Connect with us

Interviews

Strangers: Kebersamaan yang Tidak Neko-Neko

Dipublikasikan

pada

Dengan deretan punggawa yang kini diisi Ican (vokal), Gugun (gitar), Lanlan (bas), dan Kunyit (drum), Strangers baru saja merilis single tebraru bertajuk “Bonfire” pada September lalu. Cerita yang jujur mengalir dan menghibur tanpa harus banyak tingkah ditawarkan melalui single tersebut. Kesederhanaan itu pun disodorkan ringan dengan mengalunkan semangat yang memang semestinya ada. Tanpa pretensi menggurui, ia hadir layaknya wujud yang ingin menemani.

Padanan folk-pop dari “Bonfire” pun datang dalam nuansa spontanitas yang apa adanya. Semacam mengembangkan kembali senyum optimis yang sempat mengempis. Sebelumnya Strangers pernah menempatkan diri di berbagai tangga lagu radio Indonesia melalui “Heavenly”, hitsnya dari album perdana “Everything Goes Automatic” yang dirilis pada November 2008.  Di sini, iringan raungan distorsi bercampur dengan emosional yang terkandung dalam lirik dalam balutan British Pop-Rock yang kental.

Dalam album tersebut pula, Strangers melakukan kolaborasi bersama beberapa nama besar dalam kancah permusikan Indonesia, sebut saja Wong Aksan (komposer musik), Dewi Umaya Rachman (produser film), hingga Prama Hanindia (pelatih vokal). Bagi para pecinta film, mungkin tidak asing dengan “Minggu Pagi di Victoria Park” di mana film yang dibintangi Lola Amaria dan Titi Sjuman ini menjadikan single “Tangisan Ibu Pertiwi” dari Strangers sebagai soundtrack-nya.

Di suatu kesempatan yang santai, kami pun sempat berbincang bersama. Berikut petikannya.

Bagaimana cerita awal “Bonfire”?

Lanlan: Awalnya ketika tahun 2009-2010, kami kenalan dengan lingkungan baru. Waktu itu kebetulan kami kenalan dengan lingkungan film dan langsung merasa klik. Semacam ada euforia. Nah dari situ kepikiran ide untuk bikin “Bonfire”.  Nama “Bonfire” sendiri nggak diambil dari penggalan kata di lagu, tapi lebih ke rasa yang dialami. Lagu ini semacam ingin menyampaikan kebersamaan. Kita asyik kumpul ramai-ramai tanpa agenda apapun dan tidak neko-neko.

Apakah ini hanya sekedar single atau nantinya akan ada di album?

Lanlan: Ini semacam awalan atau istilahnya snack di ruang tunggu. “Nih snack-nya dulu saja ya. Yang utamanya lagi disiapkan”’ Jadi buat teaser untuk album kedua.

Kapan rencana album kedua ini dirilis?

Lanlan: Rencananya akhir tahun ini sudah beres. Sekarang lagi ada perdebatan dulu seputar susunan lagu yang akan dimasukkan.

Ican: Konsepnya masih do it yourself, sama kayak album pertama.  Lagu-lagunya juga masih dalam  penggarapan jadi belum bisa dibocorin, tapi prosesnya sudah jalan.  Album kedua ini nanti musiknya lebih luas dan aransemennya juga lebih lebar. Kalau di album pertama seperti plug and play. Kita manggung ya direkam. Aransemennya juga seputar drum, gitar, bass, dan akustik. Track-nya juga live, apa yang terlihat ya itu yang terdengar. Album kedua ini lebih studio dan tidak terpatok dengan hanya empat instrumen itu.

Ada niat kolaborasi?

Lanlan: Mungkin kolaborasi secara konsep dan tata suara. Di sini kami kolaborasi dengan Ari “4 Peniti” yang jadi produser di album ini. Waktu album pertama, produksi dan distribusi itu sendiri . Sekarang sih dari segi musikalitas lebih diawasi. Pokoknya digarap bersama. Tapi nanti dilihat lagi, kalau butuh untuk keperluan komposisi lagu, mungkin muncul nama-nama yang bakal diajak untuk kolaborasi.

Ceritkan tentang terbentuknya Strangers.

Lanlan: Awalnya Gugun mengajak saya gabung di band namanya Brat. Terus pas tahun 2003, Ican gabung. Saat itu dia masih punya band yang kerjaannya brifing saja, tapi main tidak pernah.

Ican: (terkekeh menanggapi)

Lanlan: Terus kita brainstorming nih untuk cari nama baru. Masing-masing tulis usulan nama di kertas.  Tanggal 8 April 2007, terbentuklah Strangers. Ini pun namanya diambil dari kertas yang udah dibuang (tertawa). Tapi akhirnya dipakai juga.

Nama ‘Strangers’ sendiri kenapa diambil? Kalian memang merasa terasing, diasingkan, mengasingkan diri, atau bagaimana?

Lanlan: Karena kita pemalu (tertawa)

Ican: Waktu itu lagi fasenya kami sama-sama musisi, tapi tidak punya teman. Terus pergerakan indie di Bandung juga lagi sering bikin acara, tapi band yang muncul itu-itu lagi. Kita tidak punya akses kesitu.

Lanlan: Merasa malu untuk gabung dengan komunitas yang udah ada. Tapi itu dulu, sekarang tidak lagi (tertawa). Makanya, waktu nama ‘Strangers’ dicetus jadi cocok. Kalau ditanya kenapa nama ini tetap dipertahankan sampai sekarang, itu sebagai pengingat kalau dulu kami seperti itu.

Tahun lalu Strangers ikut final Global Battle of The Band (GBOB) di Malaysia. Bisa diceritakan bagaimana pengalaman selama ikut kompetisi internasional ini?

Ican: GBOB ini acara tahunan dan tahun 2011, kami jadi wakil Indonesia yang main di Kuala Lumpur. Di sana ditandingkan lagi dengan 18 band dari berbagai negara. Saat itu yang menang band reggae dari Jamaica.

Lanlan: Asyiknya main di sana itu tidak ada gap dan Alhamdulillah juga kami mainnya tidak memalukan. Cuma sayangnya dari kedubes Indonesia di sana tidak ada yang datang. Padahal sudah disiapkan tempat untuk kedubes dari setiap negara. Tahun 2011 ini terakhir kalinya Indonesia ikutan.

Kunyit: Sekarang kompetisi yang lagi naik itu Planetrox yang dari Kanada. Strangers juga sudah mecoba tapi cuma sampai semifinal.

Geliat teknologi sekarang makin meluas, terutama media sosial. Bagaimana kalian memanfaatkan ini untuk melebarkan eksistensi?

Lanlan: Bisa dibilang kalau interaksi maya ini wajib karena promonya gratis. Paling membayara waktu dan paket internet. Akan terpengaruh ke karya juga. Semakin bagus karya, makin berfungsilah media sosial itu. Ini jadi sarana pendukung perpanjangan karya yang sayang kalau tidak terpakai.

Ican: Kami tidak punya label, jadi satu-satunya cara lewat media sosial dan internet seperti Myspace dan Facebook. Untuk tahun 2010 mulai menggunakan Twitter dan Soundcloud. Saya juga pernah menulis tentang pergerakan social media campagne. Bagi yang bergerak sendiri pasti tidak bisa kalau tidak pakai media sosial seperti ini. Apalagi internet  gaungnya bisa kemana-mana, bahkan sampai internasional dan tidak terlalu memakan biaya.

Gugun: Lagipula zaman sekarang media sosial udah jadi ujung tombak bagi siapapun.

Ada hal lain lagi yang ingin disampaikan?

Lanlan: Hanya ingin sharing bahwa nilai konsistensi itu luar biasa. Hasil tidak muncul di depan,  yang penting harus konsisten dulu dengan apa yang dilakukan. Kalau dimulai dari sekarang kemudian dilakukan, apapun yang kita tekuni pasti jadi.

 

Tulisan: Hanifa Paramitha Siswanti

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *