Connect with us

Interviews

Tulus: Saya Selalu Menikmati Penampilan Saya

Dipublikasikan

pada

Muhammad Tulus atau akrab disapa Tulus, penyanyi pendatang baru asal Bandung ini tengah mencuri perhatian publik belakangan ini. Tim Gigsplay berkesempatan mewawancarai Tulus selepas ia tampil pada gelaran Espose di Sabuga Bandung, 28 April lalu. Berikut ini wawancara Tulus bersama kontributor Gigsplay, Bobbie Rendra.

Apakah musik Tulus itu beraliran jazz?

Saya ga ada maksud untuk bermusik di koridor jazz. Karena kalo misalnya kamu tanya saya, apa artinya jazz itu, saya ga tau artinya. Menurut saya, jazz itu cuman interpretasi orang-orang aja sih. Ketika mereka melihat ada musik yang sedikit rumit, dengan chord-chord dan pola permainan yang ga terlalu ramah di kuping, maka mereka akan berpikir bahwa itu adalah jazz. Dalam musik Tulus, hal-hal tersebut bukanlah kesengajaan dari saya. Karena jujur saja, konsep musik saya ini tidak datang dari saya pribadi.

Apa pendapat Tulus tentang genre musik pop-jazz / jazzy-music yang semakin ke sini semakin jadi semacam “mainstream genre”, khususnya di kalangan musisi-musisi ABG yang masih terbawa arus trend / musim dalam bermusik?

Sebenarnya, dari dulu juga band-band pop-jazz itu sudah banyak kali. Tapi dulu itu, belum ada band/musisi yang bener-bener bisa menggebrak industri permusikan tanah air. Nah sekarang, udah ada nama-nama band yang muncul di industri, dan terhitung sukses mengusung genre pop-jazz. Sehingga, orang-orang yang tadinya belum berani merilis karya-karyanya, sekarang jadi keluar rame-rame di waktu yang bersamaan. Menurut saya pribadi sih, kalaupun musik pop-jazz jadi pasaran, ya gak apa-apa juga sih. Karena di Indonesia ini sebenarnya selalu ada tempat untuk musik dengan jenis aliran apapun. Semuanya bakal kebagian “pasar” kok.

Tapi mungkin “pasar-pasar” di sini memiliki jumlah penggemar yang berbeda-beda ya, Mas?

Pastinya. Sebagai contoh, kita lihat sama-sama, kenapa musik disko dari dulu sampai sekarang ga pernah mati. Alasannya, jumlah orang yang suka sama musik disko dari dulu sampai sekarang itu justru semakin tambah banyak. Di satu sisi, yang sukanya banyak. Dan di sisi lain, yang berkaryanya juga banyak.

Jadi apakah seorang Tulus setuju dengan statement, bahwa ukuran kemajuan untuk suatu genre/scene music itu ditandai dengan jumlah musisinya yang bertambah banyak, karya-karyanya, bukan sebatas kuantitasnya doang?

Setuju. Mau di dunia jazz, pop, rock, atau di mana pun, ketika para seniman memberanikan diri untuk banyak berkarya di genre itu, berarti itu sebuah kemajuan untuk si genre tersebut.

Jadi saya tegaskan ya, bahwa Tulus sendiri yang mengakui bahwa musik anda itu tidak diklaim sebagai jazz ya?

Ya, musik saya bukan musik jazz. Tapi jika ada yang mengartikan sebagai musik jazz, ya boleh-boleh saja, silahkan-silahkan saja, hehe.

Musisi yang jadi influence-nya Mas Tulus siapa aja sih?

Saya dari kecil banyak banget dengerin lagu-lagu dari pemberian Ibu saya. Saya sering dikasih CD dan kaset, dan itu dari berbagai genre musik. Banyak banget sebenernya. Jadi, agak susah kalau mereka semua harus dikerucutkan untuk menjawab siapa influence saya.

Album Tulus yang sekarang itu baru release kapan sih, Mas? Ceritain dikit dong, proses “meledak”-nya, hehe.

Album tersebut rilis akhir 2011, masih baru sih. Saya rilis di Bandung, dan ga pernah terpikir bahwa album saya bisa beredar di Jakarta juga. Nah, yang design cover albumnya tuh fotografer satu ini, Adit namanya (Tulus menunjuk ke seseorang yang duduk di belakangnya; -pen.), hehe. Iya, tadinya saya hanya ingin rilis di Bandung aja. Eh, setelah diedarkan di Jakarta, ternyata lumayan juga. Yasudah, akhirnya saya cetak ulang lagi untuk khusus rilis di Jakarta.

Berdasarkan penampilan Tulus barusan, anda tampak sangat berkharisma dan matang di atas panggung. Seakan anda sudah jadi musisi yang sudah lama eksis, tidak tampak seperti seorang “newcomer”. Rahasianya apa sih, Mas? Hehe.

Dari awal saya pertama kali mencoba untuk nyanyi di atas panggung, pas saya kecil, sekitar pas kelas 3 atau 4 SD, saya selalu menikmati penampilan saya. Tentunya sebagai diri saya sendiri. Saya dari kecil diajarin nyanyi sama Ibu saya. Sehingga saya sangat mencintai seni khususnya bernyanyi. Kamu harus denger suara ibu saya, bagus banget loh, serius, hehe. Ya, itu tadi intinya, saya sangat menikmati semua kesempatan yang saya dapat untuk bisa bernyanyi di depan khalayak ramai. Dari dulu sampai sekarang, saya selalu mampu untuk menikmati semua penampilan saya di atas panggung.

Sebagai penyayi solo yang juga merangkap sebagai song-writer di album Mas Tulus sendiri, saya memperhatikan bahwa lirik-lirik lagu dari Tulus itu agak berbeda. Ada sedikit sentuhan story-telling atau semacam musikalisasi cerita dalam lirik-lirik yang TULUS buat. Bisa sedikit berbagi cerita, tentang proses penulisannya? Hehe.

Mayoritas lirik-lirik yang saya tulis itu awalnya berasal dari essay. Saya memang suka menulis cerpen. Nah, dalam menulis cerita, kita pasti bikin kerangka karangannya dulu kan?! Nah, si kerangka karangannya itu merupakan point-point yang nantinya menjadi bagian-bagian penting yang layak dalam lirik-lirik lagu saya. Kalau kamu merasa lirik-lirik yang saya tulis itu seperti story-telling, berarti pesan saya sampai. Dan saya pun menyampaikannya betahap. Ada bagian perkenalannya dulu, bagian konfliknya, lalu penyelesaiannya. Saya mengkonsep lagu saya seolah ada storyline tersendiri.

Jawaban-jawaban dari Mas Tulus cukup inspiratif ya untuk kita semua, hehe. Oh iya, harapan TULUS melalui karya-karyanya untuk permusikan Indonesia?

Saya cinta banget sama Indonesia, dan saya ingin jadi bagian dari sejarah yang baik dalam pergerakan dunia musik Indonesia.

Last question ya Mas, Tulus kini semakin digandrungi oleh fans-fans wanita dalam jumlah yang tidak sedikit. Apakah faktor tersebut memang sudah diperkirakan dan direncanakan sebagai salah satu upaya Mas Tulus untuk bisa survive di dunia musik?

Itu benar-benar terjadi di luar perkiraan saya loh. Karena setiap saya berkarya, saya tidak pernah menjadikan target pendengar sebagai titik awal dalam proses berkarya itu sendiri. Karena kalaupun saya begitu, peluang untuk eksplorasi dan “bermain-main” di banyak ruang kreasi akan menjadi lebih sempit. Saya hanya membiarkan semuanya berjalan dan mengalir begitu saja.

Jadi titik awal berkaryanya itu justru bermula dari ekspresi saja ya?

Iya. Dan saya hanya akan menyampaikan apa yang saya ingin sampaikan.

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *