Articles
Bercerita Tentang Pertunjukan Musikal di Aceh
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2014/03/DIDoNG.jpg&description=Bercerita Tentang Pertunjukan Musikal di Aceh', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
Perjalanan singkat Saya pada pertengahan bulan September 2013 di Banda Aceh memberikan kesan yang begitu mendalam. Pada suatu kesempatan Saya menonton pertunjukan Didong di Taman Budaya Banda Aceh yang diselenggarakan oleh komunitas masyarakat Gayo.
Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai semua tindakan yang secara sengaja dilakukan komunikator untuk menyampaikan rangsangan untuk membangkitkan respons orang lain. Sedangkan musikal, secara harafiah dapat dipahami sebagai sebuah tindakan yang mengedepankan sikap yang mengandung pola-pola atau unsur perbuatan musik.
Bagi seorang musisi tindakan musikal sudah mendarah daging dan dapat dipahami dari tingkah laku dan pola gerak tubuh mereka. Kita dapat memahami gerak tubuh orang negro Amerika yang berirama seolah bernyanyi, juga pada pesepak bola Brazil yang sangat berirama ketika mereka bergerak membawa bola maupun tanpa bola.
Didong sejatinya merupakan seni pantun yang dalam beberapa bagian menggunakan tubuh sebagai instrumen untuk memperkuat dan memegang irama. Tubuh diperlakukan sebagai perkusi (body percussion) dengan memukulkan tangan pada bagian anggota badan dengan pola irama tertentu dan cukup kompleks, sehingga bunyi yang dihasilkan saling bersahutan, menindih, terkadang menabrak antara satu irama dengan irama lainnya, akan tetapi kemudian irama tersebut kemudian menyatu dalam sebuah kekuatan vertikal memperkuat pantun-pantun yang di bunyikan.
Walaupun tidak ada susunan nada vertikal seperti halnya dalam tradisi musik barat, dimana hal itu biasanya dikenal dengan chord. Susunan pola vertikal dalam Didong dibangun dengan pola membunyikan atau melagukan pantun, yang dimulai oleh seseorang kemudian disambung oleh anggota dengan bersahutan kemudian diimbangi bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh tubuh.
Dalam konteks tersebut para seniman Didong tidak saja melakukan sebuah komunikasi di antara mereka, akan tetapi mereka membangun sebuah komunikasi dengan audience juga dengan pola-pola musikal yang dihasilkan, sehingga penonton turut larut dalam persoalan pertunjukan tersebut.
Bangunan komunikasi musikal para seniman Didong dipertautkan dengan pola gerak tubuh yang ritmis, sahutan vokal yang saling menimpali satu dengan lainnya, juga pukulan-pukulan dengan rasa irama yang sangat tinggi antara satu pemain dengan pemain lainnya.
Komunikasi musikal berikutnya adalah sahutan selaras yang dimainkan oleh kelompok Didong lainnya untuk menjawab permainan kelompok didong yang berhenti karena waktu yang ditetapkan telah habis. Model komunikasi kedua kelompok ini secara musikal berusaha saling berbeda dalam memainkan irama dan tentu saja syair yang di lantunkan, akan tetapi apabila ditinjau konteks kedalaman rasa irama yang dimainkan, komunikasi yang ditawarkan saling terhubung oleh pola rasa irama yang kuat pada masing-masing kelompok.
Sebagai pelaku seni, mereka pun telah melakukan sebuah komunikasi estetetik yaitu dengan ditawarkannya pola-pola sentuhan irama saling bersahutan, saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Komunikasi estetik sendiri merupakan suatu bentuk relasi nilai-nilai yang dimaknai oleh pelaku seni dan publiknya dalam suatu peristiwa seni pertunjukan.
Keterlibatan penonton dalam pertunjukan tersebut dengan turut memberikan semacam saweran kepada kelompok yang sedang melakukan pertunjukan, merupakan sebuah interaksi relasional di mana terjadi kesepakatan estetik yang ditawarkan oleh performer.
Bentuk –bentuk interaksi tersebut sering terjadi dalam pola-pola pertunjukan yang tumbuh pada masyarakat di Indonesia sebagai bentuk kekaguman dan supporting. Hal ini sering terjadi pada pertunjukan Tayuban di masyarakat Jawa.
Bentuk support tersebut merupakan pola komunikasi tersendiri, di mana para pelaku seni akan mendapatkan kebanggaan dengan banyaknya partisipasi penonton tersebut. Dalam konteks ini penonton pun merasa turut memberikan andil dan penilaian dalam kapasitas dan kadar tertentu. Dengan demikian komunikasi estetik dalam seni pertunjukan tidak sekadar perhatian terhadap bentuk, namun isi dan penyajiannya yang memiliki makna dan nilai “indah” bagi segenap masyarakat pendukungnya.
Didong kiranya menjadi salah satu bentuk unifikasi seni pertunjukan yang tumbuh dengan baik di lingkungan masyarakatnya. Generasi muda yang tampil pada pertunjukan tersebut didampingi oleh generasi yang lebih ahli merupakan sebuah pola transfer keilmuan paling efektif dalam membangun dan mengembangkan kesenian bagi generasi berikutnya. Ditengah gempuran budaya pop yang makin kuat, kiranya keberadaan Didong mampu menjadi salah satu oase. Salut dan terimakasih teman-teman Gayo, Saya kan datang lagi untuk Didong dan kesenian lainnya.
Djaelani, musikolog & pengajar musik di UNPAS Bandung
*foto: lintasgayo