Connect with us

Gig Review

Tentang Rasa : Racikan Esensi Konser dengan Beragam Rasa

Dipublikasikan

pada

Frau bikin konser di Kota Bandung! Rasanya kabar itu seperti menunaikan dahaga para pendengar Frau di kota kembang ini. Gelaran dari solois dan pianis asal Yogyakarta yang karya-karyanya memikat banyak penikmat musik tersebut dihelat secara terbatas. Tercatat hanya sekitar 200 penonton beruntung yang bisa menyambangi keindahan yang tersurat beragam lagunya. Bertempat di Auditorium Institut Francais d’Indonesie (IFI) Bandung, Jalan Purnawarman Bandung, Jumat (22/05/2015), acara ini diberi tajuk “Konser Tentang Rasa”.

Bertindak sebagai sajian pembuka adalah Deugalih. Rentetan nada grunge membius seisi ruangan yang telah penuh sejak pukul 7 malam. Galih cukup komunikatif pada malam itu dengan kerap bercerita tentang tema lagu-lagu yang dibawakannya, seperti isu pendidikan dan tanah Papua. “Musik Deugalih dan Frau itu bukan untuk era sekarang, tapi masa depan,” ujar musisi pengagum Ully Sigar ini seraya diamini penonton.

Hanya sesaat jeda yang terlaksana sesudahnya karena penantian penonton pun pecah sudah dengan kehadiran sang bintang utama di atas panggung. Selain diri Frau dengan flatshoes dan baju berwarna royal blue, piano serta meja yang diisi teko, cangkir, dan bunga menjadi pemandangan dalam set panggung minimalis tersebut. Tak perlu waktu lama, “Sembunyi” menjadi track awal yang segera merangkul kebersamaan. Lagu ini merupakan salah satu dari 4 lagu atas responnya terhadap karya Restu Ratnaningtyas, seorang perupa asal Yogyakarta.

Rasa yang diagungkan sejak awal kemudian semakin tercicipi lewat kehadiran “Empat Satu” dari album “Happy Coda”. Track gubahan puisi Teuku Amir Hamzah bertajuk “Berdiri Aku” serta “Cerita Perjalanan” milik Sitor Situmorang menjadi giliran berikutnya. Dalam konser ini, Frau juga turut memboyong musisi lain untuk mewarnai penampilan musikalnya. Misalnya pemain terompet Erson Padapirang untuk lagu “Mr. Wolf” dan “Like A Sir” serta Rara Sekar (vokalis banda Neira) dalam tembang “Rindu”. Kolaborasi dengan rasa nan apik, manis, dan syahdu pun segera timbul.

Rehat sejenak yang digulirkan membuat penonton rupanya enggan beranjak. Sebuah kenyamanan tampaknya mulai mengkristal karena aroma keinginan agar acara kembali dilanjutkan mulai muncul di permukaan. Untunglah hal tersebut ditangkap jelas dengan sang empunya hajat. Tatanan pencahayaan yang rapi dan detail mulai kembali beraksi.

Frau kembali ke panggung. Bercerita tentang gambar perupa yang mengisahkan tukang jagal dengan sebelah daging yang terpotong. Seringnya manusia menilai manusia lain berdasarkan profesi dan nama tanpa mendalami sifatnya menjadi pesan dari rupa ini. Ia pun melihatnya dengan dua versi dimana satu sisi miris, sedangkan satunya lagi justru mencoba melucu dengan kemirisan komikal tersebut. Hal itu ditumpahkan dalam dua lagu medley, “The Butcher” dan “Tukang Jagal”.

Lagu gubahan lainnya disajikan Frau lewat “Fake Plastic Tree” milik Radiohead yang mengundang sing along. Denting piano dengan intro tembang “Mesin Penenun Hujan” dari album “Starlit Carousel” sesudahnya semakin melebarkan senyum penonton. Selanjutnya nomor lain seperti “Rasa”, Tarian Sari”, dan “Sepasang Kekasih yang Bercinta di Luar Angkasa” turut melebur dalam kesatuan rasa malam itu. Tak pelak nyanyian bersama berkumandang sepanjang lagu. Track Iggy Pop berjudul “Loco Mosquito” lantas menjadi penutup perjumpaan pada konser yang berlangsung selama sekitar 1,5 jam tersebut.

Bukan Sekadar Auditif
Konser “Tentang Rasa” merupakan helatan dari Liga Musik Nasional sekaligus menjadi pembuka rangkaian Printemps Francais 2015 yang diselenggarakan IFI Bandung. Sensasi berbeda menjadi menu utama yang ditawarkan penonton dalam menikmati konser. Tak hanya auditif dan visual, konser tersebut juga mencoba memberikan rasa lewat indera pengecap. Ketika sesi rehat, berbagai minuman dalam botol dibagikan kepada penonton, seperti kopi, susu cokelat,STMJ ( susu telor madu jahe), teh, jeruk, dan wedang jahe. Indera penciuman juga turut diberikan stimuli lewat aroma mint dan vanila dalam konser ini.

Penonton bahkan diajak mengekpresikan segala perasaan selama konser berjalan melalui Kartu Rasa. Kartu sebesar ukuran postcard itu dibagikan untuk kemudian diberi narasi atau gambar ilustrasi. Sebuah pengalaman berbeda memang coba diterapkan dalam gelaran ini. Demi mengedepankan berbagai rasa dan suasana secaara total, penonton bahkan dilarang merekam, memotret, maupun berjalan mondar-mandir sepanjang konser. Semua duduk tertib di kursi yang disediakan.

Tampaknya benar jika Frau mengatakan bahwa konser ini bukan sebagai pernyataan, melainkan pertanyaan yang dijawab bersama di akhir pertunjukan dengan berbagi rasa. “Konser ‘Tentang Rasa’ adalah tentang pemikiran bahwa karya musik nggak hanya milik musisi, tetapi juga milik penonton yang merasakannya,” tutur Frau.

Teks: Hanifa Paramitha Siswanti
Foto: Mentari Nurmalia

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *