Connect with us

Interviews

Dialog Dini Hari: Cerminan Spiritual Sang Pohon Tua

Diterbitkan

pada

Dadang SH Pranoto, atau yang akrab disapa Dankie, dikenal sebagai gitaris band grunge paling berani di Pulau Dewata Bali, Navicula. Disana dia bermain keras dan cadas. Namun di proyek satu ini, Dialog Dini Hari (DDH), yang telah menelurkan dua album, Dadang bertransformasi menjadi sosok Pohon Tua. Dimana dia lebih mengeluarkan sisi spiritual nan halus dalam lirik dan musiknya. Di usai penampilannya, dimana Dialog Dini Hari rutin tampil tiap Rabu malam di Art Café Seminyak Bali, Gigsplay berkesempatan bertukar obrolan dengan sang frontman. Masih lengkap dengan ikat kepala yang menjadi trademarknya. Dua anggota yang lain, Deny Surya dan Brozio Orah berhalangan untuk ikut dalam wawancara kali ini karena masih ada urusan lain. Simak obrolan kami, Rabu (25/04), dimana Dadang bercerita tentang perenungan akan Tuhan, keberagaman sosial, dan album ketiga yang dibuat terbatas.

Setelah Perspektif Pelangi bersama Nosstress, apakah akan ada gebrakan lain lagi dari DDH ?

Sebenarnya tur DDH itu sudah jalan dari dua tahun yang lalu. Sebelum sama Nosstress kita sudah bikin tur sendiri. Jadi, itu biasanya kita arrange akhir tahun, kalau tidak November,  ya Desember. Kita arrange jadi semacam mini tour lah, paling banyak itu sebenarnya empat tempat. Memang karena kemarin ada kepentingan untuk bantu Nosstress yang baru saja mengeluarkan album dan kebetulan waktu itu kita baru merilis single “Pelangi”, jadi ya sekalian saja.

Mengapa tercetus ide untuk mengadakan tur ke sekolah-sekolah dan kampus seperti itu?

Karena begini, banyak banget market yang belum kita sentuh. Dalam hal ini, kemarin tujuan kita adalah bagaimana mencari, membangun, atau memberikan sesuatu ke anak-anak (sekolah) ini. Dan sebenarnya yang tidak kita duga adalah mereka sudah tau semua tentang (materi lagu-lagu kita) ini.  Jadi, untuk have fun sajalah.  Tapi karena ini ngomongin marketing band, ini kan pasarnya paling bagus ya. Karena mereka masih mau membeli CD, kalau yang sudah kuliah mungkin malas untuk hal yang seperti itu.

Saat tur kemarin, CD yang dibawa banyak yang terjual?

Banyak, banyak banget. Semuanya, CD Nosstress, Dialog. Jadi aku pikir ini bagus banget. Dan itu biaya turnya sendiri. Kita tidak ada sponsor. Kita dapat sponsor itu cuma dari produser. Kebetulan yang memproduseri Dialog dan Nostress ini sama, Antida. Kita dapat support alat, dan kita bayar uang produksi. Dan ini murni dari kantong kita sebagai band, tidak ada tambahan duit darimanapun.  Terus kenapa dikasih nama Persepktif Pelangi, karena albumnya Nosstress kan “Perspektif Bodoh” , dan kita mengeluarkan single “Pelangi”, jadi digabung sekalian saja.

Kalau saya lihat, album kedua lebih ke semacam perenungan. Pada artwork albumnya, Lirih Penyair Murung, disana tiap lagu mendapat visualisasi masing-masing. Di lagu yang berjudul sama, terlihat sosok seorang Dadang menatap lirih ke luar jendela. Bercerita tentang apa ?

Kalau album kedua itu sebenarnya salah ngelipat ya (tertawa). Sebenarnya bagian luarnya hanya logo Dialog Dini Hari. Artwork Lirih Penyair Murung di bagian dalam. Itu isinya lima lagu plus satu lagu bonus. Jadi didalamnya kenapa ada banyak gambar, tiap lagu punya kovernya masing-masing, jadi itu tujuannya si pembeli CD ini bebas untuk menaruh kover mana di bagian depan. Untuk tema di album kedua memang lebih ke perenungan, bagaimana melihat Tuhan, melihat manusia, dan sekitar. Poin semua itu ada di lagu “Manuskrip Telaga”, dimana saat kamu melihat Tuhan didalam diri sendiri, kamu juga bisa melihat itu di diri orang lain. Kamu melihat kebaikan pada dirimu sendiri, berarti ada kebaikan juga di orang lain. Dan lima lagu di album itu sebenarnya mewakili lima agama yang ada di Indonesia. “Lirih Penyair Murung” itu nabi-nabinya semua. “Manuskrip Telaga” lebih ke Islam Sufi. Kalau “Nyanyian Langit” lebih ke Hindu. “Aku Adalah Kamu” ini Tat Twam Asi, di Budha juga dia kuat. Dan yang terakhir itu “Menutup Tirai”, dia lebih gospel, lebih Kristiani. Itu semua bukan berarti gue nggak punya agama ya (tertawa).

Tidak Percaya Tuhan?

Nggak, nggak gitu juga. Teoriku sebenarnya ada di Manuskrip Telaga. Mental album itu keseluruhannya ada di Manuskrip Telaga. Dimana aku bilang kalau Tuhan itu tidak punya nama. “Berikanlah aku nama terindah saat kau menyebutnya”, begitu aku tulis disitu. Jadi maksudnya, lo beri gue nama nih, apapun. Karena Tuhan itu memang tidak punya nama. Ibaratnya gini nih, telaga, kamu datang minum, pergi lagi, datang minum lagi, pergi lagi. Dan dia (telaga) tidak pernah komplain. Sebenarnya telaga itu ya Tuhan itu sendiri.

Lagu Aku Adalah Kamu menarik perhatian. Selain karena featuring Kikan, juga karena perumpamaan yang disampaikan lewat lirik. Masalah apakah yang diangkat sehingga melahirkan lagu tersebut?

Iya seperti yang aku bilang tadi, bagaimana kamu melihat diri kamu dan bagaimana melihat orang lain. Pemahaman antara manusia ke manusianya ini yang harus dicermati. Waktu itu kalu tidak salah proses pembuatan lagunya saat banyak kejadian, ada perang Indonesia-Malaysia lah, ada ormas-ormas seperti FPI rebut sama Ahmadiyah. Pokoknya waktu suasananya lagi kacau. Aku sendiri ya geli. Aku sendiri terlahir Islam, makanya saat ada masalah NU, Ahmadiyah, aku ya ketawa-ketawa saja. Pernah ditanya juga sama wartawan Rollingstone, “Dang, Islam kamu yang mana?”, aku jawab, “Islamku Islam yang psikedelik” (tertawa).

Keberagaman sosial di Indonesia dimata Dadang sendiri seperti apa?

Kompleks. Ribet. Seperti yang aku bilang tadi, kalau kita melihat ada kebaikan di dalam dirimu sendiri, pasti ada kebaikan juga di orang lain. Kalau kita melihat diri kita jahat, otomatis lihat orang juga jahat, orang itu juga bisa jahat sama kita. Maksudnya bagaimana kita menambah angle-angle melihat suatu objek, entah itu manusia atau apa. Bagaimana kita melihat agar bisa menjadi energi-energi yang positif buat kita. Bagaimana kita bisa menghormati, bisa menghargai, bagaimana kita bisa melihat perbedaan. Itu yang terpenting. Sama seperti sebuah komunitas, atau keluarga, suami-istri, kan tidak ada yang memiliki sifat yang sama. Yang ada sebenarnya mencocokkan diri. Jika orang sudah bisa mencocokkan diri, itu berarti tingkat fleksibelitasnya sudah tinggi.

Konflik sosial yang ada itu karena orang-orangnya tidak bisa mencocokkan diri?

Iya. Mereka tidak bisa beradaptasi sebenarnya. Ini sudah aku bahas di album pertama, di lagu Renovasi Otak. Dimana kita melihat perbedaan ini menjadi sesuatu yang antik. Sekarang bayangkan kalau semua orang mukanya sama semua, nggak mau gue hidup di dunia ini (tertawa). Males banget kan. Nggak seru. Anggaplah seperti itu.

Berbicara tentang keberagaman, ada pendapat bahwa blantika musik  khususnya di Bali cenderung homogen, sedikit warna. Tanggapan anda?

Oh nggak. Kalau aku ngeliatnya nggak sih. Secara pribadi sebagai musisi, dua tahun belakangan ini sudah lebih banyak warnanya. Banyak hal sebenarnya yang membuat orang-orang Bali lebih beruntung dibandingkan daerah lain. Satu, pariwisata. Bali menjadi semacam melting pot, jadi bisa mengumpulkan banyak orang, banyak negara, beda tradisi, beda ilmu di musik. Bali sudah cukup beraneka ragam.

Mungkin yang terdengar di luar hanya beberapa musik/band saja.

Nah masalah yang ter-ekspose ini kembali ke media. Atau bandnya juga, bagaimana mereka bisa mempromosikan diri, bagaimana mereka bisa melihat bahwa ngeband itu bukan hanya ngeband saja. Seperti aku misalnya, kalau hanya memikirkan kreasi-kreasi, tidak memikirkan bagaimana cara jualnya, aku nggak akan cari manajer (tertawa). Karena bagi aku karya itu tidak ada yang segmented, selalu ada pasar, selalu ada orang yang akan beli. Tapi bagaimana caranya itu bisa terjadi kan memang butuh bantuan dari orang lain, karena kerjaan kita hanya bikin lagu. Dalam hal ini memang kerjaannya orang-orang manajemen ini.  Satu manajemen yang besar kan banyak sub-subnya. Ada road manager, stage manager, manager groupies (tertawa), belum lagi kru. Itu semua pasti ada yang manage. Kalau aku sih di Dialog ini aku Cuma pakai satu orang, jadi dia juga yang punya peranan penting untuk berhadapan dengan media, bagaimana dia mempromosikan. Sekarang tergantung bandnya sendiri, ini untuk senang-senang atau memang membuat musik ini menjadi besar. Bagiku sebenarnya naluri seniman yang paling fundamental itu adalah bagaimana sebuah karya itu bisa dilihat, didengar, dirasakan secara luas. Aku nggak percaya musik itu yang perfeksionislah, idealis, apalah. Idealis dalam seni itu sekarang sudah rancu. Misalkan ada EO yang mengundang, kamu dibayar, diberi kontrak, itu sudah tidak idealis. Itu sudah masuk ranah industri, ranah entertaint.

Kita tahu bahwa DDH lahir dan besar di dalam komunitas. Seberapa penting keberadaan sebuah komunitas menurut anda?

Iya penting banget. Cuma saja sekarang bagaimana caranya agar kita tidak stuck di satu komunitas. Misalnya seperti ini, kita membangun sebuah komunitas dan mulai menggeliat, dan bukan berarti kita akan terus disitu terus. Karena komunitas inipun kalau tidak melihat ke komunitas lain, tidak akan berkembang.

Balik lagi ke Tur Perspektif Pelangi. Bisa dikatakan itu menjadi misi tersendiri buat DDH, untuk mengenalkan single Pelangi yang juga sebagai jembatan untuk album ketiga. Apakah strateginya seperti itu?

Iya. Pelangi itu memang jembatan ke album ketiga, tapi karena tradisi kita yang tiap akhir tahun itu, jadi ya sekalian. Jadi tur ini ada bahan nih. Kalau tur yang terdahulu ya nggak ada bahan, cuma tur begitu saja.  Tur yang sekarang sekalian untuk ajang promo single Pelangi itu juga.

Kapan album ketiga akan dirilis?

Awal Juni 2012. Itu kita akan rilis di Jakarta, di Jaya Pub. Nama albumnya sendiri “Lengkung Langit”. Ini lebih ke mini album sebenarnya. Isinya cuma empat lagu. Dan ini akan dibikin terbatas, hanya 200 buah saja.

Bagaimana dengan materi yang akan disuguhkan?

Lagi seneng nih (tertawa). Pokoknya lagi seneng kita. Pada lagi seneng memikirkan bagaimana menyatukan banyak hal kecil yang ajaib itu menjadi sebuah kebahagiaan baru yang sederhana. Jadi di album ini ngomongin tentang masalah bagaimana kita mensyukuri sesutau dengan cara yang lebih sederhana. Dan “Lengkung Langit” itu sendiri diambil dari salah satu judul lagu yang ada di album. Lagu itu mewakili satu album itu sebenarnya. Tema yang diangkat lebih tentang rasa bersyukur.

Tulisan: Eric de Sona

Foto: Indra Gunawan

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *