Connect with us

Album Review

Wildhorse – Delirium EP: Permulaan Mentah untuk Sebuah Igauan Rock ‘n’ Roll Meraung

Profile photo ofstreamous

Diterbitkan

pada

Ketika mendengar kata wild horse, makna yang paling umum ditangkap dari kedua kata tersebut yaitu kuda liar. Atau pun jika anda fans fanatik The Rolling Stones, pasti langsung merujuk kepada lagu hits mereka yaitu “Wild Horses”. Namun jika kedua kata tersebut digabungkan menjadi Wildhorse, maka pikiran saya langsung tertuju kepada sebuah band yang juga memiliki daya tarikan liar layaknya kuda yang berlari kencang.

Wildhorse adalah sebuah band rock ‘n’ roll/psychedelic blues yang cukup sering wara-wiri di panggung musik Makassar beberapa tahun belakangan ini. Mengutip dari liner notes album yang ditulis oleh fotografer  panggung asal Makassar yakni Muh. Indra Gunawan tentang band ini, saya baru tahu bahwa mereka sudah berdiri cukup lama, yaitu sejak tahun 2008.

Berawal dari tongkrongan yang sama, Remi Setiawan yang merupakan dedengkot dari grup ini mengajak beberapa teman-temannya untuk membentuk band. Seiring waktu, personil dan formasi terus berubah, akhirnya dengan formasi sekarang yang bertahan yakni Remi (vokal/gitar), Muh. Azhary Salam (lead/acoustic guitar), Naldy Rahman (bass), Caca (synthesizer) dan Eka Ramadhan (drum).

Setelah sebelumnya direncanakan akan dirilis pada bulan Maret 2014, Wildhorse akhirnya merilis EP debutnya bertajuk “Delirium” pada bulan April 2014 dan saya pun menyempatkan diri untuk membelinya di Kedai Buku Jenny setelah mereka memberikan info dimana bisa mendapatkan EP tersebut.

Cukup keren pemilihan kata “Delirium” ini sebagai judul album. Delirium, yang memiliki arti “igauan” dalam Bahasa Indonesia, bisa jadi memberikan pesan yang ingin disampaikan oleh Wildhorse di dalam debut EP-nya ini. Mengapa “Delirium” ? mungkin ulasan berikut memupuk keinginan untuk membeli dan mendengarkan mini album termutakhir dari Wildhorse ini.

Dibuka dengan “Tiger Eyes” yang sudah lebih dulu ada di laman Soundcloud mereka di awal tahun ini, nafas-nafas suara garage rock a la The Datsuns, Wolfmother dan Black Rebel Motorcycle Club menyatu dan membuncah tajam, walapun di intro awal lagu Remi seperti bersenandung sendiri a la Neil Young. Track ini seperti menegaskan benang merah darimana asal muasal musik yang ingin mereka tampilkan.

Lanjut dengan “White Sun” dengan tempo ballad a la The Rolling Stones dan The Racounteurs, seperti mendengar Jack White dan Mick Jagger-Keith Richards berdendang bersama mereka. Seketika track ini menjadi favorit saya yang sepertinya sangat cocok dinikmati bersama orang yang anda sayangi sambil bersantai di sore hari. Melankolis yang berpadu dengan relaksasi mungkin padanan yang tepatnya.

“Song From Green House” menjadi lagu berikutnya yang dengan tempo ballad upbeat di bagian verse namun pada saat memasuki bagian reff, gitar distorsi pun masuk menyambut vokal Remi. Menjelang akhir lagu, ada tarikan slide guitar a la Duane Allman (The Allman Brothers Band) yang terdengar beberap detik walaupun tidak sekompleks yang dibawa Duane di lagu “In Memory of Elizabeth Reed”.

Dan EP ini ditutup dengan “Gun and Crow” yang cukup eksplosif dari menit awal dan intronya seperti terinspirasi dari lagu “Dead Leaves & The Dirty Ground” milik The White Stripes.  Namun memasuki verse, terendus hawa musik rock n’ roll dari The S.I.G.I.T yang kental di sini. Tarikan vokal Remi yang serupa dengan suara khas Rekti Yoewono yang saling bersahut-sahutan dan ditingkahi akord-akord a la “12-Bar Original”-nya The Beatles dengan semburan distorsi pekat dan cepat tentunya.

Setelah mendengarkan 4 lagu keseluruhan dari mini album ini, saya pun berkesimpulan secara utuh bahwa “igauan” yang ingin dilontarkan dalam amunisi berbentuk lagu oleh Wildhorse masih mencari pakem yang pas untuk mengigau secara lebih liar lagi. Masih mentah untuk dihidangkan dalam bentuk kue rock n’ roll yang manis.

Rasa greget pun muncul setelah mendengar hasil mixing dari beberapa lagu di EP ini masih belum klop dengan karakter lagu Wildhorse. Mungkin bisa jadi di album berikutnya, mereka harus menemukan sound yang betul-betul pas untuk mereka, mungkin saja sound yang lebih vintage untuk memberikan atmosfir yang pas untuk lagu-lagu mereka.

Pengemasan (packaging) pun menjadi  point  yang krusial untuk sebuah rilisan fisik. Itu sudah pasti. Kalau tidak menarik, orang bakal malas untuk membelinya apalagi menyentuhnya untuk sekedar melihat saja. Dan EP “Delirium” ini dilihat dari tampilan luarnya dengan  front cover yang artwork-nya sangat keren dan bisa dijadikan disain untuk baju t-shirt resmi mereka. Lolos verifikasi  untuk menarik minat orang untuk menyentuhnya dan membelinya.

Namun, tak ada gading yang tak retak. Setelah membuka dan melihat bagian dalamnya, langsung saja saya agak sedikit kecewa (tapi ini secara pribadi, mungkin saja anda tidak). CD yang menjadi suguhan paling utama sepertinya tidak dikemas dengan baik. Bisa dimaklumi kalau ini adalah self-released, namun alangkah baiknya jika CD yang memiliki posisi krusial ini tidak di-burning dengan CD data dengan merk yang masih mengintip dari balik CD. Untung saja, artwork yang keren a la sampul album American Beauty milik The Grateful Dead menutup bagian atas dari CD itu. Jadi sedikit terobati melihatnya.

Selain itu, tidak adanya lyric sheet yang disertakan kali ini dalam insert CD -ataukah mungkin bakal mereka bagi di website mereka-, membuat saya yang ingin ber-sing along pun mengurungkan niat karena pelafalan bahasa Inggris Remi belum terdengar jelas saat didengar. Mungkin bila ada lyric sheet, bakal beda ceritanya.

Terlepas dari semua permasalahan teknis di atas yang masih perlu perbaikan sana-sini agar igauannya lebih meraung,  saya patut mengacungkan jempol dan mengangkat topi untuk Wildhorse. Seperti yang mereka cantumkan di plastik pembungkus CD ini, mereka bekerjasama dengan sebuah perusahaan jasa pelayanan antar cepat untuk menghelat program sedekah Sedekah Super Service Berbagi Nasi untuk orang-orang yang membutuhkan, yang donasinya berasal dari seluruh penjualan EP “Delirium”. Ini membuktikan musisi rock tidak melulu ditasbihkan dengan ugal-ugalan yang negatif, tapi juga masih punya sisi perikemanusiaan yang positif.

 

Teks: Achmad Nirwan

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *