Interviews
M. Taufiq Rahman: Jurnalisme Musik Tidak Sedangkal Dunia Hiburan
- Share
- Tweet /srv/users/gigsplayv2/apps/gigsplayv2/public/wp-content/plugins/mvp-social-buttons/mvp-social-buttons.php on line 66
https://gigsplay.com/wp-content/uploads/2014/01/taufiq1.jpg&description=M. Taufiq Rahman: Jurnalisme Musik Tidak Sedangkal Dunia Hiburan', 'pinterestShare', 'width=750,height=350'); return false;" title="Pin This Post">
Tulisan tentang musik selama ini hanya menjadi sebuah hiburan penghias halaman-halaman majalah atau surat kabar di Indonesia. Tidak seperti berita-berita di desk lain, tulisan seputar musik seringkali dianggap bukan sebagai bagian karya jurnalistik yang sastrawi. Padahal di negeri Paman Sam era 90-an, salah satu tulisan tentang musik pernah menjadi salah satu alat protes pada Pemerintah Amerika mengenai keadaan sosial politik saat itu.
Apakah jurnalisme musik di Indonesia masa sekarang hanya sebagai penghangat rubrik hiburan pada koran-koran pagi? Apakah jurnalisme musik tidak memiliki fungsi kontrol sosial seperti yang terjadi di Amerika pada masa dulu?
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hal-hal tersebut, Aldo Fenalosa, berkesempatan mewawancarai M. Taufiqurrahman, ditemui di Lapangan Blok S, Jakarta saat gelaran Speak Fest (10/12). Saat ini Taufiq Rahman menjadi news editor untuk harian berbahasa Inggris The Jakarta Post. Lulusan politik Northern Illinois University ini juga merupakan penulis rutin di situsJakartabeat.net dan kolom musik di harian The Jakarta Post.
Dalam menulis tentang musik, pria kelahiran Pati, Jawa Tengah pada 34 tahun yang lalu ini berbeda dari kebanyakan penulis lain. Tulisan-tulisannya adalah alat propaganda dan kritik sosial bagi lingkungan yang diamatinya. Wawancara berlangsung di Lapangan Blok S, Jakarta Selatan, Sabtu (10/12) pagi.
Sejak kapan anda menulis di kolom musik di harian Jakarta Post?
Saya secara profesional dan resminya kan sebagai jurnalis politik di Jakarta Post, mulai bekerja di Jakarta Post tahun 2002. Tapi terus terang baru pada tahun ketiga, saya resmi menjadi reporter di bagian seni budaya dan musik. Tapi sejak awal saya sudah sering menulis musik, walaupun itu tidak pernah menjadijobdesk saya karena saya awalnya adalah reporter politik.
Bagaimana cara anda menimbulkan ide untuk menulis?
Lebih kepada pemahaman bahwa musik tidak berdiri sendiri, musik adalah bagian dari suasana sosialnya, saya percaya itu. Sebenarnya musik bisa menjadi penyampai pesan anti perang, dan saya pikir menulis musik harus punya misi seperti itu. Saya terus terang lebih tertarik untuk menulis musik seperti itu.
Bagaimana proses kreatif anda menulis?
Pekerjaan saya menulis, saya tidak menunggu inspirasi datang untuk menulis. Metode saya, ketika saya ada ide satu jam kemudian harus sudah selesai. Jadi saya tidak suka menunda-nunda. Dan itu menjelaskan mengapa saya lumayan produktif, tulisan saya menjadi banyak. Saya orangnya tidaksabaran, jadi kalau sedang ada ide saya ingin segera mengkomunikasikannya pada orang banyak, jadi ya harus sudah ditulis.
Anda mendirikan Jakartabeat.net bersama rekan anda, media yang juga memuat tulisan tentang musik
Ya, waktu saya mendapatkan beasiswa untuk sekolah ke Chicago, saya ketemu Philips di sana. Karena kita sama-sama cinta musik akhirnya membuat blog “Berburu Vinyl”, saya mulai sering menulis dengan bahasa indonesia di blog tersebut. Jadi saya sejak saat itu sama seringnya menulis bahasa Inggris diJakarta Post dengan menulis bahasa Indonesia di blog itu tentang musik. Ya kira-kira pada 2007 akhir mulai di Jakartabeat dan sekarang lebih malahan lebih sering menulis musik di Jakartabeat.
Mengapa demikian?
Di Jakarta Post kadang-kadang saja karena sekarang saya juga sudah menjadi editor, jadi sudah tidak banyak waktu lagi untuk menulis.
Pernahkah anda mendapatkan penghargaan atas tulisan anda?
Tidak. Terus terang saya tidak suka ikut lomba-lomba seperti itu karena di Indonesia itu kan sistemnyagini; kalau anda mau berkompetisi, itu anda mau mengirimkan tulisan anda ke mereka untuk dinilai. Saya tidak suka model seperti itu karena di luar negeri, misalnya Pulitzer, mereka punya komite yang pekerjaannya itu adalah memonitor tulisan siapapun. Jadi mereka langsung yang melakukan penilaian, bukan saya mengirimkan tulisan ke mereka. Kalau di sini terlalu birokratif, anda harus bikin lamaran, mengirimkan tulisan, harus ada stempel dari kantor bahwa anda jurnalis di sana. Saya pikir itu bukan cara yang baik untuk berkompetisi. Saya juga tidak percaya pada otoritas penilaian birokrasi di Indonesia.
Apa perbedaan menulis di Jakartabeat dengan di Jakarta Post?
Mungkin masalah teknis. Di Jakarta Post tulisan tentang musik itu mingguan, sebelum tulisan dimuat banyak proses yang dilewati. Selain itu juga ada keterbatasan tema, ada keterbatasan pembahasannya. Kalau di media mainstream itu ada konteksnya gitu, tidak bisa tiba-tiba. Kalau di Jakartabeat saya punya kebebasan untuk menulis apa saja. Ada lebih banyak kebebasan di media online. Dan itu kemudian membuat saya yakin bahwa masa depan jurnalisme itu ada di internet, walaupun sebenarnya saya bekerja di printed media. Semua sudah go online.
Seperti apa idealisme koran sebesar Jakarta Post?
Jakarta Post itu karena dia koran berbahasa Inggris jadi ada kebebasan kreatif yang besar, jadi bisa menulis tentang banyak hal juga. Saya mendapat kebebasan yang luar biasa untuk mengkritik siapapun. Kita sudah biasa mengkritik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di situ. Saya menulis berkali-kali tentang mencemooh, memaki-maki Presiden di Jakarta Post. Tapi kadang-kadang menulis di Jakarta Postitu terlalu politis, itu koran mainstream.
Mengapa anda menjadi jurnalis musik?
Mungkin karena saya lebih cinta musik. Saya tidak bisa bermain musik tapi karena kecintaan saya yang besar terhadap musik kemudian membuat saya ingin lebih tahu banyak tentang musik dan kemudian saya menemukan bahwa musik itu punya kekuatan sosial, kekuatan politik yang sangat kuat. Tadi pagi saya menonton BBC, di sana ada wartawan musik Iran gitu kan, dia pernah menjadi tentara di perang Iran melawan Irak. Dia melihat pembunuhan dan kekejaman perang, saat itu juga dia menemukan musik dan musik itu yang bisa menghapuskan semua kejahatan yang telah dia lihat di perang. Dan saya pikir saya melihat musik juga seperti itu, bahwa musik itu mungkin bukan pelarian tapi yang masih bisa membuat kita itu menjadi manusia, membuat jiwa kita lebih halus. Dan saya percaya itu. Ketika saya mendengarkan musik, musik yang baik terutama, saya masih percaya bahwa manusia bisa punya kualitas yang baik, masih ada harapan untuk umat manusia untuk jadi lebih baik karena musik. Itu universal dimana semua orang bisa memilikinya.
Padahal anda memiliki latar belakang pendidikan politik
Saya memang belajar ilmu politik, tapi pengetahuan politik saya tidak terlalu banyak dibanding Philips. Kalau hanya menulis tentang politik saja, saya pasti kalah dengan Philips atau orang-orang lebih mendengarkan ilmuwan-ilmuwan yang lebih mengerti tentang bidang itu. Saya sedikit mengerti tentang musik dan juga sedikit mengerti tentang politik, saya berusaha menggabungkan dua pemahaman itu. Karena memang hubungannya jelas dan saya punya argumen yang kuat untuk mengatakan bahwa musik punya kekuatan politik jadi saya tertarik untuk lebih sering memahami musik dan keterkaitannya dengan politik. Kalau kemudian ada yang membaca dan kemudian tertarik, itu adalah penilaian pembaca. Saya hanya ingin menyampaikan pesan, berbagi cerita bahwa musik itu bagian yang penting dari politik dan sosial.
Tulisan anda lebih mengkritisi, jauh berbeda dengan kebanyakan jurnalis yang menulis berita tentang musik
Kita belum terlalu banyak belajar, jurnalis musik di Indonesia masih agak malas untuk membaca literatur di luar musik. Padahal bila dia membaca literatur-literatur di luar musik, dia pasti akan menemukan bahwa begitu banyak dimensi-dimensi dari musik ketimbang hanya soal musik itu sendiri. Misalnya bila membaca tulisan tentang musik grunge sebagai akibat suasana sosial politik Amerika tahun 90an, tulisan itu menjadi kaya aspek, kuat sebagai sarana kritik sosial zaman itu.
Sebagai alat kritik sosial, mengapa jurnalisme musik di Indonesia masih tidak bisa eksis?
Sebenarnya itu masalah lama, media massa musik datang dan pergi secara tidak jelas. Saya pikir itu lebih pada tidak adanya tradisi kritik seni terutama, tidak hanya kritik musik. Tradisi kritik musik di Indonesia tidak terlalu berjalan sebenarnya. Misalnya kalau anda lihat di seni rupa, orang-orang yang menjadi kritikus seni adalah orang-orang yang punya galeri, atau orang-orang yang berjualan produk kesenian. Jadi dia pasti bercerita yang baik-baik saja tentang karya seni yang akan dijual supaya harganya tinggi dan laku. Hal seperti itu saya pikir juga berlaku di industri musik. Paling ketika ditanya siapa kritikus musik di Indonesia ya orang-orang paling hanya menjawab Remy Sylado, ya orang-orang zaman dulu saja. Itu menunjukan tradisi kritik itu yang mandek di Indonesia. Saya tidak tahu apakah juga ini ada hubungannya dengan penindasan Orde Baru, bahwa orang-orang tidak boleh berbeda pendapat. Padahal jurnalisme musik itu sebenarnya kan jurnalisme kritik musik. Kalau misalnya jurnalisme musik melaporkan konser hanya dengan 5W plus 1H, orang yang nonton juga sudah tahu. Harusnya yang lebih penting kita berbicara musik itu lengkap dengan konteks suasana sosialnya.
Nyatanya jurnalisme musik hanya dianggap sebagai hiburan semata
Mungkin karena Indonesia adalah negara dunia ketiga, jadi pengamat seni lebih mengarahkan perhatian pada seni-seni tradisional. Itu yang kemudian dianggap dengan produk seni yang serius. Orang yang mengerti dan menulis tentang itu lebih mudah dianggap sebagai ahli budaya, berbeda dengan orang yang membahas dan menulis tentang budaya pop. Selain itu industri budaya pop di Indonesia juga belumestablished. Industri musik dan industri kritik musik juga tidak pernah ada sebenarnya. Banyak juga orang atau institusi yang menyebut dirinya kritikus musik dan jurnalis musik tapi tidak mengerti pada apa yang ditulisnya.
Apakah hal ini menurut anda ada hubungannya dengan kurikulum jurnalistik di bangku pendidikan yang lebih condong ke berita konvensional?
Ya, Di Indonesia yang memasukan kurikulum kritik seni kontemporer masih belum ada. Bahkan pembelajaran jurnalisme sastrawi juga belum menyeluruh, kalaupun ada ya tidak banyak. Birokrasi kampus memang selalu telat, kurikulum yang diajarkan sekarang bisa saja dari dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu.
Bagaimana pengamatan anda terhadap pendidikan?
Pendidikan di Indonesia terlalu banyak bla bla bla, dan itu yang kemudian mengambil lebih banyak waktu anak-anak kita. Mereka di sekolah menjadi banyak kegiatan belajar ekstra yang sebenarnya tidakessensial tapi dibiarkan seperti itu karena memang sudah lama terjadi dan susah berubah. Jadi anak-anak itu pola pikirnya jadi tidak bisa fokus pada satu hal. Banyak remeh temeh yang tidak penting membuat anak-anak menjadi susah kritis terhadap lingkungannya.
Menurut anda bagaimana caranya agar jurnalisme musik bisa memasyarakat?
Mungkin yang harus dilakukan jurnalis musik adalah bahwa memahami musik itu tidak hanya hiburan, tapi ada banyak hal untuk bisa dikomunikasikan. Ada banyak hal yang bisa di definisikan oleh musik. Jurnalis musik yang cerdas harus bisa melakukan itu agar bisa menaikan jurnalisme musik lebih dari sekedar entertainment. Menuliskannya juga jangan hanya dengan format hiburan. Jangan dianggap bacaan sambil lalu, tulisan tentang musik itu sebenarnya bisa sangat serius bila lebih mendalaminya.
Apa tanggapan anda tentang zine yang banyak muncul?
Saya pikir bagus ya, yang saya perhatikan dari zine lokal itu mereka tidak hanya berbicara mengenai musik saja dan itu hal yang baik. Kalau hanya berbicara mengenai musik saja toh sudah banyak yang melakukan di berbagai blog yang ada kan. Zine di sini lebih peduli pada masalah-masalah sosial, tidak hanya melulu soal musik. Itu menariknya. Sebagian ideologi dari mereka kan masuknya dari musik gitu loh. Ya dia banyak melawan, jadi dia punya banyak produk perlawanan. Menarik bahwa di tengah industri mainstream yang mencekik ada perlawanan-perlawanan kecil. Dan yang dibutuhkan sekarang adalah mensinergikan itu untuk menciptakan perubahan.
Bagaimana penilaian anda pada jurnalis di Indonesia secara umum?
Selain jurnalis-jurnalis yang pemalas itu, saya pikir masih ada jurnalis yang melakukan tugasnya dengan benar. Saya pikir Tempo masih melakukan tugas itu, dia selalu ekspos korupsi. Jakarta Post itu selalu mengkritik otoritas, saya tahu persis karena saya ada di dalam. Kita terbiasa mengkritik bukan karena pak SBY, tapi power tends to corrupt. Siapapun yang ada di kekuasaan, anda harus yakin dia pasti korup. Masih banyak media di Indonesia yang melakukan kritik sosial untuk itu. Cuma, anda tau sendiri media sekarang juga bermain politik, Media Indonesia punya Surya Paloh, Viva news punya Bakrie. Di satu sisi ada media yang bertahan untuk melawan, tapi di sisi lain mereka juga korup. Tapi kan itu biasa, di barat juga ada Fox yang korup juga, tapi kan juga ada New York Times yang konsisten dari awal untuk melawan, mengekspos korupsi. Saya pikir Indonesia sudah di jalan yang benar, kita termasuk negara yang bebas dalam pers. Jurnalis-jurnalis Indonesia sebagiannya juga sudah menggunakan kebebasan itu untuk kebaikan.
Apakah juga terjadi pada jurnalis musik?
Mungkin belum untuk di jurnalisme musik karena juga jurnalisnya belum banyak baca, belum tau apa yang harus diperjuangkan dengan jurnalisme musik.
Sampai kapan anda akan menulis?
Saya akan terus menulis, mau dibayar mau tidak. Menulis itu menurut saya sebenarnya bukan pekerjaan, karena itu adalah salah satu sarana komunikasi paling dasar bagi umat manusia. Saya paling tidak memberi alternatif untuk berdiskusi melalui tulisan saya. Saya akan menulis sampai kapanpun.
Apakah anda juga akan membukukan tulisan anda nanti?
Ya, saat ini saya sedang melakukan tahapan menulis sebuah buku tentang perjalanan saya menulis tentang musik. Saya berharap awal tahun 2012 buku tersebut bisa diterbitkan.
Tulisan: Aldo Fenalosa
Foto: Indira Listiarini