New Tracks
Angkat Isu Polarisasi Di Masyarakat, Cat’s Paw Kembali Dengan Single “Fight Hate”

- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2025/03/Cats-Paw.jpg&description=Angkat Isu Polarisasi Di Masyarakat, Cat’s Paw Kembali Dengan Single “Fight Hate”', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
Media sosial, konsumerisme, dan krisis identitas adalah penyebab utama manusia terjebak dalam kebencian yang membutakan dan memenjarakan mereka. Lagu ini hadir untuk menjadi seruan tajam terhadap fenomena kebencian buta yang dipicu oleh media sosial yang menggerus nilai kemanusiaan.
Lewat lirik provokatif seperti “Who is right, who is wrong? I don’t give a f*ck”, Cat’s Paw mengajak pendengar untuk melepaskan diri dari jerat labelisasi dan konflik horizontal, serta menyadari bahwa musuh sesungguhnya adalah sistem korup yang menindas.
Kevin, vokalis dan gitaris band, menjelaskan bahwa ide lagu ini lahir dari keprihatinan terhadap polarisasi di masyarakat.
“Kita hidup di era di mana media sosial jadi panggung saling hujat. Orang sibuk menilai siapa salah dan benar, tapi lupa bahwa kebencian itu justru mengalihkan perhatian dari akar masalah: sistem yang mencuri hak rakyat, mengorupsi, dan menghisap sumber daya,” ujarnya.
Bassis Saras menambahkan, “Krisis identitas membuat banyak orang mencari ‘kelompok’ dengan membenci pihak lain. ‘Fight Hate’ adalah pengingat bahwa kebersamaan hanya bisa dibangun dengan empati, bukan kebencian.”
Single ini memiliki nuansa punk rock yang kuat: dentuman bass Saras yang mengguncang, permainan drum agresif Fajar, serta riff gitar Kevin dan Iky yang penuh emosi terkontrol. Di bagian chorus, teriakan “RUN!!! RUN!!! RUN!!!” diulang seperti mantra, mencerminkan dorongan untuk melarikan diri dari siklus kebencian.
“Kami ingin musiknya tak cuma didengar, tapi dirasakan. Intro gitar satu menit di awal adalah representasi kekacauan, lalu chorus jadi momentum pembebasan,” papar Iky, gitaris rhythm.
Terbentuk pada 2019, Cat’s Paw berawal dari kejenuhan empat mahasiswa terhadap kehidupan perkotaan Jakarta yang individualistis. “Kampus itu mikrocosmos masyarakat. Kami melihat hipokrisi, tekanan sosial, dan kesepian yang disembunyikan di balik gemerlap ibukota. Musik jadi pelampiasan,” kisah Fajar, drummer.
Meski terinspirasi dari legenda punk seperti Sex Pistols dan Ramones, mereka juga menyelipkan elemen musikalitas ala Prince dan Michael Bolton untuk menciptakan dinamika unik. “Punk bukan cuma soal tempo cepat. Ada ruang untuk melodi yang dalam, seperti di bridge lagu ini,” tambah Kevin.
Lirik-lirik Cat’s Paw kerap menyoroti sisi personal yang jarang diangkat genre punk, mulai dari kisah patah hati, pelarian diri, hingga kritik terhadap kemunafikan.
“Punk bagi kami adalah medium jujur. Kami tak ingin terjebak dalam romantisasi pemberontakan kosong. ‘Fight Hate’ adalah bentuk protes sekaligus ajakan introspeksi: siapa diri kita di tengah hiruk-pikuk kebencian?” tegas Saras.
Dengan penampilan khas jaket kulit, rambut spikey, dan performa enerjik, Cat’s Paw berambisi menjadikan punk sebagai “ruang aman” untuk semua kalangan.
“Punk sering dianggap eksklusif untuk mereka yang marah. Kami ingin meruntuhkan stigma itu. Di tengah masyarakat yang semakin terfragmentasi, musik harus jadi jembatan,” ujar Fajar. Single “Fight Hate” adalah manifesto perlawanan terhadap dehumanisasi.
Di tengah gempuran algoritma media sosial yang kerap memicu echo chamber, Cat’s Paw percaya bahwa musik tetap punya kekuatan mempersatukan.
“Konsumerisme telah mengubah manusia jadi mesin konsumsi, termasuk ‘melahap’ kebencian. ‘Fight Hate’ adalah tamparan: stop jadi budak sistem, mari kembali menjadi manusia yang merdeka,” tutup Kevin.
Dengan semangat ini, Cat’s Paw tak hanya membawa gelombang baru punk rock Indonesia, tapi juga mengajak pendengar untuk merefleksikan ulang arti kemanusiaan di zaman yang kian terpecah.