Connect with us

Interviews

The Pains of Being Pure at Heart: “Kami Tidaklah Selalu Seperti Anak Kecil

Dipublikasikan

pada

Sejak awal kemunculannya lewat debut album selftitled pada 2009 silam, The Pains of Being Pure at Heart (TPOBPAH) terus menambah akselerasi lejit namanya dalam trek perjalanan musik mereka. Walaupun sejalan dengan itu mereka terus dibanding-bandingkan dan dianggap sebagai reinkarnasi modern dari band-band berisik tapi manis 80-90an seperti My Bloody Valentine, Jesus and Mary Chain, dan Ride. Memang, mereka menawarkan kembali suara-suara yang pernah dituhankan oleh Kurt Cobain itu, dengan rasa baru racikan dapur New York. Romansa twee pop berbalut kebisingan yang dirindukan banyak orang, yang juga menjadi jawaban atas rahasia bagaimana mereka dapat melejit begitu cepat dalam waktu yang begitu singkat. Selain peran besar internet tentunya.

Kip Berman (vokal/gitar), Peggy Wang (vokal/kibor), Alex Naidus (bas), dan Kurt Feldman (drum) seperti menyisakan dan masih menyimpan sisa-sisa rahasia kesuksesan album perdananya untuk disuntikan ke dalam album kedua mereka yang dirilis dua tahun kemudian. Dirilis pada awal 2011, album kedua ini bertajuk Belong. Dan mengikuti jejak album sebelumnya, album ini pun juga langsung basah diguyur berbagai pujian yang pada akhirnya juga membawa TPOBPAH berkeliling dunia untuk tur promosinya. Jakarta pun jadi bagian dalam rute panjang itu.

Ditemui di Balai Sarbini, Jum’at 2 Maret 2012,  kemarin, beberapa jam sebelum penampilan perdananya di Jakarta, tanpa Peggy dan Kurt yang sedang beristirahat, Kip dan Alex dengan sangat ramah meluangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kami seputar album Belong, tren kaset dan sound lo-fi, hingga apakah ada hubungan antara mereka dengan Manic Street Preachers.

Apakah kalian masih selalu dibandingkan dengan semacam My Bloody Valentine dan Jesus and Mary Chain? Apa sebenarnya pendapat kalian tentang ini?

Alex  : Ya tidak masalah. Kami bisa mengerti mengapa kami selalu dibandingkan dengan nama-nama itu, kami sangat mengerti. Kami memainkan musik yang sama. Pop dengan banyak noise, gitar yang keras, dan suara-suara yang dreamy dan flashy . Harus diakui mereka juga lah yang menginspirasi kami. Jadi kami sangat mengerti.

Dengan sound 80-90an kalian, apakah pernah terpikir untuk merilis LP atau EP dalam format kaset?

Kip  : Saya rasa dulu kami pernah memikirkan tentang ini. Namun, bagaimana ya, saya mengakui kalau kaset memang keren dan iconic, tapi saya juga sangat “merayakan” masa di mana kita hidup sekarang ini, di mana kita bisa menaruh semua koleksi lagu kita ke dalam ponsel masing-masing, dan mendengarkannya di manapun. Namun karena kami begitu sering melakukan tur, di dalam kepala kami yang bisa dipikirkan hanyalah segala hal yang ringkas dan harus mudah untuk dilakukan. Saya tidak bisa mendengarkan kaset atau piringan hitam saat berada di pesawat, tapi saya bahkan bisa mendengarkan lebih banyak lagu melalui iPod. Dan mungkin dalam delapan tahun mendatang, orang-orang akan memperlakukan CD-R selayaknya yang mereka lakukan terhadap kaset atau piringan hitam saat ini. Karena CD-R murah, mudah untuk digandakan, mewakili suatu era, dan lain-lain. Semua hal itu lebih seperti sesuatu yang semu dan temporary atas keinginan untuk mendatangkan kembali apa yang sudah berlalu. Menurut saya ini adalah sebuah ironi.

Alex  : Ya sebenarnya kami pernah membicarakan hal ini. Namun akhirnya kami memutuskan untuk mengurungkannya (tertawa).

Tahun berapa waktu itu?

Alex  : Sekitar setahun atau dua tahun yang lalu. Kaset adalah format yang cukup menarik bagi kami, namun akhirnya kami memutuskan untuk tidak mewujudkannya karena kami pikir sudah tidak masuk akal lagi merilis sebuah kaset di tahun 2012 ini.

Kenapa tidak?

Alex  : Kebanyakan orang sudah tidak punya tape pemutar kaset.

Tapi maraknya tren sound lo-fi sekarang ini saya rasa cukup mendukung untuk kembali menjual kaset

Alex  : Saya tetap belum yakin. Tapi mungkin kami akan memikirkannya nanti.

Apakah sound lo-fi cocok untuk musik kalian?

Alex  : Saat pertama kali memulai band ini, itu bukanlah benar-benar suatu pilihan. Dulu kami melakukan rekaman di gudang bawah tanah milik teman kami, dan saat itu band-band yang sedang kami dengarkan juga memainkan musik-musik yang kasar dan ‘homemade‘ sekali, bukan yang besar dan megah. Tapi kami juga suka dengan yang seperti itu. Jadi ini bukanlah suatu pembentukan yang rumit, hanya apapun yang sekiranya cocok dengan lagu yang sedang kami kerjakan waktu itu ya kami masukkan. Dan ini terus kami lakukan hingga sekarang. Jadi kami tidak bisa mengatakan apakah lo-fi cocok untuk kami atau tidak. Semua tergantung pada saat pengerjaan lagu. Saat kami rasa untuk di lagu ini cocok, kami masukkan. Begitupun sebaliknya.

Tapi apakah Anda tertarik untuk memasukkannya sedikit di rilisan berikutnya?

Alex  : Mungkin saja. Bila itu bisa cocok di lagu-lagu tertentu. Namun mungkin tidak akan seperti album pertama, karena itu adalah masa-masa yang cukup unik dalam kehidupan kami.

Bicara soal album terbaru kalian, Belong. Apakah ini sudah merupakan bentuk terbaik untuk menggambarkan seperti apakah musik The Pains itu?

Kip  : Ini pertanyaan bagus. Saya pikir kami selalu berusaha untuk menterjemahkan siapakah kami sebenarnya sebagai sebuah band. Dan saya pikir kami seperti sedikit frustasi dengan album pertama. Banyak sekali orang yang lebih menyukai album pertama, namun kembali ke waktu itu, saya ingat sebelum album pertama dirilis, saya sedang menulis lagu-lagu yang sekarang sepenuhnya menjadi materi dari album kedua, dan sampai lah di mana saya merasa lagu-lagu tersebut “bukan ini yang kami maksud, yang kami maksud begini” yang membuat mereka tersisih di album pertama. Dan pada saat album pertama selesai direkam, kami merasa kalau album ini “kurang nendang” dan “kurang bertenaga”. Namun begitu album ini dilepas ternyata reaksi publik adalah seperti, “album ini benar-benar bagus”. Kami merasa agak aneh, karena kami pikir ini tidaklah cukup bagus. Lalu kami mencoba lebih jauh pada pengerjaan album kedua. Kami mencoba untuk lebih berat dan keras, yang mana ini lah yang sebenarnya kami rencanakan untuk album pertama. Jadi, saya tidak tahu apakah album kedua ini adalah identitas kami yang sebenarnya atau bukan, karena saya pikir ini hanyalah ekspresi dari bentuk lain identitas kami.

Kami rasa kami juga sangat terganggu saat ke manapun kami pergi semua orang selalu berpikir kalau kami selalu mendengarkan band-band indiepop khas Skotlandia, memakai sweaters, memakan cupcakes setiap saat, pokoknya yang sangat twee-twee deh. Pada suatu titik saya memang pernah sangat menyukai semua itu, itu benar adanya. Tetapi saya juga seorang dewasa, saya tumbuh mendengarkan Nirvana, Sonic Youth, Smashing Pumpkins, dan banyak lagi. Saya ingin orang-orang tahu kalau pada suatu titik kami tidaklah selalu seperti anak kecil.

Jadi, apabila seseorang bertanya seperti apakah musik The Pains, maka manakah yang akan Anda rekomendasikan, album pertama atau kedua?

Kip  : Yang berikutnya saja mungkin? (tertawa). Menurut saya, sebuah band pasti selalu berjuang untuk mengekspresikan bentuk sejati dari siapa mereka sebenarnya. Namun hal ini hampir seperti sebuah tujuan yang selalu anda coba untuk bisa capai tapi tidak akan pernah benar-benar tercapai. Jika dalam beberapa tahun ke depan mudah-mudahan kami bisa kembali datang ke Indonesia, dan anda akan menanyakan “apakah album keempat ini sudah menjadi album yang benar-benar Anda ingin buat?”, maka pasti saya akan menjawab, “bagaimana dengan album kelima saja?” (tertawa).

Cover art album Belong ini, entah bagaimana mengingatkan saya kepada milik album Journal for Plague Lovers dari Manic Street Preachers. Ada cerita di balik ini? Apakah kalian juga mendengarkan mereka?

Kip  : Oh ya! Mereka keren, saya juga suka mereka. Tapi saya kira ini sedikit berbeda. Waktu kami merilis album pertama, covernya berupa semacam karya fotografi. Dan saat kami juga melepas single Say No to Love dalam format 7″ saya menemukan sebuah lukisan yang sangat bagus di internet untuk menjadi sampulnya. Lalu saya menghubungi pelukisnya. Saya kira saya akan berurusan dengan tipikal seniman yang sombong, ternyata sang pelukis hanyalah seorang bocah dari Brooklyn bernama Winston (tertawa). Suatu hari kami sedang melakukan mixing album Belong, dan kami saling bertanya “mau seperti apa nih gambar sampulnya?”, dan kami semua menjawab “pertanyaan sulit” (tertawa). Kemudian Alex dan Peggy teringat akan bocah itu, “Ingat bocah yang menggambar sampul untuk 7″ itu? Kenapa tidak kita coba lihat lukisan dia yang lain? mungkin kita jadi bisa mempunyai sesuatu yang konsisten dari album-album kita?” dan untungnya dia kembali setuju untuk mengerjakan gambar sampul untuk tidak hanya album Belong, namun juga untuk single-single Belong, The Body dan Heart in Your Heartbreak. Saya pikir sangatlah bagus apabila sebuah band memiliki rasa estetik yang konsisten pada setiap rilisannya. Ada banyak album yang saya beli hanya dari bagaimana tampilan fisik mereka terlihat. Kadang ini baik, kadang ini juga buruk. Tapi cover art sebuah album memang sangatlah penting.

Tulisan: Daffa Andika

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *