammer. Padahal itu seorang James Paul McCartney. Ade, sama kita-kita ini, di album Los Skut Leboys itu ingin menanggalkan itu. Jadi ga mau terbebani sama hal itu doang.

Ade: Salah satu reasonnya juga: Anti-ekspektasi. Ekspektasi itu kan dosa, lo ngerti ga sih? Lo expect sesuatu…pasti, dunia tuh maenin lo lagi sebenernya. Apa yang lo expect rusak udah! Yang musti lo capai kan harapan: harapan ‘bagus,’ tanpa ekspektasi, ntar mau gimana, mau gimana, bodo amat. Saat Ports of Lima, ada ekspektasi. Ah, udah gila, kencing di celana gue. Nah bener kata lo [menunjuk ke Awan], di Los Skut Leboys, itu ditanggalkan.

Awan: Spiritnya, intinya ini nih bagus banget, jadi udahlah, balikin lagi ke awal. Jadi lo tuh fun aja bikin musik.

Ade: Jadi Sore adalah, bagi kita sendiri, ga ada kata-kata “Kita harus.” Udah itu, itu quote tuh—gue paling benci itu. Ga ada “kita harus!” ‘Kita harus’ tuh gila! Harus apa? Ga ada keharusan itu di musik. Lo, yang tadi itu kan, jadi terkotaki dengan ‘kita harus’ itu. Rules itu cuman ada di militer, itu aja juga bisa kompromi sebenernya. Lo harus compromise sama keadaan. Misalnya textbooknya lo harus sembunyi ketika [Ade membuat suara tembakan], tapi lo kan bisa ngefleng dari sini. Jadi, ‘kita harus’ itu bullshit paling parah.

Awan: ‘Kita harus’ ada ironinya juga: Jadi lo tuh seolah-olah harus hormat sama orang laen, cuman untuk melengkapi itu, lo harus neken diri lo, sehingga ga hormat sama diri lo sendiri.

Saya sudah sering ke konser Sore, seperti di Salihara [Festival Salihara] dan Seperlima [Berani itu Beda], dan ketika membuka lagu ‘Etalase,’ Awan selalu bilang kalau banyak yang menyebut Sore sebagai band jazz saat single ‘Etalase’ dirilis, padahal bukan. Jadi, apakah Sore…anti-genre?

Awan: Bukan anti-genre. Jadi orang perlu genre buat apa sih? Ini ada barang baru nih—kain atau apa gitu—dia harus ada introductionnya dulu. Kalo ga langsung ke musiknya aja ya, ga usah pake kiasan. Untuk mengenali musik ini, biar gampang, ini musik apa nih? Oh, jazz! Oh langsung dia setup pikirannya dia, hatinya dia, ‘oh gue seolah-olah kayak pengen dengerin musik jazz.” Jadi, lebih gampang buat orang itu untuk mencerna musik baru yang mau dia denger. Itu perlunya genre cuman itu doang sebetulnya. Tapi kalo buat gue pribadi, musik itu sebenernya ga ada genrenya. Kecuali dia berkutat di situ terus. Menggunakan instrumen, mood…uh, kan ada fanzinenya sendiri; mau death, hardcore, metal, which is beda satu sama laen. Di Sore, itu ga ada genre. Ketika kita baru mulai muncul, kan ‘Etalase’ tuh lagu pertama kan yang di rekam. Langsung orang mengclaim, ‘oh ini band baru nih. Namanya Sore,’ ‘genrenya apa?’ ‘Jazz.’ Which is not. Gara-gara si lagu itu.

Padahal belum ada albumnya, kan?

Awan: Belum ada. Waktu itu belum ada. Baru single. Satu lagu itu doang, ‘Etalase.’ Bukan anti-genre sebetulnya. Kita sih gapapa. Cuman maksudnya, kalo misalkan lo bergenre, misalkan lo udah claim lo punya band genrenya adalah…dangdut. Di situ seolah-olah lo udah ga boleh lagi berkarya musik yang beraliran lain. Pelakunya kayak si Anggun. Kan gue tetanggaan sama Anggun C. Sasmi dulu. Dia tuh udah mengenrekan dirinya tuh rock. Padahal kan ga terlalu rock juga kan akhirnya. Gue ngomong ini nih, “Lo kenapa ga bikin musik yang gini aja, Gun?” “Aduh, gue udah terlanjur menentukan genre gue ini.” Nah nanti dia sendiri yang akan kelimpungan. Dan sebetulnya kalau untuk bermusik itu genre ga necessary juga—lo ga harus punya genre dalam bermusik. Setelah gue pikir-pikir, genre itu tujuannya cuma untuk memfilterisasi. Kalo misalnya musik baru kan susah untuk dicerna. Agak lama dulu. Sering ga lo denger orang ngomong itu?

Sering.

Awan: Gue untuk bisa ngerti musik lo, gue musti denger berkali-kali nih. Genre itu fungsinya untuk lebih sedikit meringangkan. Jadi kayak misalnya tadi bilang, musiknya apa nih? Jazz! Oke, gue setup pikiran gue, hati gue, telinga gue, seolah-olah mau dengerin jazz. Atau Beatles aja dibilang genre.

Ade: Beatleesque.

Pengerjaan album ini melibatkan Sigit, Adink, Aghi [Aghi Narottama] juga. Jadi, bagaimana rasanya dibantu outside producer ketika album-album kalian yang lama dikerjakan sendiri atau self-produced?

Awan: Balik lagi ke cerita awal. Dari Centralismo sampe Ports of Lima, kalo dibilang tim gitu, tukang masaknya, tukang ngeraciknya, tukang ngeramunya itu Mondo namanya; Mondo Gascaro. Dia punya lagu aja, dengan ritmenya; dengan liriknya; lagunya tuh kayak gini. Terus mau ada feel feel apa nih? Misalnya, Eca mau masukin gitarnya kayak gini, Bembi mau masukin drum atau perkusinya kayak gini. Yang ngesculp nya tuh dia, yang mahatnya tuh dia. Kita emang juga suka sama karya-karyanya, gayanya. Kita juga suka gaya-gayanya Adink. Aghi memang dari awal kita sebelum berdiri jadi band, dia udah terlibat. Sebelom ada Sore, dulu namanya Bahagia kan? Lagu pertama yang direkam itu, Aghi terlibat di situ. Jadi ada sentimental reason.

Ade: Kalo buat gue personally untuk ngerem diri gue sebenernya. Untuk ngerem diri gue dari waktu Ports of Lima, gue terlalu banyak masukin ini, masukin itu; kebablasan. Nah ada mereka ini buat ngegawangin gue gitu. “Ngga ini De, salah!” Walaupun gue pengen nampolin mereka satu-satu, cuman ya harus, itu udah jadi resiko gue.

Apa Los Skut Leboys album yang personal? Setidaknya sepersonal ‘In 1997, the Bullet Was Shy’ [dari Ports of Lima].

Ade: Ada beberapa personal. Ada yang gue tulis ya pada saat itu aja. Gue kan biasa kalo nulis lagu, kata pertama jadi jiwanya tuh lagu. Kata pertama.

Contohnya? Musafir mungkin?

Ade: Oh ngga! ‘Tak ku pelajari…’ Udah, tak, langsung semuanya kayak gitu tiba-tiba. Nanti ‘musafir’ muncul sendiri. Kalo ‘Mata Berdebu’ [dari Centralismo] sendiri itu ga personal, jadi kayak lebih general.

Adink: ‘Saling’ ya? ‘Saling.’ [tertawa]

Ade: Terus, kalo sekarang ampir 40% yang personal.

Ade, Anda sebagai penulis lirik primary, walau yang lain juga berkontribusi, sering menuliskan lirik-lirik yang kriptik. Bahkan dari proyek Marsh Kids juga dalam lagu ‘Red Angel Sunset,’ misalnya harus menggali dulu baru bisa dapat maknanya. Itu default mode Anda atau memang secara disengaja memang ingin mengaburkan makna dalam lirik-lirik Anda?

Ade: Ya secara sengaja sih untuk ngambiguin itu. Freedom buat lo nerapin sendiri. Kadang-kadang gue baru find out tentang suatu lagu aja, even lagu gue sendiri, gue bisa find out ntar. ‘Anjing, ternyata ini ya artinya.’ Dan itu buat gue seneng banget. Gue kayak dapet kado sendiri. Kayak lo naro duit di jaket lo gitu. Terus, jaket lo sangkutin. “Anjing, ada duit.” Kayak kado.

Apa artinya ‘Zulki doyan kambing’ [dari lagu ‘8’].

Ade: [tertawa]

Adink: Apa?

Ade: Zulki doyan kambing!

Adink: Oh, gawat tuh!

Ade: Ga ada maksudnya itu, udah gila gue. Zulki tuh operator kita. Udah gue kayak, ‘Zulki doyan kambing.’ Udah, direkam, pasang udah. Itu kebebasan, men, namanya, kebebasan. Itu di Sore sangat dijunjung tinggi. Kayak sekarang lo nanya, kenapa tuh begitu? Terus pas ditanya, udah idiot reasonnya, ga ada. That’s it. Itu celebration of life, happiness! 

Di lagu Marsh Kids ‘Fajar’s Lunatic Escapade’ terdengar arbitrer juga.

Ade: Itu orang gila beneran itu, Stan. Fajar itu temen gue, sekolah di Amerika dulu. Dia kerja di Pindad, bikin tank. Dicurangin sama orang, jadi gila. Itu jadi dia [memperagakan Fajar] bener-bener lagi gila gue rekam. Beneran lagi kambuh. Terus gue suruh anak-anak rekam suara jalanan buat tambahan. Jadi itu escapade nya dia tuh.

Dalam lagu ‘8’ ataupun salah satu lagu di Los Skut Leboys ‘Al Dusalima,’ sepertinya lirik-liriknya terkesan religius. Mengapa?

Ade: Kalo ‘Al Dusalima’ kan Sigit yang buat liriknya. Yang memperuntukan buat rasul itu kita berdua, apa gimana gitu ya?

Sigit: Gue bilang, ‘untuk rasul, De.’

Ade: Jadi ga religius sih sebenernya. Lebih kayak homage. Homage buat Dia juga buat selama ini ngebimbing kita.

Andaikan ada seseorang mendatangi Sore terus berkata, “Eh gue dapet banget sama lirik lo. Makasih ya udah nulis!” Kalian bakal menjawab, “Job well done!” atau sekedar merasa, “baguslah.”

Ade: Nanya dulu gue. Dimananya manfaat buat lo? Pas yang dimananya? Kalo misalnya orang-orang bilang terima kasih atas sesuatu yang gue bikin, gue nanya, atas yang mananya? Secara teknikal gitu. Kenapa? Pas yang dimananya? Kalo misalnya ga ada itu, buat gue, lo mau ngeracunin gue? Dengan gula? Harus ditanya. Kalo misal gue bantu dengan penambahan lagi, gini gini gini, masih applicable ga buat lo, gitu.

Stuart Murdoch, dari band Belle & Sebastian, pernah berkata kalau band sudah mulai menyelipkan politik ke dalam liriknya, maka band itu menjadi band yang membosankan. Setujukah Sore dengan pandangan seperti itu?

Awan: Ngga.

Ade: Ngga juga sih. Tergantung. Men, Radiohead yang Hail to the Thief. Oh itu super politik!

Awan: Beatles, ‘Revolution 1’.

Ade: Kalo misalnya lo mau berpolitik, kalo emang kita mau menyuarakan hak kita sebagai citizen, kenapa ngga? Mediumnya lagu, ga kenapa-napa lagi.

Awan: Satu-satunya musisi yang ga mengusung politik: Iwan Fals.

[Semua tertawa]

Ade: Asal nonpartisan ya. Asal lo ga biased terhadap satu party.

Tidak ada intervensi dari label, sejauh ini?

Awan: Kita justru harus bekerja sama dengan label yang dimana tidak ada intervensi sama sekali.

Bembi: Kalo sampe diintervensi, kita yang cabut. Pokoknya kita harus dibiarin sendiri. Kalo ga, gue ga mau kerja sama lo. Dari dulu sampe sekarang pun begitu. Setiap label yang menaungi kita selalu melepaskan Sore dan style maennya.

Sejauh ini, saya bisa tangkap kalau ambisi, ekspektasi dan ‘kita harus’ tidak ada di kamus Sore. Musik Sore yang dulu—karena sekarang sudah berubah—selalu dilandasi ambisi itu sendiri didengar dari instrumentasi yang kompleks dan sequence serba terstruktur. Apakah, dengan keadaan sekarang untuk Sore sendiri, kalian bisa menyebut sisi positif dari ambisi itu sendiri—terlepas dari ekspektasi yang dibawanya?

Ade: Plusnya dari ambisi? Plusnya ga ada. Kalo dari suatu ambisi ga ada plusnya. Buat apa gitu? Ga ada yang digain dari situ, men, manfaatnya juga ga ada.

Bembi: Ambisi negatif ye.

Ade: Bisa dibilang. Termotivasi bagus. Terambisikan itu ancur.

Awan: Bisa masuk ke dalam the dark side. Cuman ada satu grup yang ga pernah berambisi: Trio Ambisi.

Ade: [tertawa] akan membuat seseorang merasa ga punya batas. Merasa dirinya bukan manusia, terambisikan. Termotivasi paling bagus. Termotivasi punya harapan, ambisi itu punya ekspektasi.

Oleh: Stanley Widianto
Photo: Official Facebook Sore

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *