Connect with us

Interviews

The Adams: ‘JKT:SKRG merekam waktu melalui musik’

Dipublikasikan

pada

Pertama kali saya mendengar tentang The Adams adalah dari seorang kerabat yang sedang mendekam di kos-nya di tengah jeda kuliah, di Malang sana. Yang masih saya ingat persis dari dia, selain jaket hitam, rambut keriting melegenda, serta permainan video game Formula Satu yang saya tekuni selama berjam-jam, adalah playlist yang dia mainkan di komputer-nya. Betul-betul koleksi nama yang tidak familiar. Ingatan saya mungkin tidak setajam perkiraan, namun band-band indie seperti The Upstairs hingga Brandals menghiasi playlist tersebut. Tapi, satu nama yang benar-benar dia gencarkan adalah The Adams. “Dengerin ini, Ka. Ini band yang keren banget. Mereka lagi terkenal sekarang.” Lagu yang dia mainkan adalah “Halo Beni”. Saya ingat sekali pikiran pertama saya pada saat itu: “Astaga. Band ini sampah.” Usia saya 11 tahun.

SAM_7047editedTapi, setelah beberapa tahun meyakinkan diri saya bahwa The Adams bukanlah band yang menarik, saya akhirnya memberanikan diri mendengar lagu mereka. Judulnya ‘Konservatif’. Dan setelah dua menit, saya ikut berteriak Di Jakartaa!!!! menjelang riff gitar epik itu masuk. Akhirnya resmi sudah; saya menjadi penggemar The Adams. Mereka memainkan musik yang terlalu harmonis dan manis untuk bisa dibilang rock, tapi juga terlalu distorsi dan terlalu kreatif untuk sekedar disebut sebagai pop. Sebuah gabungan meracun antara hook-hook yang luar biasa catchy, distorsi gitar yang pas, dan harmonisasi vokal yang membuat sempoyongan.

Band yang kini beranggotakan Ario Hendarwan (vokal/gitar), Saleh bin Husein alias Ale (vokal/gitar), Arfan alias Apoy (vokal/bass), Retiara Haswidya Nasution alias Kaka (keyboard/vocal), serta Gigih Suryoprayogo Setiadi alias Kiting (drum/vokal) ini terbentuk pada tahun 2002, dan terlibat dalam beberapa momen paling penting dan paling menggelegar dalam sejarah scene indie Jakarta, bahkan Indonesia. Menyumbangkan lagu di kompilasi monumental JKT:SKRG dan di soundtrack film Janji Joni, mengeluarkan lagu seperti “Halo Beni”, “Waiting”, “Konservatif”, dan “Hanya Kau”, serta merilis dua album di bawah naungan Aksara Records yang legendaris bertajuk The Adams (2005) dan v2.05 (2006).

Pasca vakum beberapa lama, kini mereka telah kembali dan mengguncang panggung-panggung. Saya dan beberapa rekan lantas mampir dan berbincang dengan mereka jelang mulai-nya acara The Third Music Gallery yang berlangsung di Upper Room Annex Building, Sabtu (23/3) silam. Simak perbincangan kami tentang nostalgia era Aksara, kisah di belakang layar The Adams, dan JKT:SKRG.

* * * *

Dari kata-kata The Adams sendiri, gimana cara kalian memperkenalkan The Adams untuk orang yang ga tahu sama sekali kalian itu siapa?

Ale: Kasih CD-nya aja. (tertawa)

Ale: Musik The Adams sebenarnya manis. Tapi dibalut distorsi, mungkin. Terus apa? muslim ya? Kita muslim semua kan? (para personil mengangguk-angguk sambil tersenyum)

Ale: Personil sampai kru-kru-nya muslim. Manajer-nya muslim. Teman-temannya juga.

Ario: The Adams itu… apa ya? Apa Poy?

Apoy: Ya apa? Harmonisasi.

Ario: Harmonisasi vokal kita mainkan di dalam musik kita, ada distorsi rock juga. Mungkin orang kurang banyak tahu kalau kita menyebut musik kita sebagai power pop. Musik dengan distorsi dan harmonisasi vokal.

Mungkin pertanyaan wajib-nya adalah; Dari mana saja kalian? Ke mana saja saat vakum?

Ale: Kita ga pernah vakum. Ga ada yang undang kita aja! (tertawa)

Apoy: Yang undang banyak tapi harganya gak sesuai…

Ale: Mahal pokoknya The Adams! (berbicara sendiri)

Ale: Sebenarnya musik itu sebagai pelampiasan. Dan anak-anak The Adams juga kerjanya di musik. Ario di musik, Arfan di audio, Kaka juga. Syuting, segala macam. Kiting juga jadi kepala studio di rumahnya. Kita sibuk dengan urusan masing-masing dan butuh suasana lain. Setelah ini, mungkin kita coba untuk…

Ario: Nganu. (tertawa)

Ale: Nganu bareng, gitu. Ya kita coba rekaman lagi, coba bikin lagu baru lagi, mudah-mudahan begitu.

Selama tidak ada yang kuat bayar The Adams itu, apa saja proyek pribadi masing-masing personil?

Ario: Proyek pribadi? Gue sih rencananya mau bangun rumah. Gue mau punya rumah.

Ale: Ada yang jadi bos laundry.

Kaka: Proyek pribadi, Poy!

Ale: Rental, rental!

Kiting: Ya mungkin sewa kamera, lighting juga.

Buat syuting atau buat FTV?

Kiting: Ga usah lah. Kaka aja itu.

Apoy: Kalau saya mau usaha jus. (tertawa)

Apoy: Lho beneran!

(Pewawancara menilik botol jus yang berserakan di meja) Ini jus yang disediakan panitia dari usaha anda?

(tertawa)

Apoy: Belum, belum! Belum berjalan. Doain aja.

Ario: Apoy jus!

Ale: Gue apa ya? Ya gitu-gitu aja gue.

Kaka: Gokil aja.

Ale: Nongkrong-nongkrong doang gue kerjaannya.

Ario: Seniman banget. (tertawa)

Ale: Seniman sekarang harus banyak nongkrong. Katanya anak MTV.

Cutting edge banget ya bang Ale.

(tertawa)

Ale: Macam-macam lah pasti! Ya kerja. Kerja juga freelance, tidur juga kurang. Pokoknya apa yang gue kerjain, gue senang. Capek sih, tapi senang gue. Itu yang paling penting. Jadi gue ga ngantor. Ga seperti ekonom-ekonom atau yang lainnya.

Tema Music Gallery ketiga Time Machine.

Ario: Oh, itu ya tema-nya?

SAM_7049editedIya, gue juga baru lihat tadi dari poster-nya. Oke, berhubung tema-nya Time Machine, gue ingin melihat ke belakang saja. The Adams sempat menjadi bagian dari scene Aksara, seangkatan dengan band-band legendaris macam WSATCC, Sore, ERK, The Brandals, dan lain-lain. Dan Soleh Solihun, dalam salah satu artikelnya, sempat bilang bahwa Aksara Records itu seperti keluarga. Seperti satu tongkrongan teman-teman, seperti saudara. Apa suasana-nya benar-benar seperti itu?

Ale: Kalau dulu ya. Karena tempat rekamannya bareng, akhirnya tempat rekaman itu jadi tempat kita nongkrong. Di Pendulum Studios, daerah Wijaya. Sebenarnya urusan kami bukan cuma di musik itu sendiri. Menurut gue, musik itu hanya jadi output dari apa yang kita jalanin. Dari kita nongkrong, dan di situ terjadi banyak kolaborasi. Makanya di album kedua The Adams, yang nulis juga ada Ade, dan segala macam. Memang seperti ini lah. Tapi, band itu hanya jadi payung. Sisanya, kita anak-anak yang biasa saja. Kita nongkrong, ngobrol, dan ga cuma ngomong soal musik. Yang paling penting itu, menurut gue. Apapun yang diobrolin, ga perlu melulu tentang musik. Topik-topik yang biasa saja. Karena kita juga jarang ada yang benar-benar sekolah dan belajar tentang musik. Ga ada yang si A sekolah gitar, si B sekolah musik, lalu ngomong teori musik, tiba-tiba ngomong komposisi. Wah, ga seberat itu. Kita malah biasanya ngomong jorok! (tertawa)

Ario: Kalau ngomongin tongkrongan itu, sebenarnya jauh sebelum Aksara ada tongkrongan itu sudah ada. Jaman kami di Pendulum Studios. Mulai sering ketemu di soundtrack. Mulai ngumpul. Dan mulai ngaco kita. Kita ga terlalu berpikir soal musik. Bikin tanding PS, Guitar Hero. Cuek-cuek saja. Jakarta banjir, lalu semua orang pada kumpul karena ga bisa ngapa-ngapain. Mau kemana-mana susah. Disitu jadi tempat kumpul kita. Tempat kita mandi, tempat kita ngobrol. Malam-malam semua orang kumpul dan tidur di situ. Absurd sekali, sebenarnya. Kebanyakan memang tidak berhubungan dengan musik itu sendiri. Cuma tiba-tiba kita ngomong, “Eh, kita bikin sesuatu yang berhubungan dengan musik nih!” Akhirnya bikin proyek ramai-ramai. Beberapa bootleg ngaco sempat direkam di sana.

B-sides kah?

Ario: Bukan, memang bootleg! Intinya kita main ramai-ramai. Seperti contohnya, ‘I Love Your Afro Hair’. Itu kan ngaco tuh. Begitu deh, intinya.

Kalian terbentuk sejak tahun berapa? 2000 ya kalau ga salah?

Ale: 2002.

Oke, 2002. Gimana ceritanya kalian bisa ‘dijaring’ masuk ke dalam Aksara Records? Ketemunya bagaimana?

Ario: David Tarigan, sebenarnya. Kita ga pernah berpikir akan masuk label atau ga. Kita sudah mau bikin album sendiri. Yang penting kita bikin, dan lo sudah mau cetak kover waktu itu, kan?

Ale: Sudah cetak.

Ario: Eh, belum cetak.

Ale: Sudah cetak. Pakai duit gue sendiri. Gapapa kok.

Ario: Kita cetak di tempatnya Bondi! Bohong banget lo! (tertawa)

Lho, lho, lho. Pertengkaran lama jangan diungkit di sini.

Ario: Ah, lo mainnya duit melulu.

Ale: Gapapa kok gapapa… (tertawa)

Ale: Dulu karena kita masih band kampus, yang nongkrong di IKJ dulu. Kita kuliah dan bertemu di situ. Kita memang tadinya mau DIY. Bikin kaos sendiri, bikin yang lainnya sendiri. Yang sablon juga dari teman-teman sendiri, kita minta tolong teman-teman yang orang grafis. Ada namanya Murni yang bikin. Silk-screen dan segala macam. Musik dibikin sendiri, rekaman juga sendiri. Mungkin drum yang beda, karena kita perlu tempat yang lebih. Itu pun rekaman di kamar teman, yang punya alat rekaman lebih bagus.

Ario: Kita pakai barter segala. Parah banget ya?

Ale: Kita sudah rekaman, kita sudah mau rilis. Rencananya cuma mau cetak 100 CD yang mau kita jual hand-to-hand. Jual ke teman-teman saja.

Ario: Lo udah desain, dan ada satu teman yang bantuin. Ada teman kita satu yang kerja di perusahaan grafis. Bondi, Bondi Goodboy. Dia bilang, :Wah, lo nge-print di tempat gue aja!” Disuruh bawa kertas saja. Akhirnya kertas kita beli. Kita cari ke Senen. Lalu waktu itu di Aksara ya?

Ale: White Shoes sedang rekaman. Gue lagi meeting, dan tiba-tiba David (Tarigan) nanyain. Ada juga salah satu owner Aksara, Hanin Sidharta. “The Adams gimana?” Gue jawab, “Oh, kita udah mau rilis kok.” Rilis di mana, mereka tanya. Ya gue bilang, rilis sendiri saja, jual sama teman-teman. Tiba-tiba dia bilang, “Lho, rilis di Aksara saja deh! Gue ambil!” Sesimpel itu. Gue jawab, “Ya sudah, tapi gue tanyain dulu ke personil lain ya.” Lalu kita balik, ketemu Beni, ketemu Ario. Ngobrol juga dengan manajer kita dulu. “Gimana nih?” Ya sudah. Tapi syarat-nya satu, kita harus rekam ulang. Akhirnya kita rekam ulang. Rekam ulang drum sama vokal-nya, kalau ga salah.

Apoy: Kita juga rekaman untuk bonus track.

Ale: Oh ya, benar. Kita sudah desain kover, sudah tinggal cetak. Ya sudah.

Rilisan pertama Aksara Records adalah kompilasi JKT:SKRG, di mana kalian menyumbangkan satu lagu berjudul ‘Mosque of Love’ alias Masjid Cinta. Eh, itu kok seperti judul FTV ya?

Ario: Lo kayaknya terobsesi dengan FTV ini! Jangan-jangan lo gagal casting? (tertawa)

Gue jadi pohon tuh akhirnya.

Ario: Lho, beneran?!

Tidak, kok. Bagaimana ceritanya kalian yang tadinya ingin rilis album sendiri malah menyumbang ke JKT:SKRG, dan membawakan ulang The Upstairs? Bagaimana keterlibatan kalian, dan reaksi kalian saat album itu sukses?

Ale: JKT:SKRG itu sudah ada duluan, kalau tidak salah.

Ario: Awalnya kita manggung untuk kali pertama di BB’s Cafe. Secara materi, kita cuma punya 3 lagu. Kita diajak, “Eh, lo main nanti di BB’s. Latihan yang benar, biar bagus!” Jimi (Multhazam) berkata. Iya, Jim, siap! Akhirnya kita main dua lagu buatan sendiri, dan satu kover ‘Mosque of Love’. Kita main, dan yang nonton enam sampai tujuh orang. Pacarnya Anggun juga ada. Siapa sih namanya? Taurus bersaudara. Salah satu penonton-nya David Tarigan. Dia bilang, “Wah, yang Mosque of Love gue ambil buat JKT:SKRG ya?” Begitu saja. “Hah? Ayo deh, Vid! Kita kabar-kabaran, janjian kapan mau rekaman.”

Agak impulsif, ya? Tidak ada banyak perencanaan.

Ale: Kaya gini, deh. Lo ada uang seribuan ga?

(Pewawancara memeriksa dompet dan menemukan bahwa tidak ada uang seribu rupiah)

Ale: Ibarat-nya seperti gue bilang, “Lo punya seribuan ga? Gue pinjam ya.” Atau, “Lo ada seribuan? Oke, gue minta. Cabut dulu ya.” Sudah. Seperti itu memang. Ngerti ga maksudnya? Sesimpel itu, tidak ada beban.

Ario: Mungkin bisa dibilang ada faktor keberuntungan juga. Mungkin memang jalannya begitu.

Ale: Menurut gue, kita tertarik untuk ikut JKT:SKRG karena itu kompilasi yang merekam fenomena scene Jakarta yang bangkit dan ada lagi setelah hilangnya Poster Cafe. Setelah jaman Poster, rekaman ini menunjukkan bahwa scene Jakarta ada lagi.

Scene di BB’s Cafe…

Ale: Ya, di BB’s Cafe Menteng. Sebetulnya, dengan JKT:SKRG, David Tarigan seperti sedang merekam waktu melalui musik. Ada apa ini? Ternyata ada band. Ya, dia merekam waktu melalui band. Seperti kalau lo membuat bundel majalah yang lo suka. Misalnya lo buat bundel majalah Hai. Gue mau merekam pergerakan HAI dari tahun 2010 sampai 2030. Ini rekaman yang gue kumpulkan. Bundel itu adalah rekaman-nya. Menurut gue, itu sesuatu yang harus kita pelajari. Bisa diulangi lagi, untuk merekam keadaan yang ada melalui musik. Kita bisa melakukannya. Kompilasi seperti JKT:SKRG, Kampus 24 Jam Hits Non Stop, itu contoh rekaman jaman melalui musik.

Ario: Kompilasi Jazz Masa Kini juga.

Ale: Menurut gue, nantinya kompilasi itu bisa menjadi bagian dari sejarah. Menjadi suatu bentuk pendokumentasian.

Berarti JKT:SKRG sudah seperti potret jaman itu dalam bentuk musik.

Ale: Betul.

Menurut kalian, sudah ada ekuivalen-nya? Apakah kita sudah punya JKT:SKRG jilid dua?

Ale: Gue kurang mengikuti. Gue kurang begitu sering mendatangi scene-scene musik yang ada sekarang. Tapi, itu kelihatan dari kemunculan band-band yang ada. Misalnya scene yang ada di Rossi. Itu bisa didokumentasikan dalam bentuk kompilasi. Buat kompilasi tentang scene musik yang kalian tahu saja. Menurut gue, ada banyak banget scene. Contohnya, di Rossi ada banyak band yang main musik punk dan hardcore, itu bisa direkam. Bisa dibukukan dalam satu bentuk CD. Atau misalnya, lo mau membukukan scene Poster Cafe. Tapi yang lo bukukan bukan musiknya, melainkan poster acara-nya. “Semua poster acara yang pernah diadakan di Poster Cafe akan gue bukukan!” Jadi dokumentasi-nya dalam bentuk visual. Itu juga bisa. Selain visual, dokumentasi juga bisa dalam bentuk musik, dan salah satu contoh dokumentasi musik adalah kompilasi JKT:SKRG.

Gue akan sedikit fast forward. Di Aksara Records kalian sempat merilis dua album, kan?

Kaka: Ya, dua album.

The Adams, lalu v2.05. Kemudian soundtrack Janji Joni, lalu soundtrack Quickie Express. Semuanya berlanjut jadi sesuatu yang terbilang besar. Namun di 2009, Aksara Records tutup. Gue ingin tahu, bagaimana reaksi kalian saat Aksara Records bubar? Where were you when Aksara died?

Ale: Kita ga kemana-mana. Kita masih ada. Karena sebenarnya, orang yang mengurusi produksi dan orang-orang belakang layar-nya Aksara masih ada. Orang-orangnya sama, dan topik yang mereka bicarakan sama juga. “Gimana cara kita memproduksi album lagi kalau tidak di Aksara?” Cuma masalah pindah rumah saja. Tidak perlu ada ketakutan.

Ario: Sebenarnya bukan ketakutan sih. Saat gue mendengar kabar itu, gue merasa, sayang sekali ini bubar;. Aksara sudah jadi suatu nama. Seharusnya Aksara ga boleh mati, untuk mengenang karya yang sudah mereka buat selama ini. Di Bandung juga ada FFWD Records. Label seperti itu ga boleh mati, sebenarnya. Cuma, semua kembali pada pemiliknya. Spirit kita mungkin tidak pernah hilang. Tapi mereka juga punya modal bisnis. Jadi kita tidak bisa terlalu menyalahkan. Bohong lah, kalau lo ngomong label dan ngomong idealisme kalau lo ga bisa balikin duit lo. Ini label, dan lo harus produksi. Minimal lo bisa balik modal. Kalau lo balik modal, bisa menghidupi karyawan lo, dan tidak merugi, ya lo bisa jalan terus. Tapi di sini, mungkin itu tidak terjadi. Gue kurang tahu soal masalah finansial mereka. Gue pribadi merasa sayang bahwa Aksara bubar. Tapi ya sudahlah. Sempat juga diobrolin sama anak-anak. “Mau gimana nih kita?” Dan jawaban-nya, “Kalau kita mau jalan bareng, ya ayo. Ga ada masalah.”

Melihat ke belakang, setelah empat tahun Aksara Recordss bubar, menurut kalian seberapa besar pengaruh Aksara Records pada scene musik kita, terutama scene indie kita?

Ale: Itu perlu dibalikkan lagi pertanyaan-nya karena kita pelaku. Kita yang menjalani dan membuat musik. Lo tidak bisa melihat pengaruh itu dari kita lagi. Lo harus melihat dari konsumen-nya. Orang yang mendengarkan, orang yang suka, atau orang yang ingin membaca tentang Aksara nantinya. Mereka yang harus ditanya. Kalau kita pelaku-nya, jangan ditanyakan. Kita masuk, rekam musik, blar! Sudah.

Ario: Buat gue impact mereka adalah menyediakan media alternatif untuk sebuah band. Maksudnya gini; Saat gue nge-band, dan gue produksi sendiri, gue mungkin ga akan bisa seperti ini. Semuanya thanks to Aksara juga sebenarnya. Yang bikin mereka berpengaruh adalah karena mereka, menurut gue, adalah label alternatif. Gue ga mau mikirin istilah indie, major. Tapi mereka pilihan yang lebih masuk akal bagi gue, karena mereka memberi kebebasan dalam bermusik. Mungkin kalau gue masuk ke ranah mainstream, ada terlalu banyak SOP-nya. Terlalu banyak birokrasi. Akhirnya bingung, mau main musik saja kok ribet amat? Kalau di sini, “Udah lo bikin ya bikin aja!” Menyenangkan. Studio-nya disediain, jadi gue ga usah pusing cari studio.

Tadi kan kita sudah mengobrol soal masa lalu. Gue ingin lihat ke depan-nya saja. Tahun 2013 ini sebenarnya The Adams ingin fokus rekaman lagi, bikin album lagi, atau cuma rekaman saja?

Ario: Belum tahu sih, belum dipikirkan. Kemarin sempat dikerjain sih sebenarnya, sebelum tahun 2013. Tapi pada waktu itu kita juga sempat bingung, “Ini 2012 jadi kiamat atau ga sih?” (tertawa) Jadi sempat terpikir seperti itu.

Ga ada rencana untuk merombak ulang aransemen atau mempresentasikan lagu dengan gaya lain seperti Efek Rumah Kaca dengan Pandai Besi-nya?

Ale: Aransemen sih kita bikin sendiri aja ya?

Ario: Pandai Besi itu perbedaan konsep, sebenarnya. Lebih enak bikin lagu baru, sih. Lebih fresh.

Ale: Doain saja semuanya lancar.

Ya, semoga usaha membangun rumah dan jus kalian lancar. Ada kata-kata penutup untuk para sponsor? Atau untuk para fans?

Ario: Kita ga punya fans. Kita punya-nya teman!

Ale: The Adams memang belum produksi musik lagi. Jika waktu-nya ada, dan waktu-nya tepat, kami pasti akan ada untuk kalian semua. Udah, itu aja sih.

Ario: We’ll be right back. Kita akan jadi bek kanan.

Ditunggu!

 

Wawancara ini dilakukan secara gotong royong oleh Raka Ibrahim , Elistania Mutia, dan Elvin Eka Aprilian

Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *