Articles
Stereomantic 11 Tahun
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2017/04/stereomantic_11_tahun.jpg&description=Stereomantic 11 Tahun', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
“Industri musik boleh saja hancur, tapi musik takkan pernah mati. Keep the DIY spirit!”
Kutipan yang saya tulis enam tahun yang lalu, bisa jadi masih tetap berlaku meski teknologi dalam industri musik berubah bentuk. “The DIY (Do It Yourself) Spirit” adalah strategi lama dari dunia bawah tanah dalam memerangi realitas yang terjadi dalam industri itu sendiri. Menciptakan lagu sesuai selera pasar atau menciptakan pasar. Musisi tidak lagi hanya bicara tentang produkitvitas bermusiknya, lebih dari itu, musisi seolah diwajibkan untuk memikirkan strategi apa yang harus digunakan untuk memasarkan musiknya, demi menciptakan pasar baru.
Stereomantic berangkat dari ide mengaransemen lagu secara minimalis dengan menggunakan perangkat teknologi seadanya. Inilah yang menjadi acuan kami saat membungkus album pertama. Di luar dugaan, proyek seadanya ini mendapat perhatian dari sebuah label indie besar tahun 2006. Namun saat itu, kami cukup menyadari bahwa berangkat dari dunia tanpa komunitas lalu berlaga di belantara skena indie, adalah hal yang sulit. Meski demikian kami bersyukur karena pelan-pelan banyak telinga yang mendengarkan karya kami.
Mencari format yang baku untuk mencitrakan stereomantic itu sendiri juga bukan tanpa kendala. Usaha untuk terus mengeksplorasi ditebus dari panggung ke panggung, tak jarang kami kerap menuai kritik juga sanjungan. Rupanya istilah ‘kue tidak bisa dibagi sama rata’ sangat pas untuk menggambarkan situasi ini.
Belum lagi soal pembajakan. Khusus untuk yang satu ini, terus terang sulit untuk diberantas. Karya yang sudah dilepas ke publik (diunggah ke dunia maya) sejatinya akan menjadi milik publik. Kecenderungan sosial individu pun berubah seiring maraknya internet. Orang tak perlu lagi datang ke sebuah konser karena bisa di-streaming langsung via media sosial. Apalagi hanya untuk mendengarkan lagu. Banyak situs yang menawarkan jasa mengunduh lagu dari Youtube lalu mengkonversikan video tersebut ke dalam bentuk mp3. Atau situs yang mengubah mp3 di Soundcloud lalu dengan menambahkan beberapa still photo siap diunggah ke Youtube, tanpa perlu repot-repot minta ijin kepada pelaku seninya. Dan masih banyak lagi.
Bisa apa kami dengan realitas ini? Meski di lain sisi, mereka secara tidak langsung jadi perpanjangan tangan para distributor, namun tetap saja penyakit semacam ini belum ada obatnya. Pada akhirnya ‘merelakan karyanya dibajak’ adalah semacam bentuk pertahanan terakhir. Tahun 2011 kami memilih jalan untuk melepas semua karya secara cuma-cuma. “Sharing is caring”, katanya.
Berbekal pengalaman di dua proses produksi tersebut, tahun 2017 ini kami mencoba untuk membuat rilisan yang dirasa cukup ideal. Mengapa format band yang dipilih? Pertimbangannya adalah, sebuah lagu selamanya akan tetap menjadi entitas yang independen ketika dinyanyikan tanpa musik. Tinggal bagaimana seorang musisi mengeksekusinya. Baik diaransemen dalam bentuk elektronik, akustik, band, orkestra, atau apapun, ia tetap sebuah lagu. Ini semua masalah selera.
Dari situlah ide double album ini mulai dikerjakan satu-persatu, dengan tingkat kesulitan yang berbeda dari dua album sebelumnya. Kami berharap karya ini menjadi pembuka yang manis di awal tahun. Akhir kata, terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca refleksi 11 tahun perjalanan bermusik stereomantic, semoga lagu-lagu kami dapat menjadi teman perjalanan Anda.
Maria – Stereomantic