Featured
Peluncuran Album Kedua Airportradio – Selepas Pendar Nyalang Berbayang
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2018/10/airportradio-1000x600.jpg&description=Peluncuran Album Kedua Airportradio – Selepas Pendar Nyalang Berbayang', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
Setelah tujuh tahun berproses dengan kehidupannya masing-masing, para personel Airportradio berkumpul kembali di tahun 2017 dan meluncurkan album kedua, Selepas Pendar Nyalang Berbayang pada 24 Oktober 2018.
Seperti halnya album pertama, Turun dalam Rupa Cahaya (2010), album kedua Airportadio ini dirilis di bawah naungan label Demajors Independent Music Industry (DIMI). Dengan meniadakan suara gitar, Airportradio yang beranggotakan Benedicta R Kirana (vokal), Ign Ade (bass), Deon Manunggal (Synth) dan Prihatmoko Moki (drum) bermaksud menciptakan komposisi musik yang tenang dan bernuansa low untuk mendukung perasaan kesepian, sendiri, sekaligus menempatkannya pada keteduhan jiwa.
Album kedua ini merupakan representasi kelanjutan perjalanan dari Turun Dalam Rupa Cahaya, album pertama Airportadio. Cahaya, yang telah mencapai tempat tujuannya, kini bermetamorfosis sebagai mahluk berbayang bernama Nyalang yang berarti membelalak. Ilustrasi cover album ini dibuat oleh Roby Dwi Antono, pelukis surealis yang berdomisili di Yogyakarta.
Keseluruhan musik dalam album kedua ini merupakan hasil inkubasi selama 2 hari di rumah sewa Jakarta Selatan pada awal 2017 silam. Keseluruhan lagu yang ada pada album kedua ini merupakan sintesis dari cerita 4 orang teman lama, para personil Airportadio, yang telah kembali dipertemukan dan menceritakan perjalanan kehidupan mereka masing-masing setelah sempat berpisah sekian lama.
“Kami antusias dengan hasil dari album kedua ini. Berbeda dengan album pertama, album kedua disusun dalam waktu singkat selama dua hari saja, sehingga alur cerita dan rasa dari keseluruhan lagu terasa koheren,” kata Benedicta, vokalis Airportadio.
Ia berharap album kedua ini dapat diapresiasi positif, tidak ubahnya album pertama yang dirilis delapan tahun silam. Turun dalam Rupa Cahaya, album perdana band yang didirikan di Yogyakarta itu, menerima sejumlah penghargaan antara lain Top Award dari Asia Pacific VOICE independent Music Award (AVIMA) 2010 “Thank You for Existing -Most Inventive, Innovative and Creative Indie Act” serta masuk dalam nominasi lagu elektronik favorit dari Indonesia Cutting Edge Music Award (ICEMA) 2010.
Dalam pertunjukan musik peluncuran Album Kedua yang diselenggarakan di IFI Yogyakarta (24/10) ini, Airportradio menampilkan seluruh lagu dari album kedua dan tiga lagu dari album pertama seperti Noise Never End, Preambule dan Turun Dalam Rupa Cahaya. Keseluruhan penampilan Airportradio ditemani dengan visual dan tata lampu yang mendukung atmosfir pertunjukan yang mengawang. Selain itu, personel Airportradio juga ditunjang penampilannya dengan menggunakan pakaian karya Lulu Lutfi Labibi.
Pada pintu masuk ruang pertunjukan, para tamu disambut dengan karya instalasi Octo Cornelius. Karya yang terbuat dari kayu tersebut memancarkan karya visual dari delapan video respon seniman multi disiplin yang telah diolah ulang oleh Kikiretake.
Kolaborasi dengan Seniman Multi Disiplin
Musik Airportradio dikonstruksikan mengawang, seperti berada di ruang kosong, untuk memberikan keleluasaan bagi pendengarnya dalam berimajinasi dan menciptakan narasinya sendiri. Untuk memperkuat ide itu, Airportradio yang mengusung genre Downtempo berkolaborasi dengan sembilan seniman untuk merespons delapan lagu dengan karya video mereka masing-masing.
Dalam proses kolaborasi itu, Airportradio tidak ikut menyodorkan narasi lirik dari masing masing lagu di album terbarunya itu ke para seniman tersebut. Kesembilan seniman Indonesia yang terdiri dari beragam latar belakang atau disiplin ilmu seperti perfilman, seni rupa, seni busana, seni pertunjukkan, dan multimedia, itu diminta merespon lagu-lagu itu secara bebas atau sesuai imajinasi mereka sendiri.
Kesembilan seniman itu adalah Ig Raditya Bramantya, Katia Engel, Faozan Rizal, Lala Bohang, Lulu Lutfi Labibi, Roby Dwi Antono, Ruth Marbun, Terra Bajraghosa, dan Wulang Sunu.
“Dalam merespon video (album) ini, kami melibatkan seniman yang memiliki karakter visual serta disiplin ilmu yang bervariasi. Selain itu, penting juga untuk mendapatkan representasi gender yang seimbang dalam respon karya,” terang Moki, salah satu pentolan Airportadio.
Katia Engel, koreografer tari, dan suaminya yang sutradara film, Faozan Rizal, misalnya, diminta membuat video dari Alpha Omega, lagu pertama dalam album Selepas Pendar Nyalang Berbayang, yang sebetulnya mengangkat tema soal agama atau keyakinan manusia. Permintaan itu direspon mereka dengan klip video yang mengisahkan perjalanan kereta metro (bawah tanah) di Berlin, Jerman.
“Bagi kami, aransemen lagu ini membangkitkan perasaan seperti waktu melakukan perjalanan, yaitu di mana titik awal adalah titik akhir. Perjalanan kereta pasti berhenti, tetapi akan selalu berlanjut. Ini menawarkan perspektif atau cara pandang baru terhadap situasi yang biasanya dikaitkan dengan kebosanan dan kekosongan,” tukas Katia.
Adapun seniman lainnya, Lulu Lutfi, menggandeng model dan pemeran film Pengabdi Setan, Asmara Abigail, dalam pembuatan video lagu …off the street yang menjadi penutup album tersebut.
“Benang merah dari lagu ini sebenarnya tentang patah hati. Namun, saya ingin menerjemahkannya lebih luas dan spontan. Ketika patah hati, kita bisa merayakan sakitnya dengan cara menyenangkan walaupun itu sangat memilukan,” ungkap Lulu, desainer asal Yogyakarta.
Kedelapan video garapan sembilan seniman itu telah diluncurkan satu per satu melalui saluran media sosial Airportradio (akun @airportadio), yaitu di Youtube, Facebook, dan Instagram.