Connect with us

Interviews

Interview: Polka Wars Bercerita Banyak Soal Penggarapan Album Perdana

Diterbitkan

pada

Polka Wars merupakan unit alternatif rock asal Jakarta. Lewat single-single terdahulu yang telah mereka lepas dan perdengarkan gratis, Polka Wars berhasil mendapat perhatian dari para penikmat dan pengamat musik indie nasional. Panggung-panggung bergengsi seperti menjadi salah satu opening act untuk konser Yeah Yeah Yeahs di Jakarta, Joyland Festival 2013, hingga Local Fest sudah berhasil mereka raih.

“Sanctuary”, “Coraline”, “Obese Elves”, “Piano Song”, “White Dreams”, adalah beberapa nomor milik Polka Wars yang kerap kali mereka tampilkan diatas panggung. Dan untuk sekarang, Polka Wars dikabarkan sedang konsentrasi penuh di studio untuk menggarap debut album mereka.

Billy (gitar), Karaeng (gitar), Deva (drum), dan Dega (bas) membeberkan cerita menarik terkait proses pengerjaan album ini kepada Gigsplay. Seperti apa saja kendala yang dialami, konsep album, hingga tanggapan mereka kalau ternyata album ini nantinya tidak laku. Simak wawancaranya dibawah sini.

– Sesuai yang kalian katakan, proses rekaman album ini sudah mencapai 70%. Bisa ceritakan tentang proses pengerjaannya ? 

Atas kehendak-Nya, bisa dibilang sudah 70%, meski di luar post produksi. Prosesnya cukup lama. Kurang lebih dua setengah tahun lalu sejak kita rilis “Coraline” via Soundcloud. Kita sudah mulai mencicil penggarapan album perdana ini. Secara garis besar tahun pertama kita dihabiskan untuk mencoba berlatih bersama. Dari situ lahir beberapa bibit materi yang coba digarap lebih serius pada tahun berikutnya.

Nah, di tahun kedua biasanya kita latihan kalau mau manggung saja. Sisanya kita sering kumpul untuk melakukan songwriting di rumah. Nulis di rumah tuh mungkin terdengar serius ya? Haha, biasanya sih kita cuma genjrang-genjreng, bercanda ngalor ngidul, nonton tv dan kalau lagi mood, kita kumpulin serpihan file rekaman dari mulai di demo Garage Band sampai rekaman dari Blackberry yang suaranya butut.

Baru deh dari situ pelan-pelan kita mulai menentukan lagu mana saja yang mau kita coba garap untuk album pertama. Mungkin materi mentah ada dua puluh lagu lebih. Dan di tahun ketiga ini, kita mencoba belajar bagaimana cara merekam. dua belas lagu kurang lebih, kalau tidak salah, hehehe.

– Tentang kesulitannya ? dan apa yang coba Polka Wars tawarkan di album baru ini dari sisi materi ?

Kesulitannya….

1. Sempat kepingin kita rekaman mandiri di rumah, karena kita engga punya uang untuk bayar rekaman dan masih belum berpengalaman. Tapi kalau di rumah, kita engga pernah bisa serius. Namanya juga kumpul-kumpul bocah umur tanggung.

2. Menyelesaikan lirik cukup sulit. Banyak lirik yang baru selesai dikembangkan sejalan dengan lagunya yang berevolusi pula di awal 2014 . Dulu kan masih pada kuliah, sekarang peralihan ke era baru. Jadi mood juga dipengaruhi “tanggungan” lain.

3. Kalau ada panggung pas weekend, biasanya jadwal rekaman jadi molor karena capek. Rekaman juga suka telat, padahal rumahnya pada dekat. Sampai studio juga cuma ngerokok atau tidur hahaha. Break makan juga suka lama, padahal argo jalan terus!

4. Billy dan Deva juga sempat ikut dalam proses rekaman Marsh Kids, jadi agak susah mengatur jadwal. Tapi mereka banyak belajar proses rekaman juga dari sana.

5. Mencari momentum untuk masuk studio. Karena kita kere dan bingung studio itu mahluk seperti apa. Momentumnya itu kita paksain masuk pas bulan puasa kemarin. Kita rekaman dari habis jam buka sampai tengah malam. Buka bareng dan sahur bareng kadang. Eh tapi operatornya ada yang sampai kecapean dan engga puasa tuh, hahahaha.

6. Membuang materi. Berat rasanya kalau ada materi bagus tapi kita sendiri belum advanced secara ide dan skill, atau memang nasib lagu itu tidak cocok di album pertama.

7. Fokus, tidak terburu-buru dan efisien. Baik secara proses kreatif maupun finansial. Banyak juga band yang tumbuh bareng tapi sudah rilis ini itu, tapi kita bodo amat deh, kalau memang belum saatnya, ya belum saatnya saja.

Apa yang coba ditawarkan…

Secara nyawa, mungkin lebih ke karakter masing- masing personil saja kita ekstraksi. Pokoknya apa adanya, kita keluarkan bunyi masing-masing dari kita. Secara materi, mungkin cukup beraneka ragam wujudnya yang terlihat. Mungkin karena album ini dikerjakan di berbagai dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Mood kita dulu sama sekarang pun kadang beda.

– Untuk single yang rencananya akan dirilis kedalam vinyl 7″ oleh Orange Cliff Records, kenapa Polka Wars memilih medium vinyl ? dan apa yang membuat kalian tertarik untuk bekerja sama dengan Orange Cliff Records ?

Hmmm, tentu karena mereka teman kita dan anaknya baik-baik, meski beberapa terlihat seram, haha. Silaturahmi ternyata memang membawa rezeki. Tertarik juga mungkin karena namanya keren, Orange Cliff Records, kesannya sophisticated gimana gitu (padahal bosnya lenje-lenje, cih!). Kalau engga berasa asik namanya di kita, kita si engga mau menerima tawaran, hahaha.

Kalau dari sisi kita sih, kita juga punya materi yang mungkin ketika itu kurang kohesif untuk ditaruh di album perdana ini. Jadi kita lempar ke 7″. Simple. Ya Orange Cliff Records sih pada dasarnya sudah teman kita satu almamater dari dulu, ada yang di kampus dan di sekolah. Jadi engga etis kalau kita tolak, hahaha.

Kenapa vinyl ? Mungkin itu memang visinya Orange Cliff Records. Kalau permintaan dari pasar tren-nya begitu, sebagai teman kita sih ikuti saja. Sebagian kita kan pro kapitalisme juga. Ya jadi ada demand, ya kita supply. Tapi balik lagi sih, intinya melestarikan karya kan visinya. Jadi kalau orang pada mintanya di medium batu ukir atau prasasti bersuara, ya ayo ayo saja kalau harus kita rekam di medium batu ukir semacam itu.

– Seberapa istimewa materi single ini sehingga dirilis sendiri, dalam bentuk vinyl pula, tidak digabungkan untuk masuk album saja ?

Buat kami pribadi sih sederhana namun istimewa di hati, khususnya single “Sanctuary”. Mungkin itu materi proto-Polka, cukup rock dan jamming banget nuansanya. Salah satu lagu purba buat Polka yang rampung di studio. Bisa jadi materi lain engga ada yang seperti itu. Lagu itu dibuat ketika kita mulai jamming era awal banget. Kita engga pernah cover band lain pas awal mula ketemu, dan muncul riff gitar itu, terus nge-band deh sampai sekarang. Cukup ada kisah romansanya buat ngingetin soal chemistry kita berempat dahulu pas masih piyik.

Ada 2 lagu di 7″ yang akan dirilis Orange Cliff Records. Kalau “Sanctuary” mungkin tidak masuk album. Nah kalau satu lagu lagi kemungkinan bisa masuk, meski kita belum tahu nasib dia selanjutnya.

Eh tapi engga istimewa-istimewa amat juga sih awalnya. Yang tadi sisi “jualan” dan “nostalgia” kita saja yang terangsang bicara. Kebetulan memang lagu yang sudah bisa dibungkus sih itu. Jadi itu saja yang kita lempar pas diminta bikin vinyl. Yaudah kita kasih itu. Lebih ke nasib saja. Nasib ya nasib.

– Kembali ke album. Bisa sebutkan siapa saja sumber daya manusia yang terlibat disini ? mungkin dari teknisi rekaman hingga pembuat artwork. Jangan ada yang terlewat ya, hahaha

Anjrit. Banyak! Sekalian nih buat credit di album nanti!

Sound Engineer Dimas Martokoesoemo dan Ahmad Vanco. Untuk sesi rekaman vokal, kita juga sempat dibantu mas Wendy Arintyo dan Ledu Udel. Makasih ya ALS Studio Family Ciputat. Semoga kolam renangnya cepat jadi. Oh iya, makasih ya mas Ryan udah sering beliin kita makanan dan sabar nungguin kita juga yang suka ngelawak jorok di ruang tunggu.

Kemudian ada Uga Swastadi kolaborator pertama kita, dia menyumbang aransmen brass untuk “Coraline”. Dibuat ke partitur gitu, sampai sekarang kita engga bisa baca tapi, hahaha. Sawi Lieu (Future Collective), main synth di banyak lagu dan selalu kita bawa ketika manggung, maaf ya Saw kalau suka kita bully, haha.

Christianto Ario (Anomalyst) main piano dan synth di beberapa lagu. Kalau Beatles punya Billy Preston, kita punya Ario, haha. Ade Paloh (SORE, Marsh Kids) menyumbang bisikan, teriakan, gitar dan cornet. Tida Wilson (Future Collective) menyumbang aranmsen string di lagu kita yang seram, sakit jiwa dia.

Sigit Pramudita, orang gunung ikut main gitar di lagu kita yang futuristik. Agustinus Panji Mahardika (Pandai Besi) bantu main trompet dan flute, tone-nya yang hangat. Yudhis (Vague) gitaris berisik ini kita todong untuk main. Gonzo (Duckdive, Marsh Kids) bantu isi dan konsultasi bebunyian synth. Gerinov, saxophonist serba bisa. Ditto P, pemain trompet yang bisa baca partitur. Kendra Ahimsa (Crayola Eyes) menggarap artwork hingga merchandise.

– Menurut pandangan Polka Wars, apakah album ini memiliki konsep yang cukup kuat ?

Kuat secara pastinya sih kurang tahu ya. Gimana juga cara ukur eksak untu kuat tidaknya sebuah album. Kalau ada alat ukur sama metode baku untuk ukur kekuatan album secara definitif sih, mungkin kita bisa kasih jawaban.

Kalau lewat feeling sih kuat. Bikinnya sampai pusing dan dompet boncos gini, haha. Kalau engga kuat mah mending dibakar saja itu semua hasil rekaman. Ya dari internal setidaknya sudah cukup kuat, soalnya kalau ragu-ragu pasti kebawa tanggung ke depannya.

Kita nulis lagu pas pusing, terus ambil gitar atau nyanyi, terus rekam, terus dengerin, terus bahas, terus baku hantam, terus pelecehan verbal, terus minta maaf, terus pusing lagi harus di apakan ini lagu. Sama kaya hidup yang dibuat dari rasa sakit, pas kita lahir kan sakit tuh prosesnya. Nah, tapi kenapa kita masih kepingin hidup?  Ya karena selalu ada harapan saja kali ya di depan.

Intinya sayang kalau sudah ada suatu percikan terus ngga kita kejar sampai akhir. Proses menuju akhirnya ini memang berat. Apalagi, selain band tiap personil juga punya kehidupan lain. Kita berempat dipertemukan untuk satu hal yang sama. Ya harus kita kejar sampai akhir. Kemudian efek sampingnya sekaligus nikmatnya itu ya kita harus melakukan sinkronisasi setiap individu kita untuk memperoleh harmoni kehidupan yang lebih baik.

Mungkin itu intisarinya. Pusing ya ? Hahahaha!

Yang pasti, dari awal kita sudah konsepin tema besar album ini. Kita condong ke sebuah judul dan juga sudah mencoba untuk memvisualkan judul tersebut ke dalam suatu bentuk artwork bayangan, thanks Kendra. Jadi ketika merekam, setidaknya nuansa atau nyawa yang sama masih bisa kita bawa ke dalam beberapa lagu yang punya wujud fisik berbeda. Kalau secara garis besar, mungkin di album ini ada dua sumbu, vertikal dan horizontal. Baik secara musikal dan lirikal, mungkin ini tentang hubungan anak cucu Adam dan pencipta-Nya. Secara vokal, teknik dan emosinya juga ada dua kubu. Semoga kita bisa mencapai keseimbangannya.

– Ekspektasi untuk album ini ?

Zero expectation nan penuh harapan. Berharap album ini jadi jembatan penyambung silaturahmi vertikal dan horizontal saja seperti konsepnya tadi. Amin. Pokoknya sudah bisa jadi album saja cukup, yang penting ada materi pamer buat anak cucu. “Dulu bapak ngeband, cewe-cewe pada suka. Lu bisa ngga ? Yaudah kalau ngga bisa nge-band, lu main basket atau bola saja ya biar cewe-cewe pada suka. Awas lu kalau ngga bisa apa-apa!”

Ya harapannya semoga memberi manfaat juga untuk yang dengar nanti.

– Mau membocorkan beberapa hal terkait album ini ? Seperti, apa judul albumnya nanti dan kapan kira-kira siap dirilis ?

Judul albumnya belum bisa kita beberkan, masih belum ketok palu. Belum dapat pilihan konklusif dari mufakat seluruh personil.
Kalau jadwal, jujur kita masih menunggu timeline dari Marsh Kids yang sedang dalam proses mixing album. Harus hormat sama yang tua.

Kalau deadline di band sih, April ini sesi rekaman sudah harus rampung, hehehe. No more overdub! kita belum kebayang timeline post produksi dan belum mau janji apa-apa dulu. Pokoknya begitu rampung semua, engga akan kita tahan-tahan. Langsung muncrat.

– Oh iya, ini sekedar intermezzo saja sih. Gue terakhir nonton kalian di Local Fest. Kok bisa keren gitu live-nya ? *ini serius, kalian canggih, hahaha

Kadang main di panggung kecil acap kali ada kendala teknis atau di panggung besar bebannya terlalu tinggi, hahaha. Itu mungkin kita lagi semangat saja karena main di acara yang ruangan dan suasananya pas. Hmmm, tapi kalau memang begitu, puji Tuhan. Kita cuma boneka, digerakin sama yang punya semesta.

Mungkin memang waktu itu momentumnya dianggap pas oleh empu-nya semesta buat kami memancarkan aura keren kepada mas Yulio. Bisa jadi tiga orang disamping mas Yulio pengang telinganya dan benci sama Polka Wars, hahahaha.

– Selain album dan single, apa ada yang sedang dikerjakan juga ?

Kita lagi proses penjajakan kerjasama untuk produksi merchandise. Jadi nanti akan ada divisi design dan merchandising sendiri. Ngurus album dan manggung saja suka pusing.

Kalau kesibukan personil sih standar:

Billy (gitar): Kerja di jasa travel dan biro haji umroh, biar bisa nabung untuk beli efek gitar yang banyak biar keren pedalboard-nya! semoga pedal-pedalnya membawa berkah!

Deva (drum): Kerja di salah satu kompetisi ajang pencarian bakat menyanyi melalui medium handphone, nabung buat kawin, merintis usaha sektor riil, pelesir ke pantai dan bantuin label Helat Tubruk menyiapkan talenta baru: Rizki Yogas dan Tida Wilson.

Dega (bas): Kerja santai jualan asuransi. Pergi sana-sini pakai jatah asuransi, bikin acara semacam Studiorama, jemput adik ke kampus, bikin studio kecil di rumah, pacaran, makan bebek, berwacana untuk bikin film dan lainnya.

Karaeng (gitar): Kerja di perusahaan bidang natural resources, pokoknya yang rusak bumi dan musuh Greenpeace deh. Dan usaha ini itu biar bisa jadi bos. Intinya kumpulin duit buat kawin, meski sambil beresin skripsi. Pusing.

– Terakhir. Kalau album ini nantinya engga laku dan dianggap tidak menarik oleh khalayak ramai, gimana tuh ?

Kalau album ini engga laku dan dianggap tidak menarik, yang pasti hutang piutang kita bertambah. Engga apa lah, high risk high return. Kita sudah senang kok bisa sampai di sini, bisa di wawancara Gigsplay sudah senang banget, makasih ya, jadi terharu.

Mungkin lanjut langsung nulis materi buat album kedua, karena kita mulai bisa menikmati proses pengerjaannya. Move on. Progress terus.

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *