Connect with us

Gig Review

Jazz Gunung 2015 : Jazz Bercita Rasa Alam Indonesia

Dipublikasikan

pada

Jazz Gunung kembali digelar. Event yang ditunggu para pecinta musik tanah air ini berlansung apik dan akrab di Java Banana, Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, Jumat-Sabtu (12-13/6/2015). Mengambil tema “Indahnya Jazz, Merdunya Gunung”, helatan yang telah diusung sebanyak tujuh kali tersebut memberikan tawaran musikal yang tak terlupakan.

Di hari pertama, jajaran musisi Indonesia dan internasional membuka acara dengan penampilan sangat menghibur. Sebuah pertunjukan yang sarat nilai budaya diberikan Swing Boss Jazz dengan mengaransemen lagu-lagu daerah Indonesia dengan segar. Lagu seperti “Dari Sabang Sampai Merauke”, “Apuse”, “Ibu Kita Kartini”, “Suwe Ora Jamu”, hingga “Gundul Gundul Pacul” larut dalam harmonisasi modern dalam swing dan bossanova.

Penggalian nilai tradisi yang memunculkan pemaknaan baru juga disajikan Djaduk Ferianto. Komposisi jazz dan keroncong diracik manis olehnya yang juga berkolaborasi dengan Tohpati dan Endah Laras. Ring of Fire asuhan Djaduk Ferianto juga turut membawakan lagu “Es Lilin” asal Jawa Barat yang memunculkan keseruan tersendiri tentang sebuah lagu beratmosfer Sunda dalam balutan kekentalan rasa. Repertoar “Rahwana” milik Tohpati pun semakin menghangatkan nuansa yang terjalin.

Penampilan lain dari Jay & Gatra Wardaya dengan kolaborasi bersama Su:m dari Korea Selatan dalam sastra Jawa, Yuri Jo Collective, serta INA Ladies semakin menebalkan suasana jazzy di bawah langit yang cukup cerah pada saat itu. Daulat pun jatuh kepada Tulus untuk menutup hari. Lagu-lagu seperti “Baru”, “Gajah”, “Teman Hidup”, “Diorama”, “Bumerang”, “Jangan Cintai Aku Apa Adanya”, “Kisah Sebentar”, hingga “Sewindu” tak pelak membentuk paduan suara di antara penonton.

Setelah puas menikmati hari pertama, penantian untuk beranjak ke hari kedua semakin menggebu. Untungnya sang waktu seakan tahu. Memori pengalaman seharian yang baru saja terjadi berseliweran membuatnya berlalu tanpa terasa di tengah hawa dingin Bromo. Harmonisasi manusia, musik, dan alam sepertinya mulai melebur dalam keindahan.

Hari kedua Jazz Gunung diisi dengan deretan musisi yang tak kalah memikat. Salah satunya Nita Aartsen Quatro yang berkolaborasi dengan Erneste Castelo asal Kuba. Ia membawakan lagu milik Ismail Marzuki, “Irian Samba”. Uniknya, karya tersebut justru belum sempat direkam oleh sang empunya lagu. Nita pun menyisipkan rasa samba dengan mengajak para pemain capoeira dari Malang.

Berbagai tembang jazz andalan seperti “Just The Two of Us” milik Grover Washington Jr dan “What’s Going On” dari 4 Non Blondes juga hadir lewat sentuhan Beben Jazzz & Friends, komunitas jazz dari Kemayoran Jakarta. Musik Melayu pun tak ketinggalan berkumandang di alam. Adalah Malacca Ensemble yang mendendangkannya dengan tepat lewat paduan aransemen biola, akordeon, dan perkusi. Penampilan kelompok yang dimotori pemail biola Henri Lamiri tersebut membuat helatan ini semakin berwarna. Jazz pesisir yang biasa dibawakan di pantai berhasil menyublim dalam atmosfer pegunungan.

Akhirnya pertunjukan jazz selama dua hari tersebut ditutup meriah oleh Andien. Penyanyi kelahiran 30 tahun lalu ini membuka sesi dengan lagu “Rindu Ini” milik grup vokal Warna dan “Milikmu Selalu”. Hawa dingin yang cukup menusuk tulang rupanya membuat Andien harus memakai pakaian berlapis-lapis. Namun hal itu tak menghalanginya untuk tetap berbagi keceriaan melalui suara emasnya.

Lagu “Kasih Putih” dari Glenn Fredly”, medley “Gemintang” dengan “So Many Stars” dari Natalie Cole, “Tentang Aku” dari Jingga, hingga “Astaga” oleh Ruth Sahanaya menjadi beberapa menu yang ditawarkan Andien. Ia bahkan turut berdendang di tengah kerumunan penonton. Penampilan menghibur tersebut pun ditutup manis oleh “Sahabat Setia” dan “Moving On”. Aura kepuasan tampak hadir dari wajah-wajah mereka yang membaur dalam kesatuan semesta dan jajaran irama serta nada.

Tak hanya musik, event Jazz Gunung juga menyediakan pameran batik kontemporer yang mempesona. Secara keseluruhan, acara ini menarik atensi yang sangat besar. Bahkan beberapa penonton yang telah datang dari berbagai kota harus gigit jari karena kehabisan tiket. Membludaknya jumlah penonton juga membuat tempat yang disediakan segera penuh terisi dan menyebabkan beberapa lainnya harus puas menonton sembari berdiri.

Teks: Hanifa Paramitha Siswanti
Photo: Muhammad Asranur (Dok. Jazz Gunung)

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *