Connect with us

Gigs

LIVE AT TEATER GARASI: “Requestioning Cult”

Dipublikasikan

pada

Oleh

Setelah pekan lalu ‘Live at Teater Garasi’ menjadi salah satu nominasi dari 5 finalis The British Council Live Music Award atas inisiatif kreatif dalam bidang Live Music di Indonesia. Minggu ini acara Live at Teater Garasi kembali digelar dengan menampilkan Barefood (Jakarta), FSTVLST (Jogja), dan WHISTLERPOST (Jakarta).

Acara ini bertempat di Teater Garasi Jl. Bugisan Selatan 36A Jogjakarta, dengan tiket masuk sebesar Rp 35.000,- dan untuk pengunjung yang ingin mendapatkan harga tiket lebih murah bisa membeli tiket earlybird seharga Rp 20.000,- dengan menghubungi 0877 1991 1200 atau 0857 4753 2000 selama persediaan masih ada.

Jangan sampai terlewatkan untuk menyaksikan Live At Teater Garasi karena acara ini bakalan keren sekali!

LATG-Mei-2014

 

LIVE AT TEATER GARASI: “Requestioning Cult”
Menampilkan :
BAREFOOD (Jkt) – FSTVLST (Jog) – WHISTLERPOST (Jkt)
Sabtu, 3 Mei 2014 pukul 20:00
di Teater Garasi
Jl. Bugisan Selatan 36A Jogjakarta
HTM 30K (earlybird 20k)
Reservasi: 0877 1991 1200 atau 0857 4753 2000 (tempat terbatas)

BAREFOOD
Momen perkenalan dengan Barefood adalah ketika saya masih bekerja sebagai seorang editor di sebuah majalah musik skala nasional. Tahun 2010 saat itu saya dan beberapa rekan membuat sebuah projectbulanan itu kompilasi yang akan dijadikan sebagai bonus majalah. Kami mencari band-band bawah tanah arus liar lintas genre untuk menghiasi kompilasi tersebut. Saat itu dipertengahan tahun kami sedangmerampungkan edisi keempat, tetiba perhatian saya tertuju pada sebuah web jejaring sosial khusus musik milik sebuah band asal timur Jakarta ini. Saya begitu terkesan dengan sebuah track demo live berjudul“Breath” mendengarkannya seperti mencium darah segar indie rock bergaya 90-an.

Tiga tahun telah berlalu Barefood kini telah menancapkan tajinya lewat mini albumnya, Sullen EP. Nafas era “Alternative” 90-an yang kental, injeksi fuzz distorsi sana-sini, penambahan formula gaya power popmacam The Posies ataupun Teenage Fanclub era awal , hibrida gaya slebor J. Mascis dengan estetika sentimentil a la Evan Dando membuat E.P ini begitu menarik. Lewat sleeve cover yang mengingatkan sayaakan Nick Drake album Bryter Layter ini, telah tersaji lima track yang sempurna dan saya rasa sangat cukup untuk mewakili gejolak 90’s indie rock revival saat ini. Rilisnya Sullen telah membuat Tuhan Rocktersenyum dan Barefood telah bersiap untuk menendang pantat kalian!

Alvin Yunata, sang pendawai gitar Teenage Death Star.

FSTVLST
Mengenal dua personil FSTVLST Faridstevy dan Roby tidak hanya dari musiknya, namun inisiatif mereka di seni rupa sepertinya menguatkan persepsi kita terhadap band ini. Juga ketika beberapa kali melihat konser mereka ketika bernama Jenny. Sepenggal pernyataan yang saya kutip dari Farid “kami sebenarnya kalau di bilang rock juga bukan rock banget, kalau dibilang alternative, juga kayaknya tidak begitu nyambung, jadi untuk menjaga nama baik genre atau aliran yang sudah ada, kami membuat terobosan baru dengan menamai aliran kami sendiri, yaitu “almost rock balery art”, atau dalam arti simpelnya, “seperti rock hampir seni”. Karena mungkin seni itu tidak bisa dipisahkan dengan kami yang berlatar belakang dari dunia seni itu sendiri”.

Ketiga pengalaman di atas seolah mengafirmasi persepsi saya terhadap FSTVLST. Saya lebih suka mendefinisikan musik mereka di antara rock, garage, dan terkadang folk, yang menurutku tidak begitu salah ketika ditabrakkan dengan pernyataan Farid tentang FSTVLT.

Tapi bukan hanya itu yang kerap muncul ketika berbicara ttg FSTVLT, bukan juga kerja penulisan dalam lirik yang berusaha menegosiasi kenyataan yang gamblang, batas koridor musikalitas, serta laku kesenian (artistry). FSTVLST adalah pintu masuk utama ketika kita membahas ‘cult’. Di skena musik Yogyakarta (yang berbeda dengan Jakarta), persinggungan mereka tidak hanya pada penonton setia namun ‘space based cult’ yang di Jakarta representasi pada ‘Parc’ era 2000’an awal-pertengahan, namun dikotomi Utara-Selatan Yogyakarta dimana FSTVLST kontributif menghilangkan space based cult yang baru tersadar pernah ada ketika saya mengobrol dengan Farid pada sebuah sore di Jogja (tanpa menyebut lagi Jogja bagian mana)

Risky Summerbee, frontman Risky Summerbee & the Honeythief

WHISTLERPOST
Term musik Shoegaze selama ini lekat kaitannya dengan perasaan kesepian, keterasingan dan juga kegelapan. Namun band asal Jakarta, Whistler Post membawa term musik Shoegaze pada tingkatan yang lain. Dengan menggabungkan distorsi gitar yang menumpuk dengan alunan vokal wanita yang terdengar lugu dan menggemaskan. Musik Whistler Post yang memiliki intensitas gitar memang kerap diberi label Shoegaze oleh banyak kalangan. Namun mereka meramunya dengan nafas Britpop yang elegan dan kenaifan ala musik indiepop yang dibungkus oleh lirik-lirik lagu yang ringan yang menceritakan mengenaikeseharian.

Whistler Post dibentuk oleh gitaris Andi ‘Hans’ Sabarudin di tahun 2008 karena lagu-lagu yang ia ciptakan untuk C’mon Lennon dan Blossom Diary (dua band Hans sebelum ini) banyak yang tidak terpakai.

Dengan pengaruh dari band-band Inggris era 90an seperti Lush, Ride dan Chapterhouse, Hans lalu mengajak Tania Ranidhianti untuk mengisi vokal. Lalu Hans mengajak ketiga rekan lainnya, Cassandra sebagai gitaris, Adi Sus sebagai bassist dan Haris Prasetyo sebagai drummer. Dua nama terakhir sebelumnya tergabung dengan band Jepit Rambut dan Noisy Trip.

Lagu “Sebastian Says” menjadi lagu pertama yang mereka rekam di bawah nama Whistler Post. Lagu ini beredar di publik sebagai bonus CD untuk penjualan merchandise Whistler Post yang dirilis oleh Don’t Fade Away (DFA) Records yang kini merilis debut album Whistler Post di bulan September 2013. Album debut self titled ini berisi 8 track yang direkam di tiga studio berbeda dalam kurun waktu 5 tahun. Lagu ‘Sing Me Loud” dipilih menjadi single pertama dari album ini.

“Lagu “Sing Me Loud” lahir saat saya sedang menggemari band asal Jepang namanya Luminous Orange. Pada kelanjutannya, musik Whistler Post terinspirasi dari musik mereka. Salah satunya dengan terciptanya “Sing Me Loud” ini yang menggambarkan musik dari Whistler Post saat ini yang sebenernya yang tidak sepenuhnya memainkan jenis musik shoegaze,” tukas Hans.

Lagu lain dalam album ini yang tidak sepenuhnya memiliki elemen shoegaze dapat disimak pada lagu “When The Night Comes” yang terdengar cerah dengan alunan vokal latar bersahutan dan juga pada track pembuka album “Better Days” yang diciptakan gitaris Cassandra yang menampilkan paduan vokal wanita dan pria yang manis.

Album ini mencapai puncaknya di lagu “Till The End” yang memiliki durasi paling lama dibandingkan lagu lain dalam album. Paruh akhir lagu ini dipenuhi oleh melodi gitar dari Hans yang disusupi oleh gemuruh musikal dari band Chapterhouse.

Pada akhirnya Whitler Post melalui album debut mereka ini sukses dalam menyajikan musik berbasis gitar yang terdengar indah dengan sensibilitas pop yang kuat.

Dimas Ario, pengamat musik

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *