Connect with us

Gig Review

Live Theatrical Music Performance: Ayu Laksmi Svara Semesta

Dipublikasikan

pada

Ayu Laksmi Svara SemestaNyanyian Bersama untuk Manusia, Alam, dan Pencipta

Sebuah tempat berukuran bundar di tengah aliran air didaulat menjadi alas pertunjukan. Taburan bunga di sekelilingnya menambah kesan wangi terhadap gelaran yang dihadirkan. Aroma dupa berseliweran merambat di udara. Tampilan pencahayaan tampak silih berganti memberikan aura magis terhadap setiap objek yang jadi perhatian. Tak lupa alunan musik pun menambah lengkap perhelatan malam itu. Alam pun tampaknya sangat mendukung dengan membawakan cerah sepanjang malam.

Bertempat di NuArt Sculpture Park, Bandung, Kamis (28/5/2015), sebuah karya dipersembahkan dengan tajuk “Live Theatrical Music Performance: Ayu Laksmi Svara Semesta ”. Nuansa Ubud di pedalaman Bali semakin melengkapi pertunjukan ini. Pohon-pohon besar, lembah, sungai, dan patung-patung karya Nyoman Nuarta membuat musik Ayu semakin menyatu dengan alam. Penampilan penari Keni Kurniasari Soeriaatmadja asal Bandung dan Barlyanta dari Ternate yang juga theatre performer seakan menyublim dalam harmoni.

Kolaborasi apik nyanyian, tarian, musik, dan berbagai elemen teater disampaikan Ayu dalam konser yang mengambil cerita bertema air tersebut. Seniman yang berpihak pada kualitas karya tersebut juga memainkan Penting, alat musik tradisional dari Karangasem, Bali Timur. Selain menyayi, ia pun menari dan menggumamkan mantera. “Aku adalah satu dari lima energi agung. Cinta dunia berhutang padaku karena aku turut membentuk buana. Bangunlah pondok-pondok cinta di tepi aliranku. Jaga jarak antara percikan dan lelah keringatku.”

Dalam “Svara Semesta 2”, suatu kedalaman makna tentang kebudayaan didendangkan Ayu lewat lagu “Hyang” karya Putu Fajar Arcana dengan menerjemahkannya melalui musik kontemporer. Syair gubahan “Ave Maria” dari ungkapan Elisabet juga dinyanyikan Ayu lewat “Kidung Maria”. Tak hanya itu, lagu yang ditulis Sawung Jabo dalam “Gumam Batin” juga semakin menggambarkan bahwa seni adalah keleluasaan menuju pembebasan. Pun begitu dengan “Btari Nini” yang merupakan lagu dari puisi karya Cokorda Sawitri turut diperlakukan Ayu dengan penjiwaan yang mumpuni.

Lirik dari Kidung Gebang Apit Lontar karya Alm. Ida Made Oka Gejel pada tahun 1930-an terangkum pula dalam lagu “Duh Atma”. Berikutnya adalah “Daima” yang lahir sebagai inspirasi dari kisah nyata dalam buku biografi dr. Rizal Sini yang disusun Alberthiene Endah. Pertunjukan ini memang sekaligus menandai peluncuran album “Svara Semesta 2” yang merupakan kolaborasi antara Ayu dengan para penulsi dan penyair Indonesia.

Di penghujung acara ini, setelah diberikan pengalaman konser yang magis, penonton juga diajak menyanyi bersama dalam “Tri Hita Karana”. Sebuah lagu tentang hubungan harmonis manusia dengan manusia, semesta, dan Sang Pencipta. “Ini adalah tiga hal yang membuat kita bahagia,” tutur Ayu.

Ayu tahu bagaimana berkomunikasi dengan penonton sebagai penikmat karyanya malam itu. Berbagai sapaan, gurauan, hingga ajakan naik ke pentas turut dilakukan.Ia pun mengajak semua untuk turut memainkan bambu yang telah dibagiikan. Bagi Ayu, bambu selalu mengingatkan dirinya untuk selalu ingat berpegang kepada tanah pertiwi dan bercakap bersama semesta. Ini termaktub dalam filosofi bambu, yakni merayakan kelahiran, kehidupan, dan kematian.

Sebelum helaran ditutup, seniman serba bisa I Made Subandi memandu penonton untuk berlatih Tari Kecak bersama. Walikota Bandung Ridawan Kamil pun turut didapuk naik pentas bersama beberapa penonton lainnya untuk menari Kecak. Tak lama kemudian, lagu “Reinkarnasi” dibawakan Ayu sebagai lagu berikutnya dengan mengartikan bahwa lahir, hidup, dan mati adalah perayaan.

Seni Adalah Sarana Ibadah
Bagi Ayu, seni adalah sarana ibadah yang tak pernah tersegmentasi dalam jenis tertentu. Sebanyak tujuh bahasa yang dirangkum dalam “Svara Semesta 2” merupakan bagian dari cara Ayu dalam memberikan penghormatan terhadap kebudayaan yang melahirkannya. Ketujuh bahasa tersebut adalah Indonesia, Bali, Jawa Kuna, Sansekerta, Minang, Latin, dan Inggris.

“Saya selalu memahami kultur yang melahirkan sebuah bahasa sebelum akhirnya berhasil menyanyikannya. Musik saya harus menyatu dengan alam karena ia bagian dari pujian terhadap kebesaran semesta,” tutur seniman kelahiran Singaraja Bali ini.

Lahir dari gerakan New Age dan genre musik World Music mengantarkan Ayu sebagai pengusung musisi yang menyinergikan kekayaan musik dengan tembang tradisi mejadi bentukan musik yang kaya. Ia pun membebaskan diri dari berbgaia sekat agama dan kepercayaan tertentu. Bagi mantan lady rocker ini, pencerahan diri bisa dicapai melalui jalan tengah dengan tidak mengikatkan diri terhadap satu agama dan kepercayaan.

Teks: Hanifa Paramitha Siswanti
Foto: Mentari Nurmalia

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *