Connect with us

Featured

Review Pasar Seni: Pesta Seni Berbentuk Pasar

Dipublikasikan

pada

Pasar merupakan suatu tempat pertemuan penjual dan pembeli. Setidaknya itu definisi paling mudah diingat. Tetapi, di balik definisi tersebut, tercipta suatu kondisi dan situasi yang lebih besar lagi. Tempat promosi, tempat distribusi, dan yang paling hebat: terbentuknya suatu kesepakatan antara penjual dan pembeli.

Institut Teknologi Bandung berhubungan erat dengan teknologi. Berhubungan sangat dekat dengan ilmu pengetahuan. Dengan sains. Tapi, institusi andalan Bandung itu lagi-lagi memberikan kejutan. Sebuah keseimbangan, sebuah pentas kesenian yang besar. Keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan imajinasi.

Little Lute - Indira LarasatiMahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB yang kali ini jadi aktor utamanya. Mereka mengadakan lagi acara rutin empat tahun sekali yang tradisinya dimulai dari tahun 1972. Ketika mahasiswa-mahasiswa di Indonesia sibuk berunjuk rasa menolak penghapusan subsidi bahan bakar minyak, anak-anak FSRD ITB ini memberikan masyarakat Bandung (dan semoga saja masyarakat Indonesia) suatu hiburan yang berkualitas.

Kampus ITB disulap menjadi satu arena kebudayaan yang besar. Kita bisa mencari apa saja yang kita mau. Fungsi pasar berjalan sangat apik. Hari itu, Minggu, 23 November 2014, Jalan Ganesha berubah jadi satu kesatuan budaya, jadi seperti satu pergerakan kultural, semuanya bertujuan untuk satu hal: Pasar Seni ITB.

Ignatius Gerry Apriryan dengan lantang dan haru memberikan sebuah penggalan lirik lagu dari Purnama Sultan yang berjudul Khayal. “Terucap tanya dan doa/ Adakah kenyataan../ Engkau lautan ombak dan badai bawalah daku/ Dalam nikmatmu..” Ia membuka acara tersebut dengan menceritakan impian dan harapan kecil. Gambaran sebuah perwujudan hal kecil untuk menjadi hal besar yang pasti bisa dilakukan jika ada kesinambungan dari semua pihak. Ada kesadaran.

Panggung Utama

Musik merupakan salah satu kebudayaan yang dipikirkan secara matang oleh mereka. Menyenangkan sekali merasakan atmosfer musik di panggung utama yang disiapkan. Dimulai dari The Fox and The Thieves yang menggebrak dari awal, menandakan semangat dari Pasar Seni ITB itu sendiri. Kemudian kolektivitas dari Symphoni Polyphonic x Very Hot.. Di atas panggung beramai-ramai menenggelamkan konsep individualistik dari bentuk kesendirian.

Symphoni Polyphonc - Fadil MF

Masing-masing orang yang berdiri, berdansa, bernyanyi, memainkan alat musik di atas panggung memberi warna tersendiri. Kostum-kostum aneh yang mereka kenakan sangat bertabrakan satu sama lain. Tetapi, hasilnya yang menyatukan semuanya adalah perbedaan. Sayang sekali hujan deras tiba-tiba datang. Suara musik dari panggung utama langsung tergantikan oleh suara hujan dan kekosongan.

Kira-kira empat jam panggung yang diilustrasikan putih tersebut kosong. Hujan juga memaksa Little Lute untuk memindahkan area bermusik mereka ke tempat lain. Untungnya, musik ceria dari grup musik hasil audisi itu bisa menggembirakan orang-orang. Sedikit tambahan, nama terakhir dan The Fox and The Thieves merupakan hasil kurasi dari acara Senandung Semesta, acara Pra-Pasar Seni ITB.

Sedikit bergerak ke arah timur ITB, terdengar suara Napolleon sedang memainkan musiknya. Mereka mengajak pengunjung untuk pindah ke dimensi lain. Konsep ‘Aku’ yang diusung sangat terasa di situ. Hujan mungkin datang untuk membatalkan acara, tetapi bukan untuk membatalkan semangat untuk menyampaikan dan menyalurkan pesan. Bukan membatalkan semangat untuk berkarya.

Untungnya hujan deras mereda. Matajiwa di panggung utama langsung menangkap atensi pendatang. Dengan bebauan dupa, mereka mengubah waktu yang tidak terasa sudah sore menjadi sebuah perhentian sementara. Lagu Good Vibration andalan langsung diiringi oleh koor massal. Tidak lupa juga Hari Pochang menjadi teman di atas panggung dengan harmonikanya. 1 (Satu) pun tidak lagi jadi sebuah bilangan. Lagu itu mendefinisikan pluralisme.

Pengantar tepat menuju Kunokini yang sangat interaktif. Lagu-lagu tradisional seperti Rasa Sayange dan Yamko Rambe Yamko jadi undangan untuk para individu berkumpul di depan panggung. Bernyanyi dan bertepuk tangan bersama. Musik etnis eksperimental mereka pun terus memukau penonton. Kemasan mereka yang etnis tidak membatasi karya. Disko, hip-hop, dan rap pun jadi eksplorasi.

Frigi-Frigi, duo yang menggunakan nama alter ego M.A.Z.A.G.U.N.G (CROOSS O’VOICE) & Prof. Dr. ALIEN, Msc. (SYNTHESIZER DEATH) datang dengan kostum orang suci. Tampilan yang sangat absurd. Mereka seperti menyatu dengan latar panggung. Menghajar dengan lagu Aku Seksi (Tidak Terkontrol), mereka langsung menyampaikan pesan yang dalam. Tepat sekali dengan fenomena generasi millennials sekarang. Generasi ‘Aku’. Kemudian yang jadi sorotan lagu Aku Kurator yang mengantar pergantian siang ke malam.

Matajiwa featuring Hari Pochang - Fadil MF

Hampir sampai di ujung acara di panggung utama. Leonardo & His Impeccable Six pun menjadi penerang malam. Mereka tampak seperti sebuah orkestra kecil yang ditemani oleh Priscilla Jamail. Balon warna-warni yang dilempar ke penonton juga jadi ornamen pelengkap. Ada juga balon sabun yang cuma bertahan beberapa detik di udara. Just A Gigolo/ I Ain’t Got Nobody milik David Lee Roth tidak lupa dimainkan untuk kesempatan spesial ini.

Kemudian ditutup oleh flare bomb, confetti, dan kembang api untuk menjemput penutup acara spesial yang dirahasiakan. Kejutan pun datang. Kinkin Kintamani, penyanyi dangdut langsung menggeber penonton untuk berjoget. Lagu-lagu seperti Sakitnya Tuh Di Sini membuat ujung jempol tangan ke seluruh badan bergoyang. Sebuah akhir yang membuat momen spesial ini semakin terasa.

Antara Aku

Sepertinya mengutip satu kalimat yang sangat terkenal dari film Into The Wild yang dinyatakan Alexander Supertramp mungkin mendefinisikan semuanya dengan tepat: “Happiness only real when shared.”

Kebahagiaan akan terasa nyata jika dibagikan. Tapi, Pasar Seni ITB yang dengan cerdas memberikan potongan-potongan agar manusia sebagai individu sadar. Bahwa fase yang dialami manusia untuk berbagi adalah konsep ‘Aku’, ‘Kita’, dan ‘Semesta’. Ketika hal tersebut menyatu, semuanya akan terasa bahagia.

Selain itu, Pasar Seni secara jelas ingin meruntuhkan stereotip pemahaman masyarakat akan seni. Semua bisa tampil, semua bisa dengar, semua bisa menyaksikan.

Antusiasme Penonton - Fadil MF

(Foto oleh: Fadil MF, Riko, dan Indira)

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *