Gigs
Pyschedelic Moment: Butterfly Mandala
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2015/01/butterfly-mandala.png&description=Pyschedelic Moment: Butterfly Mandala', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
DeTohtor, sebuah band yang didirikan sejak tahun 2007 hingga saat ini masih konsisten memainkan genre musik rock dengan berbagai influens yang dimiliki oleh masing-masing personelnya. Blues, rock psikedelik, smooth jazz, funk, dan metal, menjadikan ramuan yang unik dalam kemasan musik rock. citra sebagai band blues memang cukup mendalam, apalagi DeTohtor dibesarkan di lingkungan Bandung Blues Society (BBS) –komunitas pecinta dan penggiat musik blues di Bandung.
Saat ini De Tohtor digawangi oleh Bakrie (vocal, harmonica, gitar), Iqbal (drum, perkusi), Redi (bass), Galih (gitar) dan Tatu (gitar). De Tohtor tidak berdiri dengan satu atau lima orang saja, karena di dalamnya banyak sekali rekan rekan seni yang terlibat di dalam proses, Eksistensi ini dirumus dan dikelola secara tertata oleh tim manajemennya. Bahkan saat ini DeTohtor berada dibawah naungan label Deurr Records.
Di awal tahun 2015 ini, De Tohtor kembali menelurkan single terbarunya yang berjudul Butterfly Mandala bertepatan dengan usianya yang ke delapan.
Butterfly Mandala memiliki aransemen dan komposisi yang istimewa, terdengar progresif, kontemplatif bahkan destruktif. Berbeda dengan komposisi single-single sebelumnya (Boneka Karet, Meditasi Biru, dan Semedi Angkuh), Masuknya instrumen perkusi dan seruling tradisional, kemudian pedal steel yang biasa dimainkan pada musik blue grass, Hawaiian, menjadikan alunan musik Butterfly Mandala lebih progresif dan kontemplatif.
Lirik Butterfly Mandala ditulis atas kajian penelitian dan pengalaman Bakrie selaku penulis lagu tersebut yang tidak melulu mengenai monisme. Ini hanya bagian dari estetika sebagai medium komposisi kata pada lagu. Pada empirisnya, nilai transendental tidak serta merta didapat di keseharian. Justru proses keseharianlah yang menjadi bahan proses inkubasi, baik sadar hingga alam bawah sadar.
Monisme, kata yang terlontar jika harus mengkaji secara kompleks ruang lirik lagu tersebut. Di mana terdapat “penyetubuhan” ruang Sakala (yang berwaktu/fana/maskulin) dengan ruang Niskala (yang tak berwaktu/absolut/feminis), bertemu di suatu ruang “Cross” yang mempersatukan keduanya. ilustrasi Sakala-Niskala dengan transformasi bentuk seperti kupu-kupu sebagai dasar sketsa kerangka imaji. Serta kupu-kupu sebagai simbol kecantikan siklus kehidupan.
Merujuk pada kata Mandala sendiri yaitu memiliki intisari susu yang bersifat murni pada hakikatnya, dalam artian lain, Mandala dapat diartikan menjadi beberapa dimensi makna, sebagai wilayah, metode, tempat peribadatan dan diagramagis. Kemudian lirik ini berusaha mencapai nilai nilai mandala sebagai metode dalam wilayah spiritual. Terdapat persepsi gender, ruang temu dan suatu integritas.
Lirik terdapat tiga bahasa, yakni menggunakan Bahasa Inggris yang dibalut dengan glossarium Bahasa Sunda dan India. Terdapat beberapa bagian lirik pada lagu yang dikemas secara acak. Pada bagian satu, lirik menyebutkan manifestasi Shiwa sebagai “Nawa Sanga” (sembilan manifestasi Shiwa). Di mana Shiwa sebagai reduksi semesta dan tubuh sebagai cerminan kosmosnya, seperti Cakra. Pada bagian ke dua, kemunculan rindu terhadap Sang Pencipta sebuah pertanyaan dasar dari metode metode “ageman” selama ini, memikirkan secara logis dan berinteraksi dengan jiwa secara internal. Pada bagian ke tiga, terdapat kesadaran kesadaran sensasi transenden. Di sinilah pengenalan jiwa terhadap mitos, konsep konsep Tuhan untuk meraih kebahagiaan batin. Dalam sensasi tersebut muncul kemudian pertanyaan, apa yang sebenarnya kita butuhkan? seberapa butuh? dan kepemilikan kepada Sang Pencipta melebihi batas “pakem pakeman” tradisi manusia. Bagian ke empat sebagai penekanan dari sebelumnya, hingga mencapai titik ideal monistik. Di sela lirik, menyebutkan Dewi Shakti Parwati sebagai konsep dualitas dari mandala gender, di mana feminis sebagai ruh dari sisi maskulin, yang identik dengan seorang Dewa Svami;Swami;suami. Bagian selanjutnya setelah pengulangan lirik awal, Doddy Satya Eka Gustdiman menyenandungkan sebuah pujian pujian Saiwa (Shiwa dengan bahasa Sunda).
Dengan Perpaduan antara pengalaman afektif, sosial dan kognitif, menjadikan pembuatan lirik dan penggarapan aransemen single Butterfly Mandala istimewa pula. Mulai dari pendalaman lirik dan mantra hingga menyusun komposisi musik pun memakan waktu yang tidak sebentar. Dibantu oleh rekan-rekan musisi indie serta budayawan sekaligus akademisi di Bandung seperti :
- Harry ‘Koi’ Pangabdian (Anasaphone, The Triangle): Perkusi
- Ishep (STSI Bandung): Seruling
- Amrus Ramadhan (Blues Libre): Pedal Steel Guitar
- Rizal Zachri (Azimuth): Keyboard dan Synthesizer
- Ghusni Ibrahim Arif (Superfine) : Rhytm Guitar
- Nancy Cass (Superfine): Latar vokal (kidung)
- Dody Satya Ekagustdiman (Dosen Karawitan STSI Bandung) : Vokal Mantra
Berbeda dari lazimnya, De Tohtor menjadikan rilis single Butterfly Mandala sebuah pertunjukan seni yang mengkolaborasikan seni musik, tari, rupa, dan teater. Melalui sajian koreografi, diharapkan esensi lirik dapat dipahami secara visual, selain musik dan tata lampu serta set panggung yang menggugah intuitif para penonton. Dalam garapan Psychedelic Moment: Butterfly Mandala, De Tohtor merangkul beberapa sahabat di antaranya:
Penari:
- Dhendi Firmansyah (Lulusan Seni Tari ISBI Bandung)
- ‘Fier’ Nurfitriani Padjriah (Lulusan Seni Tari ISBI Bandung)
Performer:
- Mahasiswa dari berbagai jurusan di ISBI Bandung;
- Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa ARGA WILIS, ISBI Bandung;
- Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa X-Wasi, Universitas Telkom.
Tata Busana:
Ahda Yunia Sekar
Set Artistik dan Tata Cahaya:
Setia Pribowo (Lulusan Jurusan Teater ISBI Bandung)
Tata Suara:
Jimmy Juarsa (Time Bomb Blues)
Pertunjukan Psychedelic Moment: Buttefly Mandala akan diselenggarakan pada 7 Februari 2014 di Gedung Kesenian Dewi Asri, ISBI Bandung Jalan Buah Batu, No. 212, Bandung. Dipilihnya gedung tersebut sebagai tempat pementasan karena dianggap lebih representatif bagi pertunjukan kolaborasi yang melibatkan 33 performer ini.